Oleh Cyrillus Harinowo
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008, halaman 6.
Penjualan sepeda motor selama semester I tahun 2008 mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan kinerja semester itu, sepanjang tahun 2008 penjualan sepeda motor diperkirakan mencapai enam juta unit.
Demikian juga penjualan mobil, selama semester I tahun 2008 telah mencapai 290.000 unit sehingga target penjualan sepanjang tahun sebanyak 520.000 unit tampaknya akan terlampaui.
Yang menarik, industriawan sepeda motor maupun mobil itu menunjuk tingginya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Bahkan, penjualan sepeda motor dikatakan telah mencapai 50 persen untuk luar Jawa dan 50 persen untuk Jawa. Ini berarti suatu pergeseran peran yang cukup besar antara pasar di Jawa dan luar Jawa.
Dewasa ini pengalaman bisnis semacam itu terjadi hampir di segala sektor. Kompor gas Rinnai, misalnya, merasakan pesatnya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Demikian juga produk barang-barang konsumsi, seperti sabun, pasta gigi, serta produk lain, permintaan dari luar Jawa mengalami peningkatan amat pesat. Banyak pihak mengatakan, perkembangannya amat fenomenal. Semua ini akhirnya bermuara pada cerita kebangkitan perekonomian di luar Jawa.
Demikian juga penjualan mobil, selama semester I tahun 2008 telah mencapai 290.000 unit sehingga target penjualan sepanjang tahun sebanyak 520.000 unit tampaknya akan terlampaui.
Yang menarik, industriawan sepeda motor maupun mobil itu menunjuk tingginya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Bahkan, penjualan sepeda motor dikatakan telah mencapai 50 persen untuk luar Jawa dan 50 persen untuk Jawa. Ini berarti suatu pergeseran peran yang cukup besar antara pasar di Jawa dan luar Jawa.
Dewasa ini pengalaman bisnis semacam itu terjadi hampir di segala sektor. Kompor gas Rinnai, misalnya, merasakan pesatnya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Demikian juga produk barang-barang konsumsi, seperti sabun, pasta gigi, serta produk lain, permintaan dari luar Jawa mengalami peningkatan amat pesat. Banyak pihak mengatakan, perkembangannya amat fenomenal. Semua ini akhirnya bermuara pada cerita kebangkitan perekonomian di luar Jawa.
PDRB dan kebangkitan ekonomi
Dengan melihat perkembangan itu, kita bisa berharap, pertumbuhan ekonomi di luar Jawa tentu jauh lebih cepat dibanding di Jawa. Bahkan, untuk perekonomian provinsi yang relatif kecil, tingkat pertumbuhan yang tinggi akan wajar jika potensi daerah itu memungkinkan. Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, misalnya, adalah provinsi yang memiliki potensi ekonomi amat besar. Pertanyaannya, apakah potensi itu, serta pertumbuhannya, tecermin dari statistik produk domestik regional bruto (PDRB) yang ada?
Jawaban atas pertanyaan itu jauh dari yang kita bayangkan. Sebagai permulaan, satu hal yang agak mencengangkan adalah pertumbuhan ekonomi antardaerah.
Pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera secara keseluruhan mencapai 4,8 persen pada tahun 2007, turun dari 5,3 persen dari tahun 2006. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa justru mencapai 6,1 persen, di atas Pulau Sumatera. Dengan perkecualian pada tahun 2002, sejak tahun 2001, secara konsisten, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding Pulau Sumatera.
Jika demikian, bagaimana kita menjelaskan pertumbuhan penjualan berbagai produk ke Sumatera yang jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan di Jawa? Dari manakah pendapatan ini diperoleh jika pertumbuhan ekonomi Sumatera kalah dibanding Pulau Jawa?
Jika penjualan berbagai produk mengalami peningkatan amat pesat di Sumatera, logikanya tanpa ada pendapatan yang tinggi, ini berarti ada penggunaan tabungan mereka. Dalam kenyataan, tabungan masyarakat di perbankan di Sumatera menunjukkan pertumbuhan jauh lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. Tahun 2007, dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Sumatera menunjukkan jumlah sekitar Rp 200 triliun. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2003 yang mencapai sekitar Rp 100 triliun. Suatu peningkatan amat tinggi dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, di Pulau Jawa, DPK perbankan pada tahun 2007 mencapai Rp 1.153 triliun, meningkat 60 persen dibanding dengan Rp 718 triliun (2003).
Ini berarti tingkat pertumbuhan DPK perbankan di Sumatera meningkat lebih tinggi dibanding di Jawa selama empat tahun terakhir. Apa yang bisa menjelaskan fenomena ini kecuali pertumbuhan ekonomi yang seharusnya lebih tinggi di Sumatera dibanding di Jawa?
Jika melihat secara lebih rinci apa yang terjadi pada masing-masing provinsi, akan kian terlihat kesenjangan statistik itu. Sebagai contoh, provinsi yang menghasilkan PDRB terbesar di Sumatera adalah Provinsi Riau. Jumlahnya mencapai Rp 209,4 triliun, naik dibanding Rp 167,1 triliun tahun 2006. Provinsi itu menghasilkan minyak melalui Chevron Pacific (dulu Caltex) serta Bumi Siak Pusako.
Selain itu, provinsi itu juga kaya hasil perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet, kehutanan yang menghasilkan kayu, kertas, dan pulp, serta berbagai sektor ekonomi lainnya. Jika kita hanya melihat minyak bumi saja, maka produksi minyak di provinsi itu mencapai lebih dari 500.000 barrel per hari. Jika harga minyak per barrel mencapai 100 dollar AS saja, nilai penjualan minyak itu mencapai 50 juta dollar AS per hari. Dalam setahun, penjualan bisa mencapai sekitar 18 miliar dollar AS, setara Rp 170 triliun.
Dengan melihat perkembangan itu, kita bisa berharap, pertumbuhan ekonomi di luar Jawa tentu jauh lebih cepat dibanding di Jawa. Bahkan, untuk perekonomian provinsi yang relatif kecil, tingkat pertumbuhan yang tinggi akan wajar jika potensi daerah itu memungkinkan. Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, misalnya, adalah provinsi yang memiliki potensi ekonomi amat besar. Pertanyaannya, apakah potensi itu, serta pertumbuhannya, tecermin dari statistik produk domestik regional bruto (PDRB) yang ada?
Jawaban atas pertanyaan itu jauh dari yang kita bayangkan. Sebagai permulaan, satu hal yang agak mencengangkan adalah pertumbuhan ekonomi antardaerah.
Pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera secara keseluruhan mencapai 4,8 persen pada tahun 2007, turun dari 5,3 persen dari tahun 2006. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa justru mencapai 6,1 persen, di atas Pulau Sumatera. Dengan perkecualian pada tahun 2002, sejak tahun 2001, secara konsisten, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding Pulau Sumatera.
Jika demikian, bagaimana kita menjelaskan pertumbuhan penjualan berbagai produk ke Sumatera yang jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan di Jawa? Dari manakah pendapatan ini diperoleh jika pertumbuhan ekonomi Sumatera kalah dibanding Pulau Jawa?
Jika penjualan berbagai produk mengalami peningkatan amat pesat di Sumatera, logikanya tanpa ada pendapatan yang tinggi, ini berarti ada penggunaan tabungan mereka. Dalam kenyataan, tabungan masyarakat di perbankan di Sumatera menunjukkan pertumbuhan jauh lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. Tahun 2007, dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Sumatera menunjukkan jumlah sekitar Rp 200 triliun. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2003 yang mencapai sekitar Rp 100 triliun. Suatu peningkatan amat tinggi dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, di Pulau Jawa, DPK perbankan pada tahun 2007 mencapai Rp 1.153 triliun, meningkat 60 persen dibanding dengan Rp 718 triliun (2003).
Ini berarti tingkat pertumbuhan DPK perbankan di Sumatera meningkat lebih tinggi dibanding di Jawa selama empat tahun terakhir. Apa yang bisa menjelaskan fenomena ini kecuali pertumbuhan ekonomi yang seharusnya lebih tinggi di Sumatera dibanding di Jawa?
Jika melihat secara lebih rinci apa yang terjadi pada masing-masing provinsi, akan kian terlihat kesenjangan statistik itu. Sebagai contoh, provinsi yang menghasilkan PDRB terbesar di Sumatera adalah Provinsi Riau. Jumlahnya mencapai Rp 209,4 triliun, naik dibanding Rp 167,1 triliun tahun 2006. Provinsi itu menghasilkan minyak melalui Chevron Pacific (dulu Caltex) serta Bumi Siak Pusako.
Selain itu, provinsi itu juga kaya hasil perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet, kehutanan yang menghasilkan kayu, kertas, dan pulp, serta berbagai sektor ekonomi lainnya. Jika kita hanya melihat minyak bumi saja, maka produksi minyak di provinsi itu mencapai lebih dari 500.000 barrel per hari. Jika harga minyak per barrel mencapai 100 dollar AS saja, nilai penjualan minyak itu mencapai 50 juta dollar AS per hari. Dalam setahun, penjualan bisa mencapai sekitar 18 miliar dollar AS, setara Rp 170 triliun.
”Under-reporting”
Sementara itu, kelapa sawit dan kertas juga memberi penghasilan tinggi pada provinsi itu. Ditambah sektor lain, seperti pertanian, perhubungan, perdagangan, perhotelan, perbankan, dan jasa lainnya, angka PDRB sebesar itu menunjukkan tanda-tanda under-reporting.
Provinsi di Sumatera yang menghasilkan PDRB atas dasar harga yang berlaku paling kecil adalah Bangka Belitung. Pada tahun 2007, PDRB-nya mencapai Rp 17,9 triliun, naik Rp 2 triliun dibanding 2006. Data ini juga menunjukkan under-reporting yang besar. Sebagai rujukan, penjualan timah dari PT Timah Tbk selama 2007 saja mencapai Rp 7.786,2 miliar.
Diyakini, seluruh nilai tambah dari perusahaan itu masuk ke provinsi bersangkutan, yaitu Bangka Belitung (Babel). Angka itu menunjukkan, hanya dari satu perusahaan saja sudah menyumbangkan hampir separuh PDRB daerah.
Untuk industri timah, angka ini harus ditambah dengan penjualan PT Koba Tin maupun smelter swasta lain yang jumlahnya ada beberapa dan ukuran operasinya lumayan besar. Artinya, dari seluruh industri timah saja akan dihasilkan kontribusi sekitar Rp 12 triliun- Rp 13 triliun bagi PDRB. Kita tahu, industri timah adalah satu kegiatan di provinsi itu. Sementara itu, Babel juga memiliki sektor perdagangan yang kuat, sektor pertanian, seperti kelapa sawit dan lada, kaolin untuk industri keramik dan sebagainya.
Dengan melihat fakta-fakta itu, kemungkinan terjadinya under-reporting dari PDRB di provinsi-provinsi Sumatera lumayan besar. Angka PDRB itu merupakan angka penting yang bisa dimanfaatkan para pengusaha dalam menentukan strategi pengembangan usaha. Banyak perusahaan yang tergagap-gagap memenuhi permintaan yang membeludak dari daerah-daerah di luar Jawa karena mereka memperkirakan pertumbuhan permintaan itu tidak sebesar di Jawa.
Karena itu, Badan Pusat Statistik diharapkan dapat melihat lebih jeli perkembangan di lapangan sehingga data statistiknya dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan baik oleh pemerintah maupun dunia usaha.
Rektor ABFII Perbanas
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar