Jumat, 29 Agustus 2008

Jutaan Ha untuk Kelapa Sawit

Konsesi Terbesar di 20 Kabupaten
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Empat juta hektar hutan Papua telah dicadangkan untuk kebun kelapa sawit. Seiring tingginya harga komoditas kelapa sawit di pasar dunia dan jenuhnya lahan di pulau-pulau lain, pembukaan lahan di Papua sedang menunggu waktu.

”Izin sudah keluar, tinggal membuka lahan,” kata Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama (Foker) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua, Septer Manufandu, ketika dihubungi di Papua dari Jakarta, Kamis (28/8). Dalam pertemuan Foker LSM Papua dengan pemerintah daerah ditemukan fakta: izin sudah telanjur diberikan dan sejumlah lahan mulai dibuka.

Papua sebagai tujuan investasi kelapa sawit di masa depan juga diungkapkan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga Barani. Hal senada diakui Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Hingga kini tidak ada data luas lahan yang sudah dibuka. Data Deptan menunjuk 32.071 hektar (ha). Data Gapki menyebut, luasan yang sudah ditanami 20.000 hingga 30.000 ha. ”Luasan itu masih kecil,” kata Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto.

Dari data Perkumpulan Sawit Watch, pembukaan hutan di antaranya terjadi di Kabupaten Wandama, Bintuni, Sorong, dan Manokwari.

Beberapa bulan lalu, Gubernur Papua Barnabas Suebu mencanangkan pembukaan kebun kelapa sawit di Keerom 26.300 ha di bawah Rajawali Grup. ”Warga dalam posisi sulit untuk menolak, sekalipun ada contoh dampak negatif di beberapa lokasi,” kata Septer.

Data terakhir menunjukkan, 23 perusahaan memiliki konsesi di lebih dari 20 kabupaten. Tahun 2003, pada data Dinas Kehutanan Papua, 22 perusahaan tercatat menguasai 2,4 juta ha. Perusahaan itu, antara lain, Sinar Mas, Rajawali, Medco, dan Asian Agri.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat CY Hans Arwam, kemarin di Manokwari, mengakui ada pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di beberapa kabupaten di wilayahnya. Perusahaan itu antara lain Kebun Prafi yang dikelola PT Perkebunan Nusantara II di Distrik Warmare, Prafi, dan Masni.

Tingginya minat membuka lahan di Papua dikhawatirkan mengakibatkan banyak konflik. ”Cara memiliki dan membuka lahan selama ini menyisihkan masyarakat adat,” kata Septer.

Di Keerom, sejumlah tokoh adat mengaku tidak dilibatkan dalam rencana pembukaan lahan milik leluhur mereka. Padahal, hutan tempat mereka menjalankan nilai-nilai adat. (GSA/ICH)

[ Kembali ]

Strategi Pangan Armada Portugis

Kompas/Agung Setyahadi / Kompas Images
Bangsa Portugis pernah menduduki Kerajaan Ternate di Maluku Utara. Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama kali berhasil menembus Kepulauan Rempah-rempah. Mereka berhasil menundukkan Malaka sebagai gerbang menuju kepulauan itu pada tahun 1511. Kemudian mereka berlayar ke timur hingga mencapai Maluku. Armada Portugis memiliki strategi pangan sehingga mereka bisa bertahan di permukiman yang didirikan di berbagai tempat yang jauh dari negeri asalnya.

Kisah penjelajahan mereka berawal dari minat mereka terhadap komoditas rempah-rempah. Secara umum orang Eropa sudah lama mengenal rempah-rempah, tetapi informasi asal-usul rempah-rempah tidak pernah diketahui. Orang Portugis termasuk yang penasaran dengan asal-usul itu. Mereka sudah lama memiliki keinginan untuk mencari asal-usul rempah-rempah.

Pada saat yang sama sekitar abad ke-15 motif-motif untuk menguasai wilayah terbentuk ketika Portugis melakukan kolonisasi di beberapa tempat di Laut Atlantik. Dari penguasaan itu mereka menyadari bahwa keuntungan besar bisa didapat bila mereka bisa menguasai suatu wilayah.

Setelah itu, ekspedisi pertama untuk mencari rempah-rempah dilakukan tahun 1488 oleh Bartolomeus Dias. Pada tahun itu ia berhasil menjangkau Tanjung Harapan, Afrika. Setelah itu dilanjutkan oleh Vasco da Gama yang membuka jalan menuju India tahun 1498. Hingga kemudian armada yang dipimpin Alfonso de Albuquerque berhasil mendarat di Malaka.

Dalam sebuah publikasi yang ditulis oleh Eduardo Bueno (2001) disebutkan, dalam setiap pelayaran, pasukan dibekali dengan sejumlah makanan. Di kapal, awak kapal akan menyediakan 15 kg daging bergaram, bawang, vinegar, dan minyak zaitun untuk keperluan setiap anggota pasukan selama sebulan.

Kapten kapal mendapat tambahan daging ayam dan domba untuk meningkatkan nilai gizi ransum. Bila bertepatan dengan masa puasa atau masa berpantang, mereka mendapat tambahan makanan, yaitu beras serta ikan atau keju untuk menggantikan daging sapi. Dalam tradisi Katolik, masa puasa dan berpantang dilakukan 40 hari sebelum hari raya Paskah.

Anggur dan air disediakan setiap pagi. Satu orang mendapat 1,4 liter anggur. Air juga diberikan dalam jumlah yang sama. Air digunakan untuk minum dan memasak. Air disimpan dalam tangki kayu.

Pasokan yang komplet itu diberikan hanya untuk sebulan pelayaran. Setelah itu kualitas ransum menurun. Selanjutnya mereka mengonsumsi ransum yang disebut ”sailing cookie” yang terdiri atas roti kering bergaram. Meski ada upaya pengawetan, makanan ini rusak dan berbau busuk karena kecoak. Sudah bisa dipastikan mereka akan mengalami defisiensi asupan makanan bergizi. Masalah ini ditambah dengan kualitas air yang disimpan di tangki kayu yang menyebabkan air mudah tercemar sehingga menyebarkan penyakit diare dan infeksi. Akibatnya, banyak anggota pasukan yang meninggal dalam perjalanan.

Semisal armada Vasco da Gama yang ketika berangkat beranggotakan 160 orang, tetapi sebanyak 100 orang di antaranya meninggal dunia karena seriawan. (Penyakit ini mulai terpecahkan tahun 1601 oleh armada Inggris ketika Kapten James Lancester yang memimpin konvoi terdiri atas empat kapal menuju India. Ia bereksperimen memberi jeruk untuk pasukan di salah satu kapal. Mereka yang mengonsumsi jeruk sehat walafiat, tetapi pasukan di tiga kapal lainnya yang tidak mengonsumsi jeruk hampir separonya meninggal dunia)

Sejak awal armada Portugis menyadari masalah pangan ini. Akan tetapi, mereka belum bisa menemukan cara agar pasukannya bisa mendapat pasokan makanan yang baik. Bertahun-tahun armada yang dikirim selalu pulang dengan tidak komplet.

Meski belum mendapat cara untuk mengawetkan makanan di kapal, mereka membuat strategi pasokan pangan agar bisa bertahan hidup di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun berpengalaman melayari lautan luas yang jauh dari negerinya, mereka membuat cara agar pasukan Portugis tidak kehabisan pangan. Setidaknya mereka bisa mendapatkan pasokan pangan itu di sejumlah pos perhentian.

Di dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) karya Paramita R Abdurcahman disebutkan adanya keputusan Raja Portugis tertanggal 15 Maret 1518 yang memberikan insentif khusus bagi casado (anggota pasukan Portugis yang menikah dan meninggalkan pengabdiannya dalam pelayaran) untuk tinggal dan bercocok tanam di tanah baru yang ditempatinya.

Sejak awal mereka juga didorong untuk menikah dengan wanita pribumi. Mereka juga didorong untuk menanam komoditas yang bisa diperdagangkan dan juga makanan pokok yang dibutuhkan oleh pasukan. Harapannya, mereka bisa membantu pasukan Portugis yang melakukan pelayaran di berbagai tempat.

Mereka umumnya tidak tinggal jauh dengan benteng atau komunitas Portugis lainnya. Mereka memasok pangan untuk mereka. Dengan cara demikian, bila pasukan Portugis diisolasi oleh musuh, mereka masih memiliki pasokan makanan.

Untuk itu, Portugis sangat mempertimbangkan lokasi-lokasi yang layak untuk tempat tinggal ataupun tempat untuk perhentian. Semisal beberapa tempat di Flores dipilih karena di tempat itu dilaporkan banyak bahan makanan, seperti padi, kacang-kacangan, kambing, dan madu.

Meski demikian, pemilihan ini tak mudah dan kadang pula salah pilih. Salah satu tempat di Flores, yaitu Larantuka, dinilai oleh Portugis mampu menyediakan pangan, tetapi Belanda yang kemudian datang menilai tanah di tempat itu tidak subur.

Untuk memperkaya jenis-jenis pangan di daerah jajahannya, pada masa berikutnya, orang-orang Portugis juga membawa berbagai jenis bibit dan tanaman yang didapat dari sebuah negeri yang berhasil ditaklukkan, baik di Asia maupun di Amerika, untuk ditanam di negeri lainnya yang belum memiliki komoditas itu.

Kedatangan orang Portugis yang dipimpin Antonio Galvao juga membawa sejumlah tanaman, seperti anggur, tomat, avokad, dan ketela, untuk ditanam di Maluku (1536-1539). Sumber pangan ini disebutkan meningkatkan kualitas diet orang Maluku yang sebelumnya dinilai buruk.

Strategi pangan itu setidaknya berhasil menyelamatkan pasukan Portugis di Ambon yang dipimpin oleh Jurdao de Freitas (sekitar tahun 1545). Mereka sempat tidak bisa mendapat pasokan pangan dari luar ketika terjadi perselisihan dengan penduduk setempat. Mereka bisa bertahan hidup karena di sekitar benteng masih ada sumber pangan.

Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang. Di Indonesia setidaknya ada peninggalan seperti cara berkebun (menanam bunga di pekarangan), makanan (serikaya, bika, ketela, pastel), cara pengawetan makanan (acar), dan alat-alat rumah tangga seperti garpu.

Sementara itu, kedatangan orang-orang Portugis ke berbagai tempat juga membuat mereka mengenal berbagai sumber pangan yang selama ini tidak dikenal di Portugis. Salah satu yang kemudian terkenal adalah durian. Pasukan Portugis juga mencatat berbagai sumber pangan, cara memasak, dan juga mendiskripsikan rasanya. Berbagai sumber pangan ini, terutama rempah-rempah, memengaruhi kuliner bangsa Portugis yang ada hingga sekarang.

Pengumpulan berbagai komoditas yang ditemukan di berbagai tempat juga dilakukan oleh anggota pasukan yang berada di berbagai tempat.

Kala itu Kerajaan Portugis memang meminta agar berbagai jenis tanaman dan hewan dikumpulkan dan dikirim ke negerinya ketika pasukan kembali ke Lisabon.

(ANDREAS MARYOTO)

[ Kembali ]

Menjual Potensi Pulau Kalimantan

KOMPAS/M SYAIFULLAH / Kompas Images
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi salah satu tempat terbaik untuk ekowisata di Kalimantan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Hutan tropis beserta keanekaragaman hayati di tengah daratan Pulau Kalimantan atau Borneo diyakini masih lestari sebab hanya sedikit yang terjamah. Namun, kehidupan manusia di Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo di perbatasan Indonesia-Malaysia belum lepas dari kesusahan.

Perhatian dan kemajuan pembangunan enggan mendatangi rakyat yang bermukim tersebar dan terpencil di pelosok hutan, pegunungan, dan aliran sungai. Bisa dipahami kehidupan mereka kerap disebut miskin dan tertinggal.

Namun, masyarakat di sana sebenarnya berhak menikmati kemajuan seperti yang kita rasakan. Tidak pantas wilayah pedalaman yang sejatinya merupakan ”halaman depan” negara malah berantakan.

Bagaimana caranya mengatasi kondisi tadi? Apakah pariwisata solusinya? Dua pertanyaan itu coba dijawab lewat Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Komitmen

Jantung Kalimantan ialah komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada Februari 2007. Ketiga negara sepakat melestarikan 22 juta hektar hutan tropis di dataran tinggi di tengah pulau atau bolehlah disebut pedalaman yang sekaligus perbatasan antardaerah bahkan antarnegara.

Dataran tinggi itu, misalnya, Pegunungan Iban di wilayah antara Kaltim (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia). Pegunungan Schwanner antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pegunungan Muller antara Kaltim dan Kalbar, serta Pegunungan Meratus antara Kaltim, Kalteng, dan Kalimantan Selatan.

Semua pegunungan itu tempat mata air sungai-sungai besar Kalimantan, seperti Sungai Mahakam di Kaltim, Kapuas di Kalbar, serta Barito di Kalteng dan Kalsel. Di tepi sungai-sungai itu bermukim ratusan ribu orang yang merupakan keturunan masyarakat adat yang secara generik disebut suku Dayak.

Indonesia berkomitmen menjaga 12,6 juta hektar Jantung Kalimantan, yaitu 6,1 juta hektar di Kaltim, 4,1 juta hektar di Kalbar, dan 2,4 juta hektar di Kalteng.

Menurut The Ecology of Kalimantan, 1996, Borneo yang luasnya 746.405 kilometer persegi merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau paling besar adalah Greenland (2.175.600 kilometer persegi), Denmark; disusul Papua Niugini, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 kilometer persegi).

Borneo ditaksir mengandung 15.000 spesies tumbuhan yang 6.000 di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik), menurut Biodiscoveries Borneo’s Botanical Secret terbitan World Wild Fund for Nature (WWF) 2006. Selain itu, menurut Borneo’s Lost World terbitan WWF (2005), diduga ada 620 spesies burung dan 221 mamalia. Dalam 10 tahun terakhir ini ditemukan 361 spesies baru atau tiga spesies setiap bulan.

Semua itu belum termasuk kekayaan lain seperti air terjun dan perkampungan berikut kebudayaan, bahkan peninggalan orang Dayak. Untuk itu, Jantung Kalimantan tampaknya amat potensial ”dijual” sebagai obyek wisata.

Tren alam

Dalam lokakarya mengemuka model pariwisata cenderung tertarik ke alam. Ekowisata menempatkan alam dan budaya sebagai nilai jual sekaligus mendukung pelestarian alam. Ekowisata diyakini mampu menjawab minat wisata alam, bahkan menunjukkan bahwa kepentingan konservasi bisa selaras dengan ekonomi.

”Peningkatan kesejahteraan rakyat amat mungkin dilakukan lewat ekowisata,” kata Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad.

Sejumlah proyek percontohan ekowisata yang bertumpu pada rakyat sedang dikembangkan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalbar dan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kaltim.

Turis bisa datang ke obyek wisata dengan panduan warga. Turis juga bisa menikmati keseharian hidup rakyat dengan tinggal sementara di perkampungan mereka. Tentunya turis membayar semua jasa tadi, misalnya transportasi dan pengantaran ke obyek wisata, pengangkutan barang, penginapan di rumah warga, hingga makanan.

Ketua Kelompok Kerja Nasional Jantung Kalimantan Departemen Kehutanan Samedi sepakat tren sedang bergeser dari pariwisata massal mendatangi obyek wisata ke yang eksklusif, yakni menikmati petualangan alam dan adat rakyat.

”Ekowisata bahkan bisa membalikkan pandangan dunia yang negatif tentang Borneo,” kata Albert Theo, praktisi pariwisata Malaysia.

Theo yang hampir 20 tahun menggeluti pariwisata Borneo miris sebab dunia menilai Kalimantan cuma sebagai tempat tersisanya orangutan yang kian kehilangan habitat (hutan) akibat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan, atau musnah akibat kebakaran.

”Dunia belum melihat Borneo sebagai tujuan wisata yang eksotik dan berkelas dunia,” kata Theo bersemangat.

Di sisi lain, perkembangan pariwisata sebenarnya menggembirakan. Di tataran global, sektor ini menyumbang 3,6 persen PDRB dunia yang setara 1,85 triliun dollar AS dan menyerap 231,2 juta pekerja. Di tataran nasional, menurut Indonesian Tourism Statistic 2007, ada 4,8 juta turis asing ke Indonesia pada tahun 2006 sehingga negara bisa meraup devisa 4,45 miliar dollar AS.

Bupati Malinau Marthin Billa mendukung ekowisata sebagai penggerak ekonomi daerahnya yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. ”Ekowisata ialah industri ramah lingkungan,” katanya.

Namun, Samedi mengingatkan, pengembangan pariwisata rentan merusak alam bila suatu obyek wisata didatangi secara massal. Pengembangannya bahkan bisa terbentur persoalan pembangunan fasilitas untuk kenyamanan turis di obyek wisata, tetapi mengorbankan kelestarian alam.

Pariwisata, lanjut Samedi, memang berpotensi membantu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, itu bergantung pada seberapa besar rakyat mendapat manfaat atau kasarnya uang. Bila uang yang didapat diputar untuk peningkatan usaha cuma sedikit, kesejahteraan tampaknya masih sulit tercapai.

Untuk itu, pengembangan pariwisata harus digalakkan lewat kerja sama antarnegara. Tiap negara perlu mengatasi keterbatasan transportasi dan akomodasi. Promosi sebaiknya terpadu sehingga turis mau mendatangi obyek-obyek wisata di ketiga negara. ”Jangan memikirkan diri sendiri,” kata Irham Ilyas, praktisi pariwisata Indonesia.

[ Kembali ]

Muncul dan Matinya Kota-kota

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh: SUDARYONO

Ketika Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808, di sepanjang pantai utara Pulau Jawa telah muncul dan tumbuh kota-kota.

Kota-kota yang dibangun tahun 1400 dan sebelumnya misalnya adalah Bintara, Jepara, Kudus, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Baremi, Gending, Pajarakan, Binor, Ketah, Patukangan, dan Balambangan. Adapun yang dibangun antara tahun 1400 dan 1700 seperti Anyer, Banten, Sunda Kelapa-Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Gebang, Brebes, Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Pati, Juwana, Rembang, Lamongan, Pasuruan, Besuki, dan Panarukan (Rutz, 1987).

Beberapa kota tersebut sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang, sementara yang lainnya telah meredup atau bahkan mati. Terdapat empat faktor yang menyebabkan kota-kota tumbuh dan mati (ditinggalkan), yakni (1) kebijakan politik administrasi kepemerintahan; (2) jaringan transportasi; (3) pengembangan sumber daya ekonomi; dan (4) faktor alam.

Faktor kebijakan politik administrasi kepemerintahan sangat berpengaruh pada tumbuh dan matinya suatu kota ketika kota tersebut dinaikkan atau diturunkan statusnya. Sebagai contoh kota Bogor (Buitenzorg) mulai meredup ketika semula menjadi resident’s seat pada 1815 dan diturunkan menjadi assistant resident’s seat pada 1826. Kota Citeureup yang semula menjadi pusat pemerintahan kabupaten lalu meredup ketika pemerintahan dipindahkan ke Cikapundung pada tahun 1810 dan diganti nama menjadi Bandung. Kota Pasuruan yang pernah menjadi ibu kota karesidenan tahun 1812 (masa pendudukan Inggris) juga meredup ketika ibu kota karesidenan dipindahkan ke Malang tahun 1931 (Rutz, 1987).

Selain itu, kebijakan politik administrasi kepemerintahan dalam bentuk penggabungan wilayah karesidenan juga telah meredupkan kota-kota yang tergabung. Contohnya adalah Probolinggo yang digabung dengan Pasuruan pada tahun 1901, Purwakarta (Karawang) digabung dengan Batavia (1901), Tegal digabung dengan Pekalongan (1901), Pati digabung dengan Semarang (1902), serta Rembang digabung dengan Jepara dan Pati pada tahun 1931 (Rutz, 1987) .

Faktor jaringan transportasi juga sangat berpengaruh terhadap hidup atau matinya suatu kota. Kota Berbek sebagai ibu kota kabupaten dan assistant resident’s seat menjadi surut dan mati ketika pemerintahan dipindahkan ke Nganjuk, menyusul dibukanya stasiun kereta api Nganjuk (Rutz, 1987). Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa dengan dibangunnya jalan baru (ring road) yang membelah Alas Roban di kawasan Gringsing-Batang, penginapan, rumah makan serta warung-warung yang berada di pinggir jalan lama banyak yang tutup atau mati. Sebaliknya, pada jalur baru yang dibangun, di kanan-kirinya telah banyak tumbuh permukiman baru, warung, penginapan, dan pangkalan-pangkalan truk.

Peran kota Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa bagian timur menjadi redup dan mati setelah pada tahun 1808 Daendels yang semula berniat menjadikan Surabaya sebagai ibu kota Indonesia membangun Surabaya secara besar- besaran. Surabaya menjadi kota galangan kapal terbesar di Indonesia. Seiring menguatnya Surabaya menjadi kota pelabuhan penting di wilayah Indonesia, mereduplah pamor Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Pulau Jawa.

Faktor alam yang sempat menjadi bukti sejarah redup dan matinya suatu kota ditunjukkan oleh Tuban. Kota ini pernah menjadi kota pelabuhan besar dan penting di pantai utara Pulau Jawa. Kota Tuban perlahan-lahan mulai meredup ketika pendangkalan pelabuhan terjadi akibat penumpukan lumpur yang memenuhi pelabuhan Sedayu (Rutz, 1987).

Regenerasi yang gagal

Terjadinya perubahan kegiatan ekonomi dan tata ruang kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos dari skala lokal menuju ke skala regional dan nasional tampaknya tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para pelaku ekonomi lokal, khususnya pelaku ekonomi kelas menengah dan kecil. Banyaknya toko tua serta gudang-gudang tua yang tertulis ”dijual” menunjukkan bahwa pemiliknya tidak lagi mampu bertahan di tengah pusaran perubahan ekonomi dan tata ruang di sepanjang Jalan Raya Pos.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan ekonomi dan tata ruang pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos merupakan perubahan yang invasif dan bukannya perubahan yang regeneratif. Ke depan, fenomena ini tentu akan membawa kota-kota pada situasi di mana kegiatan ekonomi dan tata ruang kota tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Pelebaran jalan yang saat ini tengah dilakukan secara besar- besaran (menjadi empat lajur) telah memangkas hunian-hunian, warung-warung, dan toko-toko skala lokal yang berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pelebaran jalan di beberapa penggal kota telah membuat bangunan- bangunan yang dipangkasnya menjadi memiliki sempadan jalan nol atau bahkan minus.

Pelebaran jalan yang juga diikuti dengan peninggian badan jalan pada akhirnya telah menenggelamkan akses warung-warung, penginapan, dan toko-toko kecil di sepanjang jalan. Tenggelamnya akses ini tentu telah mematikan kegiatan ekonomi yang sebelumnya pernah ada.

Masa depan kota-kota

Dengan semakin membaiknya kualitas dan kondisi Jalan Raya Pos oleh intervensi pemerintah pusat, kegiatan-kegiatan ekonomi yang semula berskala kota dan berlokasi di dalam kota mulai banyak yang ditarik keluar kota dan memadati lahan pertanian subur di sepanjang Jalan Raya Pos. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada kapasitas lingkungan jalan dalam menampung arus lalu lintas kendaraan dan barang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, hampir semua kota yang dilewati oleh Jalan Raya Pos telah membuat jalan lingkar (ring road).

Pembuatan jalan lingkar utara dan lingkar selatan menunjukkan tidak adanya kontrol pembangunan yang ketat dari para pengelola kota. Gudang-gudang besar, kantor, sekolah, dan industri telah mulai bermunculan di sepanjang jalan lingkar tersebut. Situasi seperti ini tentunya ke depan akan menjadi pemicu perkembangan kota keluar ke arah utara dan ke selatan kota.

Secara ekologis tentu perkembangan seperti itu akan membahayakan kota-kota tersebut. Ketebalan kawasan pertanian di sebelah utara Jalan Raya Pos sangat terbatas karena berbatasan langsung dengan laut Jawa. Perkembangan ke arah utara akan sangat membahayakan bagi kelestarian air tanah dan ekologi kawasan pantai Laut Jawa.

Sementara pengembangan kota ke arah selatan juga akan sangat berbahaya. Selain terjadi reduksi lahan-lahan pertanian, juga terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan, yang umumnya mengikuti terjadinya perubahan fisik tata ruang. Dari pengalaman selama ini, kita hanya sibuk menyiapkan konsep-konsep tata ruang fisik, tetapi tidak pernah menyiapkan tata sosial, tata budaya, dan tata ekonomi yang akan dibangun sebagai konsekuensi perubahan lahan dari pertanian ke perkotaan.

Melihat perkembangan penduduk yang pesat sejak tahun 1930, di masa depan, kota-kota yang memangku Jalan Raya Pos tampaknya akan tetap menjadi pilihan urbanisasi yang sangat penting di Pulau Jawa.

Ketika kontrol pembangunan semakin melemah, dapat dipastikan kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos di masa depan akan semakin mengalami permasalahan berkaitan dengan kapasitas lingkungan dan infrastruktur. Jalan Raya Pos telah menjadi pelajaran yang sangat mahal dan penuh pertaruhan ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan jalur selatan Pulau Jawa yang sudah dimulai dengan penuh semangat tinggi itu perlu direnungkan kembali.

Tentu kita tidak ingin membuat Pulau Jawa menjadi pulau kota.

Sudaryono Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

[ Kembali ]

Ketika Kota Menjadi Seragam

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Pengendara sepeda motor melintas di antara bangunan tinggi kediaman masyarakat keturunan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8).

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Kota-kota di Jalan Raya Pos menuju warna yang seragam, dengan Jakarta menjadi pusat orientasinya: bangunan mal kotak kaca untuk kota-kota besar dan ruko-ruko untuk kota-kota kecil. Di balik keseragaman itu ada lokalitas yang mati, baik secara fisik maupun ekonomi.

Pusat perbelanjaan modern tumbuh di kota besar seperti jamur pada musim hujan. Hampir tak ada ruang yang tak boleh dibangun untuk mal. Dampaknya adalah matinya pasar tradisional. Contoh menjamurnya mal ini nyata terlihat di empat kota terbesar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Di kota-kota kecil, selain munculnya ruko-ruko yang mengekspansi area persawahan, fenomena baru adalah munculnya jaringan bisnis waralaba nasional, seperti Alfamart dan Indomaret, dengan barang dagangan yang seragam dari Anyer hingga Panarukan.

Catatan Litbang Kompas, di tepi Jalan Raya Pos sepanjang Semarang hingga Panarukan, sedikitnya terdapat 31 toko Alfamart dan Indomaret. Jaringan pertokoan yang sama juga merangsek ke dalam pusat kota-kota kecil ini hingga jauh dari Jalan Raya Pos dan telah menggeser (baca: mematikan) toko-toko tradisional.

Toko-toko dari era lama itu gagal melakukan regenerasi, meninggalkan wajah bangunan tua yang tenggelam oleh Jalan Raya Pos yang terus ditinggikan. Fenomena ini terutama terlihat di pertokoan sepanjang Cirebon hingga Semarang. Di Rembang dan Lasem, fenomena yang sama juga jelas terlihat.

Pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebut, fenomena ini sebagai kegagalan regenerasi kota. Ke depan, fenomena ini akan membawa kota-kota pada situasi, yakni kegiatan ekonomi dan tata ruang tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Citra kota

Kota-kota di Jawa sebenarnya tumbuh dari kekhasannya masing-masing. Kekhasan yang terimplementasikan hingga ke level kampung dan memengaruhi toponiminya, misalnya Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil) di sungai-sungainya. Contoh skala kampung, misalnya, Kampung Rambutan (di Jakarta) untuk menyebut banyaknya buah rambutan di kampung itu.

GL Gonggrijp yang menulis sejarah ekonomi Hindia-Belanda (Schets Eener Economische Geschiedenis van Nederlandsch-Indie) menyebutkan, tujuh kekuatan ekonomi Hindia Belanda, yakni kekhasan keadaan alam, karakter (bakat dan keterampilan penduduk) dan ide bangsa lain yang berhubungan dengan suku-suku pribumi, kepadatan penduduk, pembagian kerja, pembentukan modal, dan peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.

Kekhasan citra kota sepertinya sangat diperhitungkan Belanda. Tatkala Belanda mulai mendirikan kota praja (gementee) di nusantara pada tahun 1905, lambang-lambang yang diambil adalah ciri khas kota-kota tersebut.

Sebagai contoh lambang Kota Soerabaja menampilkan pertarungan Ikan Soera dan Boeaja, yakni cerita rakyat yang melegenda tentang asal-usul Surabaya. Demikian pula lambang kota Cheribon alias Cirebon yang menampilkan tiga ekor udang yang menggambarkan Cirebon sebagai kota udang yang dihasilkan dari pesisir lautnya.

Lambang Kotapradja Pasoeroean pun menampilkan kekhasan, yakni tiga lembar daun tembakau yang melambangkan perkebunan tembakau di daerah Besuki yang dulu menjadi pusat pengembangan tanah swasta (particulere landrijen) yang menghasilkan devisa besar bagi Kerajaan Belanda.

Spesifikasi vs penyeragaman

Tidak hanya masalah pencitraan, kekhasan antardaerah telah mendorong spesifikasi antarkota. Pada masa lalu kota-kota di pantai utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya.

Misalnya, Banten dikenal dengan komoditas lada, Cirebon pengirim tebu dan gula, Demak pelabuhan ekspor beras Mataram —menurut sejumlah catatan, Demak dulu adalah pantai, diapit oleh Pulau Jepara yang dulu terpisah dari Pulau Jawa—Lasem dan Rembang pengirim kayu jati dan produsen kapal, Tuban menjadi pelabuhan ekspor Majapahit dengan komoditas utama beras, serta Panarukan menjadi pelabuhan ekspor tembakau.

Namun, globalisasi yang ditafsirkan sebagai penyeragaman wajah kota telah menghilangkan kekuatan lokal di tiap kota. Seiring dengan itu, kota-kota pelabuhan yang dibesarkan oleh kawasan sekitarnya (hinterland) mulai memudar.

Diversifikasi kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos akhirnya memusat di tiga kota besar, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Contohnya, untuk mengirim tembakau, warga Jember dan Besuki tak lagi datang ke Pelabuhan Panarukan, tapi memilih membawanya menggunakan truk ke Surabaya.

Kota-kota besar itu menyedot daerah sekitarnya dan tak membagi remah ekonomi ke kawasan sekitarnya, selain sampah dan limbah. Akhirnya, kota penyangga tumbuh menyedot kawasan lain yang lebih kecil untuk bisa tumbuh. Demikian seterusnya.

Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, bentuk pertumbuhan kota-kota penyangga seperti sekarang merupakan kegagalan pertumbuhan kota yang terus mendorong urbanisasi yang tidak terbendung.

”Bekasi awalnya menjadi kawasan penyangga Jakarta. Namun, ketika daya dukung ekologi kota Bekasi melemah, Bekasi akan membutuhkan kota penyangga lainnya, yaitu sampai ke Cirebon. Lalu, Bogor membutuhkan kota penyangga Sukabumi, dan Tangerang membutuhkan kota penyangga sampai Rangkasbitung,” ujar Emil.

Menurut Direktur Eksekutif Senior Urban and Regional Development Institute Budhy Tjahjati S Soegijoko, menyusutnya pertanian karena terus terdesak pembangunan kota yang tak terkontrol menjadi potret kegagalan pengembangan diferensiasi menuju spesialisasi kota yang memiliki keterikatan kuat dengan hinterland atau kawasan pedesaan sekitar yang mendukungnya.

Pada akhirnya, kota-kota besar tumbuh hingga berlebih beban karena kaum urban yang terus berdatangan dari desa-desa yang dimatikan. Ketika kota-kota menjadi seragam, sesungguhnya mereka menuju titik kematiannya sendiri.

(aik/ong/naw/nel/nit)

[ Kembali ]

Menuju Kota Gagal

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Puluhan lelaki asal Desa Gunung Sari, Kecamatan Gebog, Rembang, Jawa Tengah, menunggu bus jurusan Semarang, Senin (4/8). Mereka meninggalkan desa yang mengalami kekeringan untuk mencari uang sebagai tukang pelitur mebel di berbagai kota di Jawa.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh: Ahmad Arif

Kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos tumbuh menjadi kota gagal: angka pengangguran yang tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam yang menurun, dan kinerja sarana serta prasarana perkotaan yang memburuk.

Sejarah perencanaan kota modern di Indonesia dimulai ketika sejumlah kota dibangun Belanda mengikuti pola kota-kota Eropa awal abad ke-19. Sebagian besar kota itu berada di sepanjang Jalan Raya Pos, misalnya, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Plan der Nagorij Bandung atau tata ruang itu selesai 15 tahun sejak Daendels memerintahkan pemindahan Kota Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Awal abad ke-20, ahli kesehatan HF Tillema mengusulkan pemindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung. Kota ini berbenah diri sejak 1915. Bangunan-bangunan monumental dibangun, misalnya Gedung Sate (1920), Technische Hoogeschool sekarang Institut Teknologi Bandung (1920), dan Artilerie Inrichtingen (1922) atau PT Pindad.

Kawasan Braga, karena indahnya, dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat van Indie atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Berikutnya, pada tahun 1930, Thomas Karsten membangun Bandung dengan konsep ”kota taman” (Garden City).

Namun, tengoklah Bandung kini. Jalan-jalannya macet, terutama saat hari libur. Sampah menjadi masalah yang tak teratasi. Taman-taman yang membuat Bandung terkenal sebagai Kota Taman hampir tak ada jejaknya lagi. Taman Ganesha, Maluku, dan Cilaki dipenuhi warung-warung. Taman Sari, yang dulu lapang, kini dipenuhi rumah.

Tata kota tumpang tindih, kawasan Bandung utara yang didesain untuk permukiman tumbuh tak terkendali, disesaki perkantoran dan pertokoan. Pertumbuhan kota terus merangsek ke utara, menyebabkan area resapan air berkurang.

Pertumbuhan lebih tak terkontrol terlihat di Bandung selatan. Perumahan baru mengonversi lahan pertanian, tanpa disertai infrastruktur dasar seperti drainase memadai. Akibatnya, kawasan Bandung selatan sering kebanjiran.

Di Semarang, tata kota yang juga didesain oleh Thomas Kartsen hampir-hampir tak terlihat jejaknya lagi. Kota yang semasa kolonial Belanda menjadi salah satu pelabuhan besar dan permukiman ramai ini, menurut guru besar arsitektur Universitas Diponegoro (Undip), Totok Rusmanto, kini hancur-hancuran.

Kehebatan kota ini hanya tersisa dari bangunan-bangunan tua di Kota Lama Semarang yang sekarat oleh rob. ”Pembangunan di Semarang tak terkendali. Kualitas lingkungan terus mundur,” kata Totok.

Adapun di Kota Surabaya, sekitar 75 persen air tanah sudah digantikan oleh air laut dan mencemari air sumur. Seperti Jakarta, kota ini disulitkan oleh kemacetan lalu lintas yang makin parah, semakin seringnya banjir, dan pertambahan penduduk yang tak bisa dilayani oleh permukiman yang layak. Kota tumbuh tak terkendali.

Seperti kota-kota besarnya, kota-kota kecil sepanjang Jalan Raya Pos juga tumbuh tak terkendali. Sudaryono mencatat (Perubahan Kota Pasca-pembangunan Jalan Raya Pos, diskusi panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota ini diwarnai konflik dan kebingungan tata ruang. Hal itu bisa diamati dari tumpang tindihnya kegiatan skala kota dan regional (seperti pergudangan dan industri) dengan kegiatan skala lingkungan (seperti sekolah dan pasar).

Kota-kota ini juga ditandai dengan optimisme dan spekulasi berlebihan. Kapling-kapling skala besar yang dicetak dengan menguruk lahan pertanian subur banyak yang telantar. Kalaupun terbangun, itu menjadi bangunan- bangunan kosong tidak terpakai. Fenomena ini banyak terlihat, misalnya, di Tegal timur dan Cirebon selatan.

Kedodoran

Ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, mengatakan, kegagalan kota-kota kita adalah karena lambatnya penguasa kota merespons pertumbuhan kotanya.

Denny mencontohkan Kota Bandung, yang semula didesain oleh Thomas Karsten hanya untuk menampung 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Kini, kota itu harus menampung jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 155 jiwa per hektar.

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang baru dibuat direncanakan melayani 2,9 juta jiwa hingga tahun 2013. Rencana pusat kota baru itu berada di Bandung timur, tetapi saat ini kondisinya masih berupa lahan pertanian. ”Dalam prosesnya, RTRW kota baru ini juga terus diubah-ubah mengikuti kepentingan pemodal,” ujar Denny.

Di Surabaya, ahli tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Putu Rudy Satiawan, juga mengeluhkan pertumbuhan kotanya yang tak terkontrol. ”Rencana tata ruang yang telah disusun ditabrak,” katanya.

Rudy menunjuk pada banyaknya penyimpangan peruntukan lahan. Misalnya di sekitar Pantai Tambakoso, yang menurut RTRW Surabaya 2005 adalah kawasan pelabuhan, kini berkembang menjadi industri. Luasan penyimpangannya sekitar 257 hektar. ”Total luasan deviasi tata ruang Surabaya beberapa tahun terakhir lebih dari 1.000 hektar,” kata Rudy.

Ledakan penduduk

Ketika para penguasa kota masih sibuk berencana, pertambahan penduduk di Jawa (utara) terus meningkat. Data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2005 menunjukkan, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 128.025.689 jiwa dan 57.160.016 (44,64 persen) berada di kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos.

Padahal, menurut Sudaryono, kecenderungan pertambahan penduduk di kota sekitar Jalan Raya Pos masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. ”Kota- kota ini tetap akan menjadi pilihan urbanisasi di Pulau Jawa,” kata Sudaryono.

Ledakan penduduk ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejarawan dan antropolog sejak lama, tetapi diabaikan oleh Pemerintah Indonesia. Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963) menuliskan ancaman kematian pertanian di Jawa akibat pertambahan penduduk.

Peter Boomgaard dan AJ Gooszen (Changing Economy in Indonesia, Population Trends 1795-1942, Amsterdam) memperkirakan penduduk Jawa pada tahun 1800 berjumlah 7,5 juta jiwa dan menjadi 14 juta jiwa selama 50 tahun kemudian. Pada tahun 1900 penduduknya menjadi 30,4 juta.

Pendapat mengenai ledakan penduduk ini memang ditentang sejumlah ilmuwan lain, salah satunya adalah Widjojo Nitisastro (Population Trends in Indonesia, Cornell University Press, 1970). Menurut Widjojo, anggapan ledakan penduduk di Jawa cenderung membesarkan manfaat dari pemerintahan kolonial atas kesejahteraan penduduk di Jawa.

Apa pun, saat ini ledakan penduduk di Jawa (utara) menjadi masalah besar bagi kota-kota untuk menampungnya. Tak hanya dari kelahiran, ledakan penduduk juga berasal dari urbanisasi dan migrasi dari pulau lain. Dibandingkan dengan luasannya, Jawa termasuk pulau terpadat di dunia.

Jo Santoso menyebutkan, (Kota Tanpa Warga, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), dengan mengandalkan mekanisme pembangunan kota seperti sekarang, kota-kota kita tidak akan mampu mengatasi permasalahan urbanisasi mendatang, terutama bila dilihat dari aspek kemampuan penyediaan sarana dan prasarana.

Pada akhirnya, kota akan ditinggalkan warganya, menjadi ”kota tanpa warga”. (Haryo Damardono)

[ Kembali ]

Lonceng Kematian dari Desa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh: Ahmad Arif

Kota-kota berkilau dengan janji akan kehidupan yang lebih baik, tetapi sering kali diingkari. Tetap saja pendatang baru membanjiri kota-kota dari desa, tanpa banyak bekal kecuali harapan.

Kaliori, kecamatan kecil di Rembang, Jawa Tengah, Agustus 2008. Puluhan laki-laki berhambur naik ke bus jurusan Semarang. Mereka memikul kaleng minyak bekas berisi peralatan pelitur. ”Setiap memasuki ketigo (musim kemarau), semua laki-laki di desa kami merantau ke kota menjadi tukang pelitur perabot kayu,” kata Ismail (25).

Wadah kaleng dengan warna seragam coklat tua menjadi penanda mereka dari desa yang sama, nasib yang sama. Tumpukan ampelas, cat pelitur, tatah, wadah cat, dan cairan spiritus tertata rapi di dalam kaleng yang terikat erat pada kayu pikulannya. Berbekal alat-alat itu, laki-laki yang berjumlah 100 orang lebih itu berharap bisa mendulang rupiah di kota tujuan demi menambal rezeki yang morat- marit akibat sawah kering.

Ismail menuturkan, seperti sebagian besar warga di Desa Gunung Sari, ia hanya buruh tani. Total bekerja selama tiga setengah bulan, ia mendapat bagian sekitar 20 persen panenan, yang biasanya sebagian dijual guna menutup utang.

”Kalau bisa sebelum Lebaran, pulang ke rumah. Targetnya membawa uang minimal Rp 400.000-Rp 500.000. Kalau tidak, terpaksa ditunda dulu pulangnya,” kata Tisno (36), rekan satu kelompok Ismail.

Di kota-kota tujuan, para tukang pelitur keliling menginap di Pondok Boro dengan biaya Rp 1.500 per orang per malam. Tidak pernah bisa dipastikan kapan mereka mendapat order.

Desa yang ditinggalkan

Desa Gunung Sari hanyalah satu potret dari pemiskinan petani desa akibat buruknya infrastruktur pertanian dan minimnya kepemilikan lahan petani.

Di daerah lumbung padi seperti Cirebon, Indramayu, dan Majalengka, ribuan petani juga dimiskinkan akibat sawah mereka kekeringan karena aliran irigasi tak memadai. Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon, dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Sedangkan di Tegal dan Brebes, intrusi air laut menyebabkan ribuan hektar lahan tak bisa ditanami.

Kemandekan ekonomi juga terlihat di desa-desa pertanian di Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Desa ini terpaksa ditinggalkan tenaga segar karena para lelaki merantau ke kota menjadi buruh bangunan. Sedangkan para perempuannya harus berjalan kaki berjam-jam dari desanya untuk mengais padi sisa panen.

Seperti pertanian, kemandekan ekonomi juga terjadi di desa- desa nelayan. Sepanjang Anyer- Panarukan, kampung nelayan yang bisa keluar dari jerat kemiskinan hanyalah di Bendar, Kecamatan Juwana, Pati. Selain itu, semua nelayan dari daerah lain mengeluh dengan menurunnya tangkapan ikan, sementara biaya melaut makin tinggi akibat kenaikan harga minyak

Mereka yang tinggal di desa seolah adalah warga yang kalah dan tak punya nyali untuk pergi. Di Eretan Kulon, Indramayu, kampung hanya dihuni nelayan- nelayan yang dililit utang.

Penghasilan dari laut tak bisa lagi diharapkan. Banyak nelayan di desa ini menjadi buruh bangunan atau menganggur di rumah dengan mengandalkan setoran istri yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Sekretaris KUD Nelayan Mina Bahari Eretan Kulon Royani (37) mengatakan, pada tahun 2003, jumlah TKW dari Desa Eretan Kulon hanya sekitar 50 orang, sekarang 950 orang. Ketika desa tak bisa lagi menopang hidup warganya, terjadilah urbanisasi ke kota yang terus membebani daya dukung ekologi kota.

Industri ekstraksi

Ketika desa-desa menuju kemandekan, sejumlah industri mulai masuk, seperti terjadi di Banten, Bogor, Tuban, dan Gresik. Di Banten, industrialisasi yang dimulai sejak era 1980-an ditandai dengan pertumbuhan aneka pabrik ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan warga.

Kebanyakan warga yang tinggal di sekitar pabrik masih menganggur karena tidak mampu masuk ke sektor industri karena rendahnya pendidikan formal. Padahal, warga yang awalnya petani ini telah telanjur menjual lahan pertanian miliknya.

Di Tuban dan Gresik, kehadiran industri, yang awalnya berbasiskan industri semen, juga tak mampu mengangkat ekonomi warga. Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kota-kota industri ini memang meningkat, tetapi ekonomi di desa-desa yang lahannya dipakai untuk industri tak beranjak dari kemiskinan.

Berdasarkan analisis Litbang Kompas mengenai kondisi kesejahteraan warga sepanjang Jalan Raya Pos, tingginya kegiatan perekonomian ternyata tak menjamin kesejahteraan warganya. Kondisi ini bisa dijumpai di Kabupaten Bogor. Nilai kegiatan ekonominya sebesar Rp 44,7 triliun tahun 2006 dengan industri pengolahan nonmigas menjadi motor penggerak utama (64 persen).

Namun, kesejahteraan penduduk yang direpresentasikan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) ternyata masih di bawah rata-rata daerah sepanjang Jalan Raya Pos. Rata-rata IPM daerah di sepanjang jalur Jalan Raya Pos sebesar 70,8, sedangkan IPM di Kabupaten Bogor 69,7. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Tangerang.

Matinya ekonomi warga desa ini merupakan pengingkaran terhadap peran desa dalam sejarah terbentuknya kota-kota modern di Indonesia. Menurut pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono (Perubahan Kota Pascapembangunan Jalan Raya Pos, Diskusi Panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota di Jawa pernah dibesarkan oleh sektor perkebunan di pedesaan.

Bermula dari liberalisasi perkebunan oleh sektor swasta melalui Undang-Undang Agraria 1870, swasta masuk ke desa dengan mengembangkan perkebunan. Dampaknya, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos yang semula hanya merupakan kota administrasi pemerintahan menjadi kota pengumpul dan distribusi produk-produk perkebunan.

Fungsi-fungsi baru kota tumbuh pesat pada periode ini, seperti pergudangan, bank, perusahaan perdagangan, industri, serta perluasan aktivitas dan fungsi pemerintahan. Belakangan muncullah perumahan-perumahan baru dan real estat, yang kemudian diikuti munculnya kantor-kantor real estat di kota-kota utama, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989) menyebutkan, pada awal abad ke-19 banyak penduduk desa bertahan tanpa tanah karena tumbuhnya proto-industrialisasi atau industri skala rumah tangga.

Jika pada masa kolonial Belanda tetap mempertahankan penduduk desa tetap di desa (baca: tetap miskin di desa), sebagai penggarap lahan untuk menyuplai ekspor mereka, fenomena lebih parah terjadi saat ini. Ekspansi industri ke desa bersifat ekstraktif. Mereka hanya menginginkan lahan, tetapi meninggalkan warganya. Kantong-kantong industri identik dengan warga setempat yang diperas keluar dari desa mereka.(nel/naw/nit/aci/nta)

[ Kembali ]

Masa Depan Ekologi Jawa (Utara)

KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Hamparan sawah yang mengering di Desa Wunut, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (24/8). Kawasan ini rencananya akan dibangun tol baru menggantikan tol ruas Porong-Gempol yang terendam lumpur Lapindo.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ahmad Arif

Disesaki oleh hampir separuh penduduk Pulau Jawa, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) saat ini ibarat kapal bocor yang hendak tenggelam. Bahkan, sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti sesungguhnya, seperti terjadi di pantai utara Jakarta dan Semarang yang sekarat oleh banjir rob.

Hampir semua kota di utara Jawa kini mengalami masalah dengan ketersediaan air, baik untuk irigasi maupun air minum. Banjir juga menjadi langganan, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Pati, Semarang, hingga Situbondo.

Padahal, Jawa masa lalu adalah permata hijau di sabuk khatulistiwa yang di tanahnya mengalir sungai-sungai nan permai. Setidaknya itu yang tergambar dalam catatan Thomas Stamford Raffles (The History of Java, Oxford University Press/Kuala Lumpur, 1978) pada saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816.

Raffles menyebutkan, sepanjang pantai utara Jawa terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan semak belukar. Pantainya sangat indah dengan udara yang sehat. Di sebelah selatannya terdapat hutan lebat, pegunungan yang banyak ditumbuhi sawah- sawah siap panen, dan kehijauan abadi. Pada musim terpanas, udara masih tetap segar, sementara pada musim kering anak-anak sungai masih tetap berisi air tawar. Dari sungai inilah para petani mengairi sawah yang bertingkat-tingkat.

Lebatnya hutan bakau di pantai utara Jawa, seperti yang digambarkan Raffles, kini hampir tak terlacak lagi jejaknya. Kepala Bidang Sarana Penelitian pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pramudji mengatakan, alih fungsi bakau di Jawa, terutama untuk tambak, terus terjadi. ”Di Jawa, bakau sudah hampir habis,” kata Pramudji.

Hampir tak ada lagi ruang tersisa di pantai utara untuk konservasi. Di sebelah selatan Jalan Raya Pos, hutan lebat itu juga menghilang dengan cepat. Pembukaan lahan baru untuk pembangunan jalan tol trans-Jawa dikhawatirkan juga mempercepat laju kerusakan hutan.

Dipastikan sedikitnya 60 hektar lahan hutan produksi dan kawasan perlindungan Alas Roban di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan dikepras untuk jalan baru itu. Pembukaan hutan yang bisa dipastikan akan meluas mengingat pembukaan lahan untuk hutan pasti diikuti pertumbuhan ekonomi baru sekitar jalan.

Analisis Litbang Kompas berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan sawah di 42 kabupaten/kota yang dilalui Jalan Raya Pos selama periode 2000-2003 mencapai 33.384 hektar. Penyusutan sawah terbesar terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu 7.105 hektar.

Sedangkan penyusutan hutan untuk periode dan wilayah yang sama mencapai 10.052 hektar. Penyusutan hutan terbesar juga terjadi di Kabupaten Bandung, mencapai 3.577 hektar.

Kerugian ekonomi

Cepatnya laju penyusutan luas sawah, selain karena alih fungsi lahan, juga disebabkan oleh kekeringan. Rusaknya daerah tangkapan hujan menyebabkan jumlah lahan kritis meluas.

Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Pada musim kemarau tahun sebelumnya rata-rata debit masih 20 meter kubik per detik.

Ayi (45), petani dari Ligung Lor, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, mengatakan, 2 hektar lahan yang ditanami hanya menghasilkan 4 ton padi. Sebagian petani bahkan mengalami gagal panen.

Sedangkan kerusakan ekologi pantai dan mengecilnya air sungai telah mengakibatkan intrusi air laut makin jauh menjorok ke daratan hingga merusak lahan pertanian. Ribuan hektar lahan pertanian mulai dari Cirebon hingga Brebes tak bisa ditanami karena intrusi air laut.

”Banyak lahan dibiarkan mengering dan tidak ditanami petani di sepanjang pantura ini karena airnya asin,” kata buruh tani bawang merah, Darito (40), di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah.

Darito menunjukkan, lahan di desanya itu yang berjarak sekitar 12 kilometer dari garis pantai masih saja terkena dampak intrusi. Buruh tani lainnya, Basran (60), yang ditemui di Desa Tengki, Brebes, mengatakan, lahan baru bisa ditanami lagi setelah musim hujan. Itu pun masih harus menunggu beberapa bulan setelah hujan pertama. Total selama setahun, Darito hanya bisa memanfaatkan lahan selama empat bulan.

Kepala Seksi Pemulihan Kualitas Lingkungan pada Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Brebes Sobawi mengatakan, biaya mengatasi kerusakan lingkungan tidak terjangkau pemerintah. ”Sabuk pengaman bakau di pesisir yang menghambat intrusi air laut sudah nyaris hilang. Upaya memulihkannya tidak murah,” kata Sobawi.

Peradaban yang hilang

Kemunduran ekonomi akibat kerusakan ekologi di kawasan pesisir ini seperti mengulang hancurnya peradaban yang pernah jaya di kawasan pantai utara Jawa. Menurut catatan Raffles, sepanjang pantai utara Jawa awal abad ke-19, hampir di setiap distrik mempunyai sungai utama.

Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal. Kota-kota pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pantai utara ini,, misalnya Banten, Batavia, Cirebon, Demak Lasem, Rembang, Tuban, Gresik, hingga Panarukan.

Kebesaran pelabuhan dagang sepanjang pantai utara Jawa itu dicatat oleh banyak perantau. Misalnya Cirebon yang ditulis pengelana Portugis, Tome Pires (Summa Oriental, 1515), ”Cherimon (Cirebon) adalah pelabuhan besar yang banyak dikunjungi kapal. Di sana ada tiga sungai yang bisa dilayari kapal-kapal.”

Mengenai Gresik, Tome Pires menceritakannya sebagai pelabuhan besar yang didatangi kapal-kapal dari Gujarat, Kalkuta, Benggela, Siam, China, selain kapal-kapal dari Maluku.

Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran telah membunuh sungai-sungai di Jawa utara. Menciut dan mendangkalnya sungai-sungai itu pada akhirnya telah membunuh pelabuhan-pelabuhan besar. Dengan hilangnya pelabuhan, hilang pula sebuah peradaban.

Jejak kejayaan pantai utara Jawa itu hanya menyisakan gudang- gudang tua di sekitar pelabuhan, seperti di Cirebon dan Panarukan. Di Lasem, jejak kejayaannya terlihat dari bekas galangan kapal Belanda dan Jepang yang berada di tengah ladang warga. Bahkan, sebagian besar tak meninggalkan jejak sedikit pun. Sungai-sungai besar yang dilayari kapal mengecil, bahkan lebih mirip selokan seperti terlihat di Banten dan Cirebon.

Jika sejarah adalah kunci untuk melihat masa depan, masa depan ekologi Jawa seperti apa yang tergambarkan selain kemunduran? Dengan daya dukung lingkungan yang terus merosot dan pertambahan penduduk yang tak terkendali, tinggal menunggu waktu Jawa menjadi pulau yang karam....

(Nawa Tunggal/ Neli Triana/Siwi Yunita)

[ Kembali ]

Kamis, 21 Agustus 2008

Pemerintah Kurang Perhatikan Peladang

BUDAYA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 21 Agustus 2008.

JAKARTA, KOMPAS - Dalam pengelolaan kawasan hutan, pemerintah kurang memerhatikan nasib kaum petani peladang. Peluang lebih banyak diberikan kepada para investor. Padahal, para investor, seperti pemilik hak pengelolaan hutan atau HPH dan perusahaan pertambangan, cenderung merusak lingkungan, sementara para peladang selalu mengelola lahan secara ekologis.

Demikian antara lain pendapat yang mencuat dalam acara talkshow bertajuk ”Kebudayaan Pertanian Peladangan Kini dan Prospeknya di Masa Depan” di Mal Grand Indonesia, Rabu (20/8).

”Kurangnya perhatian terhadap masyarakat peladang tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1965 yang membatasi peladang untuk hanya memiliki tanah seluas 2 hektar untuk setiap keluarga, disamakan dengan kebutuhan petani sawah,” kata Prof Dr S Boedhisantoso, guru besar antropologi Universitas Indonesia (UI).

Padahal, petani peladang membutuhkan setidaknya empat petak lahan untuk melakukan rotasi pemuliaan tanahnya.

Sulit dipertahankan

Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Sesmen Ristek) Prof Dr Benjamin Lakitan, narasumber lain dalam talkshow yang dipandu presenter televisi Desi Anwar, menyatakan, kebudayaan pertanian perladangan yang membutuhkan lahan yang relatif luas sulit dipertahankan di masa depan. Hal ini disebabkan karena semakin terbatasnya jumlah lahan yang tersedia, sementara populasi petaninya terus meningkat.

Iwan Tjitradjaja, pakar antropologi lingkungan UI, mengatakan, ancaman utama pada keberadaan kaum petani peladang adalah kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada mereka. ”Pemerintah lebih banyak memberi peluang kepada para investor yang cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan ketimbang kepada para petani peladang,” tutur Iwan.

Acara talkshow digelar dalam rangka pameran etnografi ”Cerita dari Ladang” yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Depbudpar bersama Forum Kajian Antropologi Indonesia, yang akan berlangsung hingga Minggu, 24 Agustus. (MUK)

[ Kembali ]


Kamis, 14 Agustus 2008

Perikanan Tangkap Harus Dibatasi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Jakarta, Kompas - Izin perikanan tangkap di Indonesia sudah saatnya dibatasi karena terjadi penurunan produksi tangkapan atau overfishing. Pemerintah diminta untuk tidak lagi menerbitkan izin penangkapan ikan baru pada kawasan perairan yang mengalami penurunan stok sumber daya.

Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim di Jakarta, Jumat (16/5), mengemukakan, perizinan perikanan tangkap tidak mengacu pada daya dukung perikanan. Penurunan produktivitas tangkapan itu akan sangat berpengaruh pada merosotnya kapal yang beroperasi.

Kondisi armada penangkapan ikan itu diperparah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) industri yang memberatkan pelaku industri. Jumlah kapal tangkap dengan kapasitas di atas 60 gross ton (GT) saat ini menurun dari 350 kapal menjadi sekitar 230 kapal.

Anggota Dewan Pakar MPN, Purwito Martosubroto, mengatakan, penurunan produktivitas tangkapan dipicu dengan munculnya izin-izin perikanan tangkap baru.

”Pemerintah harus menghentikan penerbitan izin tangkap baru agar penurunan produksi dapat ditekan,” ujarnya.

Purwito memberi contoh, produktivitas perikanan tangkap di Perairan Arafura mencapai 1,3 juta ton per tahun dengan kapasitas kapal di perairan maksimum 930 unit. Akan tetapi, izin kapal hingga 2004 mencapai 1.400 unit dengan produktivitas hanya 800.000 ton.

”Persaingan usaha perikanan menjadi tidak sehat. Usaha perikanan tangkap yang tidak memiliki modal kuat terancam gulung tikar,” ujarnya.

Subsidi harga

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Ali Supardan mengemukakan, pihaknya sedang mengusulkan ke pemerintah untuk memberikan subsidi harga BBM kepada nelayan jika harga BBM dinaikkan. Subsidi khusus tersebut diberikan agar harga BBM untuk nelayan tidak naik.

”Dalam analisa ekonomi, kalau harga BBM naik dan harga ikan cenderung tetap, kondisi perikanan tangkap tidak lagi menguntungkan. Karena itu, diperlukan subsidi BBM bagi nelayan,” kata Ali.

Ali mengatakan, total kebutuhan BBM bagi usaha perikanan tangkap mencapai 1.955.376 kiloliter per tahun. Jumlah kapal tangkap saat ini 590.800 armada, sejumlah 99,2 persen di antaranya berupa kapal di bawah 30 GT.

Cenderung stagnan

Menurut Ali, kondisi perikanan tangkap cenderung stagnan sejak kenaikan harga BBM tahun 2005. Sebanyak 600 unit kapal dengan kapasitas di atas 30 GT kini sudah tidak beroperasi karena keuntungan hasil tangkapan terus menurun.

Guna menopang keberlanjutan usaha perikanan, salah satu upaya yang sedang giat diusahakan adalah mengembangkan mata pencarian alternatif berupa perikanan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Jumlah tenaga kerja perikanan, meliputi petambak, nelayan, pengusaha pengolahan, dan pedagang, saat ini mencapai tiga juta orang. (lkt)

[Kembali]

Kamis, 07 Agustus 2008

Tantangan Penyediaan Pangan

Diunduh dari Rubik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008, halaman 47.

Pertumbuhan penduduk yang pesat dan kegagalan program keluarga berencana di sejumlah negara memunculkan tantangan serius bagi penyediaan pangan penduduk dunia ke depan. Krisis pangan serta adanya kompetisi sengit penggunaan lahan untuk pangan dan bahan bakar menjadi semacam lonceng peringatan yang harus dijawab oleh para pemimpin dunia.
Dengan laju pertumbuhan sebesar 1,1 persen, sekarang ini setiap tahun jumlah penduduk dunia bertambah 78 juta orang setiap tahun. Pada tahun 2050, jumlah penduduk dunia diprediksikan PBB akan mencapai 9,5 juta jiwa.
Beberapa kalangan mulai mencemaskan indikasi kegagalan program keluarga berencana (KB) di sejumlah negara. The Optimum Population Trust, mengutip data PBB, bahkan memprediksikan jumlah penduduk bakal membengkak menjadi 134 triliun jiwa pada tahun 2300 jika laju pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti yang sekarang.
Kendati ada skenario doomsday, PBB sendiri meyakini penduduk dunia akan mengalami stabilisasi pada tahun 2200 di angka sekitar 10 miliar jiwa. Per Juli 2008, jumlah penduduk dunia adalah sekitar 6,68 miliar jiwa, dengan penduduk terbesar adalah China 1,321 miliar (19,84 persen penduduk dunia), India 1,132 miliar (16,96 persen), Amerika Serikat (AS) 304 juta (4,56 persen), dan Indonesia 232 juta jiwa (3,47 persen).
Pertumbuhan atau jumlah penduduk yang terlalu banyak (overpopulated) juga menciptakan tekanan terhadap lingkungan.
Keprihatinan menyangkut tantangan penyediaan pangan dan daya dukung lingkungan dalam beberapa dekade mendatang ini memunculkan sinyalemen adanya agenda negara maju, seperti AS dengan Tatanan Dunia Baru (New World Order)-nya, untuk mengendalikan jumlah penduduk dalam rangka menjaga perdamaian dan stabilitas dunia.
Dugaan adanya agenda AS itu, antara lain, dikaitkan dengan program konversi besar-besaran komoditas pangan ke bahan bakar nabati yang dimotori AS dan Uni Eropa. Oleh sementara kalangan, konversi jagung ke etanol dilihat sebagai bagian dari strategi AS mewujudkan ambisi memonopoli pasokan pangan dunia sebagai jalan untuk menguasai dunia.
Mereka yang melontarkan sinyalemen ini merujuk pada kalimat Henry Kissinger, ”Control oil and you control nations, control food and you control the people.” Penasihat keamanan nasional di era Richard Nixon itu menganggap kelaparan, penyakit, dan perang sebagai instrumen de facto pengendalian penduduk dunia yang mengalami overpopulasi. Nixon sendiri berpendapat, overpopulasi menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas dunia.

Lebih dari cukup
Achim Steiner, pimpinan Program Lingkungan PBB, dalam beberapa kesempatan mengatakan, persoalan di balik krisis pangan sekarang ini sebenarnya bukan tidak tersedianya produksi pangan yang cukup secara fisik, tetapi lebih karena tidak adanya akses jutaan penduduk akibat harga yang terus melonjak.
Produksi pangan global sekarang ini sebenarnya lebih dari cukup untuk bisa memberi makan seluruh penduduk dunia. Bahkan, secara global, produksi sekarang cukup untuk memberi makan dua kali lipat jumlah penduduk dunia. Tetapi, kondisi pasar dan pasokan yang sangat dikendalikan oleh persepsi investor di pasar berjangka mendistorsi akses ke pangan tersebut. ”Masyarakat dan kehidupan yang riil dipengaruhi oleh dimensi yang sifatnya hanya spekulatif,” ujarnya.
Kenyataan sekarang ini, satu dari setiap enam penduduk dunia sekarang ini mengalami kurang gizi parah. Akibat lonjakan harga pangan, sekitar seratus juta penduduk dunia terperosok ke dalam kemiskinan ekstrem sehingga bagi dunia ini seperti menghapuskan seluruh kemajuan yang dicapai dalam pemberantasan kemiskinan dalam tiga dekade terakhir.
Di Indonesia sendiri, sinyalemen gagalnya program KB juga menyeruak akhir-akhir ini. Salah satu yang melontarkan adalah Ketua DPR Agung Laksono dan dosen Pascasarjana Ilmu Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran, Wildan Yatim.
Menurut Wildan Yatim, program KB nasional sudah gagal total. Ia merujuk pada lonjakan jumlah penduduk dari hanya 75 juta jiwa menjadi 215 juta tahun 2000. Artinya, selama 50 tahun, terjadi penambahan penduduk sebanyak 140 juta atau 187 persen, yang berarti 3,7 persen per tahun. Padahal, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sendiri menetapkan target tertinggi pertumbuhan penduduk 1,5 persen.
Kepala BKKBN Pusat Sugiri Syarief sendiri memperkirakan jumlah penduduk Indonesia bisa membengkak menjadi 270 juta orang tahun 2015 jika program KB gagal atau 30 juta orang di atas kondisi normal jika KB berjalan baik. (tat)

[Kembali]

Aturan Pertambangan Masih Bermasalah

Dikutip dari Rubrik Eksklusif, Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 09 Agt 2007


SEKALIPUN termasuk dalam prioritas pembahasan tahun ini, draf rancangan undang-undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang merupakan revisi atas UU Nomor 11 Tahun 1967 mengenai Ketentuan Pokok Pertambangan dinilai masih bermasalah.
Substansi yang termuat dalam RUU tersebut bukan sekadar berpotensi melahirkan penolakan dari kelompok masyarakat yang belum dilibatkan dalam proses penyusunannya, tetapi juga bisa berakibat buruk bagi pengembangan investasi sektor pertambangan.
Direktur Utama PT Intenational Nickel Tbk (Inco) Arief Siregar menganggap izin pertambangan yang diberikan pemerintah masih sepihak atau hanya sisi pemerintah yang diuntungkan. Karena itu diharapkan izin pertambangan dibuat berimbang agar investasi pertambangan meningkat dari tahun ke tahun.
Lantas apa yang dikehendaki pengusaha? Bagaimana dengan belum adanya regulasi tentang pertambangan? Serta seperti apa solusinya? Berikut petikan wawancaranya dengan Januarti Sinarra Tjajadi dari Jurnal Nasional di sebuah rumah makan di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Minggu (5/8)

Benarkah revisi UU Nomor 11 Tahun 1967 mengalami kemandekan?
Saya tidak mengomentari kenapa UU tersebut mandek. Yang menjadi pertanyaan terhadap RUU Pertambangan dan Batubara tersebut adalah status izin yang akan diberikan oleh pemerintah kepada investor. Menurut saya, izin tersebut tidak cukup kuat. Pertambangan adalah bisnis dengan investasinya besar, jika hanya izin tentu investor tidak mau karena sewaktu-waktu bisa dicabut. Izin itu berlaku hanya satu sisi, yaitu dari pemerintah saja.

Maksudnya tidak berimbang?
Indonesian Mining Association (IMA) mengharapkan izin itu lebih berimbang di kedua belah pihak, baik pemerintah maupun investor. Harus ada peluang dimana keduanya bicara sama tinggi. Dulu kami pernah mengusulkan supaya ada badan yang mengurusi sumber daya mineral. Peran badan itu menengahi dan bekerjasama antara pemerintah dan investor.
Badan ini yang kemudian membuat kerjasama dengan investor, bukan pemerintah langsung. Dengan begitu, investor dan pemerintah berada pada posisi sama tinggi sehingga bisa berdiskusi jika ada kontrak yang bermasalah. Jika Indonesia ingin mengajak investor masuk, tentunya harus ada jaminan berinvestasi yang jelas.

Kontrak karya masih diinginkan investor sedangkan pemerintah berencana menghapuskan? Bagaimana baiknya?
Saya tidak melihat pengaruh besar walaupun kontrak karya dihilangkan selama revisi UU tidak ditekankan pada perizinan. Jika masukan kami bisa diakomodasi, ini bukan kontrak karya, tetapi kontrak badan dengan investor. Saran kami adalah perjanjian atau agreement. Solusi itu sudah kami ajukan dan sampai sekarang masih digodok.

Ada usulan dari LSM sebaiknya mineral yang ada sekarang jangan ditambang untuk generasi selanjutnya?
Mineral adalah kekayaan, tapi tidak berarti apa-apa jika tidak ditambang. Proses pertambangan ini memberikan nilai terhadap value yang berjuta tahun tertanam di tanah. Kami datang menukar apa yang tidak berharga menjadi berharga. Itu bisa menjadi masukan pendapatan ke pemerintah dan sebaiknya digunakan untuk memperbaiki generasi ini.
Lagipula, mineral yang berharga hari ini, 20 tahun kedepan belum tentu berharga. Mineral yang saat ini tidak berharga, 20 tahun kedepan belum tentu tidak berharga. Contohnya, jika menambang asbes dilakukan 30 tahun lalu, harganya di pasar bagus. Namun jika sekarang menjual asbes, saya rasa tidak ada yang mau membeli.

Apa dampak belum adanya regulasi yang jelas seputar pertambangan?
Mulai tahun 1998 sampai sekarang sudah tidak ada lagi investasi tambang masuk ke Indonesia. Ini masalah yang sudah jelas di hadapan kita. Kepastian hukum sangat penting karena sektor pertambangan berinvestasi tinggi.
Januarti Sinarra Tjajadi


[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

Meski Dilindungi, Trenggiling Laku di Luar Negeri

Dikutip dari SRIWIJAYA POST, Rabu, 30 April 2008 .

PALEMBANG — Meski termasuk 236 satwa langka yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1999, namun trenggiling (manis javanica) dan beberapa satwa langka lainnya bebas perjualbelikan. Bahkan dalam prakteknya, trenggiling dan beberapa satwa langka Sumsel menjadi lahan bisnis ilegal namun menjanjikan hingga keluar negeri. Menurut sumber Sriwijaya Post, para pelaku memiliki jaringan kuat hingga menembus manca negara. Jaringan penjualan hewan yang dilindungi ini sulit dilacak sebab rapi, kuat, dan sembunyi-sembunyi.Hal ini ditandai dengan dibukanya bangsal atau kios, semacam tempat bisnis jual-beli ular, biawak, dan beberapa hewan lainnya di beberapa pasar tradisonal di beberapa kawasan Palembang. Kios atau bangsal ini diklaim pemilik mendapat izin dan resmi. Tetapi dalam praktiknya justru hewan-hewan langka, seperti trenggiling yang dibidik para pelaku.Sementara itu menanggapi tentang jual beli satwa langka, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, Ir Dodi Supriadi Dinas Kehutanan tidak pernah mengeluarkan ijin untuk jual beli hewan langka.Izin satwa langka harus dari Presiden dengan persyaratan khusus.Meski sulit dilacak, tetapi tidak sulit mendapatkan tempat atau menemui orang yang berbisnis hewan langka. Penelusuran Tim Sripo, terdapat beberapa lokasi penjualan trenggiling yakni, di Pasar Burung 16 Ilir, Pasar 10 Ulu dan Pasar Klinik terdapat kios yang dipasang merk cukup mencolok. Namun tidak disebutkan nama Trenggiling di sana. Sebab menurut warga sekitar, sejak dinyatakan dilindungi para pembeli mapun penadahnya, sangat hati-hati lantaran takut ketahuan pihak berwajib.Menurut H yang mengaku pernah bekerja pada salah seorang anggota sindikat penjualan satwa langka ini, satwa yang dilindungi justru paling banyak diperjualbelikan hingga ke luar negeri adalah trenggiling. Sebab binatang ini sangat diminati negara tetangga. Cara kerjanya terbilang sangat rapi sebab melibatkan oknum dari instansi-instansi terkait. Menurut pria yang sehari-hari kerap mangkal di pasar 16 Ilir ini, menjual satwa terutama trenggiling jika ditimbang mencapai 10 ton per bulan. “Saya ingin memberikan suatu fakta yang benar-benar terjadi saat ini,” tandasnya.Namun, jangan dikira bisnis ini tidak mengandung resiko. Sebab sangat rentan tertangkap. Sehingga untuk memuluskan jalan bisnis terlarang ini, mereka bisa merogoh kocek mencapai Rp 50 juta perbulan untuk memberikan setoran atau semacam upeti kepada beberapa pihak terkait. Demi kelancaran bisnis, setoran ini terbilang kecil, sebab keuntungan yang diperoleh tiap bulannya lebih besar jika dijual keluar negeri.Dikatakan Heri, biasanya oknum pengumpul satwa liar menyimpan satwa yang dilindungi tersebut di sebuah gudang di kawasan Pakjo. Salah seorang penjual, A mengaku dirinya memang bertugas mencari trenggiling. “Biasanya saya membeli trenggiling dari warga hingga Rp 150 ribu per kilogramnya,” tandas pria dua anak ini sembari mengaku berapapun trenggiling yang didapatnya biasanya langsung dijual pada Ak, penadah yang seminggu sekali mendatanginya. “Biasanya kita janjian disini,” ungkap pria yang hobby mengenakan topi ini sembari menunggu warga yang akan menjual terenggiling padanya.Ditambahkan A, trenggiling yang dibelinya dari warga itu kemudian dijual kepada Ak dengan harga Rp 225 ribu. “Lumayanlah, untung 75 ribu, buat nambahi jajan anak saya,” tandas pria ini. (tim Sriwijaya Post)

Bisnis Trenggiling Menggiurkan, tapi...

Dikutip dari Harian SRIWIJAYA POST, Rabu, 30 April 2008.

PALEMBANG — Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 para pelaku yang kerap disebut penadah, oleh warga disebut “tukang ulo”, lebih berhati-hati dan cenderung tertutup kepada orang yang baru dikenal. Umumnya yang mereka tampilkan hanya binatang-binatang yang tidak lindungi, seperti ular, biawak, dan ular berot. Namun, dalam praktiknya, mereka justru menunggu warga yang menawarkan trenggiling. “Sifatnya justru untung-untungan, tetapi justru inilah yang kita tunggu sebab harganya cukup lumayan dibanding jual beli jenis ular sawah, ular berot, ataupun biawak,” kata salah seorang penadah di kawasan Pasar 10 Ulu. Sementara itu, Ramli, warga yang mengaku pernah menjual trenggiling kepada penadah di kawasan Pasar Klinik, mengaku tidak hanya trenggiling yang dibeli, tetapi juga binatang langka lainnya termasuk buaya yang dibeli untuk dijual kembali kepada penadah utama yang diduga memiliki jaringan hingga ke Malaysia.Saat Sriwijaya Post menelusuri kawasan Pasar Klinik, Pasar 10 Ulu, pedagang justru membantah menerima jenis hewan langka. Sebut saja Aan yang mengaku tahu hukum dan tidak pernah membeli hewan langka. “Kalau itu kan dilarang diperjualbelikan. Saya tidak terima juga tidak membelinya” katanya. Namun, setelah didesak akhirnya pria ini bersedia mencarikan binatang yang dimaksud. "Tetapi untuk saat ini belum ada barangnya,” katanya.Sementara itu, pantauan di Pasar Burung 16 Ilir menunjukkan, sedikitnya terdapat lima satwa yang dilindungi diperjualbelikan secara bebas, di antaranya kukang (Nycticebus coucang), burung kakatua, harimau kecil, siamang, dan tupai tanah (Larisius insignis). Harga satwa ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.”Saya dapatkan harimau sumatera ini dari tetangga,” tandas Rosyid (nama disamarkan). Harga yang dipatok Rosyid untuk harimau sumatera berusia hampir lima bulan mencapai Rp 800.000. (tim Sriwijaya Post)

Omzet Perdagangan Trenggiling Miliaran Rupiah

METRO BANJAR/DONNY SOPHANDI
Dikutip dari Harian KOMPAS, Sabtu, 2 Agustus 2008 halaman 23.

PALEMBANG, JUMAT - Perdagangan trenggiling secara ilegal yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan diperkirakan menghasilkan omzet ratusan miliar rupiah per bulan.
Data Bareskrim Mabes Polri menyebutkan, harga trenggiling dari pengumpul lokal Rp 250.000 per kilogram. Harga daging trenggiling di pasar internasional mencapai 112 dollar AS per kilogram (sekitar Rp 1 juta), dan harga jual daging trenggiling di restoran mencapai 210 dolar AS per kilogram (sekitar Rp 1,9 juta). Sedangkan harga sisik trenggiling mencapai 1 dolar AS per keping.
Menurut Direktur V Tipiter Mabes Polri, Brigjen Sunaryono, Jumat (1/8) di gudang tempat pengumpulan trenggiling di Jalan Irigasi, Palembang, trenggiling dipasok dari Sumsel, Jambi, dan Bengkulu dalam keadaan hidup.
Dari gudang tersebut, polisi menyita 8,2 ton daging trenggiling beku yang disimpan dalam empat kontainer. Polisi juga menyita 478 kilogram labi-labi beku, 85 empedu trenggiling, dan 50 kilogram sisik trenggiling. Polisi telah menahan tiga tersangka yaitu EKS (29) warga Malaysia, HSH (38), dan MRS (56) keduanya warga Palembang.

[Kembali]

Bangkitnya Perekonomian Daerah

Oleh Cyrillus Harinowo
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008, halaman 6.
Penjualan sepeda motor selama semester I tahun 2008 mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan kinerja semester itu, sepanjang tahun 2008 penjualan sepeda motor diperkirakan mencapai enam juta unit.
Demikian juga penjualan mobil, selama semester I tahun 2008 telah mencapai 290.000 unit sehingga target penjualan sepanjang tahun sebanyak 520.000 unit tampaknya akan terlampaui.
Yang menarik, industriawan sepeda motor maupun mobil itu menunjuk tingginya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Bahkan, penjualan sepeda motor dikatakan telah mencapai 50 persen untuk luar Jawa dan 50 persen untuk Jawa. Ini berarti suatu pergeseran peran yang cukup besar antara pasar di Jawa dan luar Jawa.
Dewasa ini pengalaman bisnis semacam itu terjadi hampir di segala sektor. Kompor gas Rinnai, misalnya, merasakan pesatnya pertumbuhan penjualan di luar Jawa. Demikian juga produk barang-barang konsumsi, seperti sabun, pasta gigi, serta produk lain, permintaan dari luar Jawa mengalami peningkatan amat pesat. Banyak pihak mengatakan, perkembangannya amat fenomenal. Semua ini akhirnya bermuara pada cerita kebangkitan perekonomian di luar Jawa.
PDRB dan kebangkitan ekonomi
Dengan melihat perkembangan itu, kita bisa berharap, pertumbuhan ekonomi di luar Jawa tentu jauh lebih cepat dibanding di Jawa. Bahkan, untuk perekonomian provinsi yang relatif kecil, tingkat pertumbuhan yang tinggi akan wajar jika potensi daerah itu memungkinkan. Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, misalnya, adalah provinsi yang memiliki potensi ekonomi amat besar. Pertanyaannya, apakah potensi itu, serta pertumbuhannya, tecermin dari statistik produk domestik regional bruto (PDRB) yang ada?
Jawaban atas pertanyaan itu jauh dari yang kita bayangkan. Sebagai permulaan, satu hal yang agak mencengangkan adalah pertumbuhan ekonomi antardaerah.
Pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera secara keseluruhan mencapai 4,8 persen pada tahun 2007, turun dari 5,3 persen dari tahun 2006. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa justru mencapai 6,1 persen, di atas Pulau Sumatera. Dengan perkecualian pada tahun 2002, sejak tahun 2001, secara konsisten, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding Pulau Sumatera.
Jika demikian, bagaimana kita menjelaskan pertumbuhan penjualan berbagai produk ke Sumatera yang jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan di Jawa? Dari manakah pendapatan ini diperoleh jika pertumbuhan ekonomi Sumatera kalah dibanding Pulau Jawa?
Jika penjualan berbagai produk mengalami peningkatan amat pesat di Sumatera, logikanya tanpa ada pendapatan yang tinggi, ini berarti ada penggunaan tabungan mereka. Dalam kenyataan, tabungan masyarakat di perbankan di Sumatera menunjukkan pertumbuhan jauh lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. Tahun 2007, dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Sumatera menunjukkan jumlah sekitar Rp 200 triliun. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2003 yang mencapai sekitar Rp 100 triliun. Suatu peningkatan amat tinggi dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, di Pulau Jawa, DPK perbankan pada tahun 2007 mencapai Rp 1.153 triliun, meningkat 60 persen dibanding dengan Rp 718 triliun (2003).
Ini berarti tingkat pertumbuhan DPK perbankan di Sumatera meningkat lebih tinggi dibanding di Jawa selama empat tahun terakhir. Apa yang bisa menjelaskan fenomena ini kecuali pertumbuhan ekonomi yang seharusnya lebih tinggi di Sumatera dibanding di Jawa?
Jika melihat secara lebih rinci apa yang terjadi pada masing-masing provinsi, akan kian terlihat kesenjangan statistik itu. Sebagai contoh, provinsi yang menghasilkan PDRB terbesar di Sumatera adalah Provinsi Riau. Jumlahnya mencapai Rp 209,4 triliun, naik dibanding Rp 167,1 triliun tahun 2006. Provinsi itu menghasilkan minyak melalui Chevron Pacific (dulu Caltex) serta Bumi Siak Pusako.
Selain itu, provinsi itu juga kaya hasil perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet, kehutanan yang menghasilkan kayu, kertas, dan pulp, serta berbagai sektor ekonomi lainnya. Jika kita hanya melihat minyak bumi saja, maka produksi minyak di provinsi itu mencapai lebih dari 500.000 barrel per hari. Jika harga minyak per barrel mencapai 100 dollar AS saja, nilai penjualan minyak itu mencapai 50 juta dollar AS per hari. Dalam setahun, penjualan bisa mencapai sekitar 18 miliar dollar AS, setara Rp 170 triliun.

”Under-reporting”
Sementara itu, kelapa sawit dan kertas juga memberi penghasilan tinggi pada provinsi itu. Ditambah sektor lain, seperti pertanian, perhubungan, perdagangan, perhotelan, perbankan, dan jasa lainnya, angka PDRB sebesar itu menunjukkan tanda-tanda under-reporting.
Provinsi di Sumatera yang menghasilkan PDRB atas dasar harga yang berlaku paling kecil adalah Bangka Belitung. Pada tahun 2007, PDRB-nya mencapai Rp 17,9 triliun, naik Rp 2 triliun dibanding 2006. Data ini juga menunjukkan under-reporting yang besar. Sebagai rujukan, penjualan timah dari PT Timah Tbk selama 2007 saja mencapai Rp 7.786,2 miliar.
Diyakini, seluruh nilai tambah dari perusahaan itu masuk ke provinsi bersangkutan, yaitu Bangka Belitung (Babel). Angka itu menunjukkan, hanya dari satu perusahaan saja sudah menyumbangkan hampir separuh PDRB daerah.
Untuk industri timah, angka ini harus ditambah dengan penjualan PT Koba Tin maupun smelter swasta lain yang jumlahnya ada beberapa dan ukuran operasinya lumayan besar. Artinya, dari seluruh industri timah saja akan dihasilkan kontribusi sekitar Rp 12 triliun- Rp 13 triliun bagi PDRB. Kita tahu, industri timah adalah satu kegiatan di provinsi itu. Sementara itu, Babel juga memiliki sektor perdagangan yang kuat, sektor pertanian, seperti kelapa sawit dan lada, kaolin untuk industri keramik dan sebagainya.
Dengan melihat fakta-fakta itu, kemungkinan terjadinya under-reporting dari PDRB di provinsi-provinsi Sumatera lumayan besar. Angka PDRB itu merupakan angka penting yang bisa dimanfaatkan para pengusaha dalam menentukan strategi pengembangan usaha. Banyak perusahaan yang tergagap-gagap memenuhi permintaan yang membeludak dari daerah-daerah di luar Jawa karena mereka memperkirakan pertumbuhan permintaan itu tidak sebesar di Jawa.
Karena itu, Badan Pusat Statistik diharapkan dapat melihat lebih jeli perkembangan di lapangan sehingga data statistiknya dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan baik oleh pemerintah maupun dunia usaha.
Cyrillus Harinowo
Rektor ABFII Perbanas

[Kembali]