KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images Hamparan sawah yang mengering di Desa Wunut, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (24/8). Kawasan ini rencananya akan dibangun tol baru menggantikan tol ruas Porong-Gempol yang terendam lumpur Lapindo. |
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.
Oleh Ahmad Arif
Disesaki oleh hampir separuh penduduk Pulau Jawa, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) saat ini ibarat kapal bocor yang hendak tenggelam. Bahkan, sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti sesungguhnya, seperti terjadi di pantai utara Jakarta dan Semarang yang sekarat oleh banjir rob.
Hampir semua kota di utara Jawa kini mengalami masalah dengan ketersediaan air, baik untuk irigasi maupun air minum. Banjir juga menjadi langganan, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Pati, Semarang, hingga Situbondo.
Padahal, Jawa masa lalu adalah permata hijau di sabuk khatulistiwa yang di tanahnya mengalir sungai-sungai nan permai. Setidaknya itu yang tergambar dalam catatan Thomas Stamford Raffles (The History of Java, Oxford University Press/Kuala Lumpur, 1978) pada saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816.
Raffles menyebutkan, sepanjang pantai utara Jawa terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan semak belukar. Pantainya sangat indah dengan udara yang sehat. Di sebelah selatannya terdapat hutan lebat, pegunungan yang banyak ditumbuhi sawah- sawah siap panen, dan kehijauan abadi. Pada musim terpanas, udara masih tetap segar, sementara pada musim kering anak-anak sungai masih tetap berisi air tawar. Dari sungai inilah para petani mengairi sawah yang bertingkat-tingkat.
Lebatnya hutan bakau di pantai utara Jawa, seperti yang digambarkan Raffles, kini hampir tak terlacak lagi jejaknya. Kepala Bidang Sarana Penelitian pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pramudji mengatakan, alih fungsi bakau di Jawa, terutama untuk tambak, terus terjadi. ”Di Jawa, bakau sudah hampir habis,” kata Pramudji.
Hampir tak ada lagi ruang tersisa di pantai utara untuk konservasi. Di sebelah selatan Jalan Raya Pos, hutan lebat itu juga menghilang dengan cepat. Pembukaan lahan baru untuk pembangunan jalan tol trans-Jawa dikhawatirkan juga mempercepat laju kerusakan hutan.
Dipastikan sedikitnya 60 hektar lahan hutan produksi dan kawasan perlindungan Alas Roban di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan dikepras untuk jalan baru itu. Pembukaan hutan yang bisa dipastikan akan meluas mengingat pembukaan lahan untuk hutan pasti diikuti pertumbuhan ekonomi baru sekitar jalan.
Analisis Litbang Kompas berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan sawah di 42 kabupaten/kota yang dilalui Jalan Raya Pos selama periode 2000-2003 mencapai 33.384 hektar. Penyusutan sawah terbesar terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu 7.105 hektar.
Sedangkan penyusutan hutan untuk periode dan wilayah yang sama mencapai 10.052 hektar. Penyusutan hutan terbesar juga terjadi di Kabupaten Bandung, mencapai 3.577 hektar.
Kerugian ekonomi
Cepatnya laju penyusutan luas sawah, selain karena alih fungsi lahan, juga disebabkan oleh kekeringan. Rusaknya daerah tangkapan hujan menyebabkan jumlah lahan kritis meluas.
Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Pada musim kemarau tahun sebelumnya rata-rata debit masih 20 meter kubik per detik.
Ayi (45), petani dari Ligung Lor, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, mengatakan, 2 hektar lahan yang ditanami hanya menghasilkan 4 ton padi. Sebagian petani bahkan mengalami gagal panen.
Sedangkan kerusakan ekologi pantai dan mengecilnya air sungai telah mengakibatkan intrusi air laut makin jauh menjorok ke daratan hingga merusak lahan pertanian. Ribuan hektar lahan pertanian mulai dari Cirebon hingga Brebes tak bisa ditanami karena intrusi air laut.
”Banyak lahan dibiarkan mengering dan tidak ditanami petani di sepanjang pantura ini karena airnya asin,” kata buruh tani bawang merah, Darito (40), di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah.
Darito menunjukkan, lahan di desanya itu yang berjarak sekitar 12 kilometer dari garis pantai masih saja terkena dampak intrusi. Buruh tani lainnya, Basran (60), yang ditemui di Desa Tengki, Brebes, mengatakan, lahan baru bisa ditanami lagi setelah musim hujan. Itu pun masih harus menunggu beberapa bulan setelah hujan pertama. Total selama setahun, Darito hanya bisa memanfaatkan lahan selama empat bulan.
Kepala Seksi Pemulihan Kualitas Lingkungan pada Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Brebes Sobawi mengatakan, biaya mengatasi kerusakan lingkungan tidak terjangkau pemerintah. ”Sabuk pengaman bakau di pesisir yang menghambat intrusi air laut sudah nyaris hilang. Upaya memulihkannya tidak murah,” kata Sobawi.
Peradaban yang hilang
Kemunduran ekonomi akibat kerusakan ekologi di kawasan pesisir ini seperti mengulang hancurnya peradaban yang pernah jaya di kawasan pantai utara Jawa. Menurut catatan Raffles, sepanjang pantai utara Jawa awal abad ke-19, hampir di setiap distrik mempunyai sungai utama.
Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal. Kota-kota pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pantai utara ini,, misalnya Banten, Batavia, Cirebon, Demak Lasem, Rembang, Tuban, Gresik, hingga Panarukan.
Kebesaran pelabuhan dagang sepanjang pantai utara Jawa itu dicatat oleh banyak perantau. Misalnya Cirebon yang ditulis pengelana Portugis, Tome Pires (Summa Oriental, 1515), ”Cherimon (Cirebon) adalah pelabuhan besar yang banyak dikunjungi kapal. Di sana ada tiga sungai yang bisa dilayari kapal-kapal.”
Mengenai Gresik, Tome Pires menceritakannya sebagai pelabuhan besar yang didatangi kapal-kapal dari Gujarat, Kalkuta, Benggela, Siam, China, selain kapal-kapal dari Maluku.
Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran telah membunuh sungai-sungai di Jawa utara. Menciut dan mendangkalnya sungai-sungai itu pada akhirnya telah membunuh pelabuhan-pelabuhan besar. Dengan hilangnya pelabuhan, hilang pula sebuah peradaban.
Jejak kejayaan pantai utara Jawa itu hanya menyisakan gudang- gudang tua di sekitar pelabuhan, seperti di Cirebon dan Panarukan. Di Lasem, jejak kejayaannya terlihat dari bekas galangan kapal Belanda dan Jepang yang berada di tengah ladang warga. Bahkan, sebagian besar tak meninggalkan jejak sedikit pun. Sungai-sungai besar yang dilayari kapal mengecil, bahkan lebih mirip selokan seperti terlihat di Banten dan Cirebon.
Jika sejarah adalah kunci untuk melihat masa depan, masa depan ekologi Jawa seperti apa yang tergambarkan selain kemunduran? Dengan daya dukung lingkungan yang terus merosot dan pertambahan penduduk yang tak terkendali, tinggal menunggu waktu Jawa menjadi pulau yang karam....
(Nawa Tunggal/ Neli Triana/Siwi Yunita)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar