Jumat, 29 Agustus 2008

Ketika Kota Menjadi Seragam

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Pengendara sepeda motor melintas di antara bangunan tinggi kediaman masyarakat keturunan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8).

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Kota-kota di Jalan Raya Pos menuju warna yang seragam, dengan Jakarta menjadi pusat orientasinya: bangunan mal kotak kaca untuk kota-kota besar dan ruko-ruko untuk kota-kota kecil. Di balik keseragaman itu ada lokalitas yang mati, baik secara fisik maupun ekonomi.

Pusat perbelanjaan modern tumbuh di kota besar seperti jamur pada musim hujan. Hampir tak ada ruang yang tak boleh dibangun untuk mal. Dampaknya adalah matinya pasar tradisional. Contoh menjamurnya mal ini nyata terlihat di empat kota terbesar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Di kota-kota kecil, selain munculnya ruko-ruko yang mengekspansi area persawahan, fenomena baru adalah munculnya jaringan bisnis waralaba nasional, seperti Alfamart dan Indomaret, dengan barang dagangan yang seragam dari Anyer hingga Panarukan.

Catatan Litbang Kompas, di tepi Jalan Raya Pos sepanjang Semarang hingga Panarukan, sedikitnya terdapat 31 toko Alfamart dan Indomaret. Jaringan pertokoan yang sama juga merangsek ke dalam pusat kota-kota kecil ini hingga jauh dari Jalan Raya Pos dan telah menggeser (baca: mematikan) toko-toko tradisional.

Toko-toko dari era lama itu gagal melakukan regenerasi, meninggalkan wajah bangunan tua yang tenggelam oleh Jalan Raya Pos yang terus ditinggikan. Fenomena ini terutama terlihat di pertokoan sepanjang Cirebon hingga Semarang. Di Rembang dan Lasem, fenomena yang sama juga jelas terlihat.

Pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebut, fenomena ini sebagai kegagalan regenerasi kota. Ke depan, fenomena ini akan membawa kota-kota pada situasi, yakni kegiatan ekonomi dan tata ruang tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Citra kota

Kota-kota di Jawa sebenarnya tumbuh dari kekhasannya masing-masing. Kekhasan yang terimplementasikan hingga ke level kampung dan memengaruhi toponiminya, misalnya Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil) di sungai-sungainya. Contoh skala kampung, misalnya, Kampung Rambutan (di Jakarta) untuk menyebut banyaknya buah rambutan di kampung itu.

GL Gonggrijp yang menulis sejarah ekonomi Hindia-Belanda (Schets Eener Economische Geschiedenis van Nederlandsch-Indie) menyebutkan, tujuh kekuatan ekonomi Hindia Belanda, yakni kekhasan keadaan alam, karakter (bakat dan keterampilan penduduk) dan ide bangsa lain yang berhubungan dengan suku-suku pribumi, kepadatan penduduk, pembagian kerja, pembentukan modal, dan peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.

Kekhasan citra kota sepertinya sangat diperhitungkan Belanda. Tatkala Belanda mulai mendirikan kota praja (gementee) di nusantara pada tahun 1905, lambang-lambang yang diambil adalah ciri khas kota-kota tersebut.

Sebagai contoh lambang Kota Soerabaja menampilkan pertarungan Ikan Soera dan Boeaja, yakni cerita rakyat yang melegenda tentang asal-usul Surabaya. Demikian pula lambang kota Cheribon alias Cirebon yang menampilkan tiga ekor udang yang menggambarkan Cirebon sebagai kota udang yang dihasilkan dari pesisir lautnya.

Lambang Kotapradja Pasoeroean pun menampilkan kekhasan, yakni tiga lembar daun tembakau yang melambangkan perkebunan tembakau di daerah Besuki yang dulu menjadi pusat pengembangan tanah swasta (particulere landrijen) yang menghasilkan devisa besar bagi Kerajaan Belanda.

Spesifikasi vs penyeragaman

Tidak hanya masalah pencitraan, kekhasan antardaerah telah mendorong spesifikasi antarkota. Pada masa lalu kota-kota di pantai utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya.

Misalnya, Banten dikenal dengan komoditas lada, Cirebon pengirim tebu dan gula, Demak pelabuhan ekspor beras Mataram —menurut sejumlah catatan, Demak dulu adalah pantai, diapit oleh Pulau Jepara yang dulu terpisah dari Pulau Jawa—Lasem dan Rembang pengirim kayu jati dan produsen kapal, Tuban menjadi pelabuhan ekspor Majapahit dengan komoditas utama beras, serta Panarukan menjadi pelabuhan ekspor tembakau.

Namun, globalisasi yang ditafsirkan sebagai penyeragaman wajah kota telah menghilangkan kekuatan lokal di tiap kota. Seiring dengan itu, kota-kota pelabuhan yang dibesarkan oleh kawasan sekitarnya (hinterland) mulai memudar.

Diversifikasi kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos akhirnya memusat di tiga kota besar, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Contohnya, untuk mengirim tembakau, warga Jember dan Besuki tak lagi datang ke Pelabuhan Panarukan, tapi memilih membawanya menggunakan truk ke Surabaya.

Kota-kota besar itu menyedot daerah sekitarnya dan tak membagi remah ekonomi ke kawasan sekitarnya, selain sampah dan limbah. Akhirnya, kota penyangga tumbuh menyedot kawasan lain yang lebih kecil untuk bisa tumbuh. Demikian seterusnya.

Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, bentuk pertumbuhan kota-kota penyangga seperti sekarang merupakan kegagalan pertumbuhan kota yang terus mendorong urbanisasi yang tidak terbendung.

”Bekasi awalnya menjadi kawasan penyangga Jakarta. Namun, ketika daya dukung ekologi kota Bekasi melemah, Bekasi akan membutuhkan kota penyangga lainnya, yaitu sampai ke Cirebon. Lalu, Bogor membutuhkan kota penyangga Sukabumi, dan Tangerang membutuhkan kota penyangga sampai Rangkasbitung,” ujar Emil.

Menurut Direktur Eksekutif Senior Urban and Regional Development Institute Budhy Tjahjati S Soegijoko, menyusutnya pertanian karena terus terdesak pembangunan kota yang tak terkontrol menjadi potret kegagalan pengembangan diferensiasi menuju spesialisasi kota yang memiliki keterikatan kuat dengan hinterland atau kawasan pedesaan sekitar yang mendukungnya.

Pada akhirnya, kota-kota besar tumbuh hingga berlebih beban karena kaum urban yang terus berdatangan dari desa-desa yang dimatikan. Ketika kota-kota menjadi seragam, sesungguhnya mereka menuju titik kematiannya sendiri.

(aik/ong/naw/nel/nit)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: