JAKARTA, KOMPAS - Dalam pengelolaan kawasan hutan, pemerintah kurang memerhatikan nasib kaum petani peladang. Peluang lebih banyak diberikan kepada para investor. Padahal, para investor, seperti pemilik hak pengelolaan hutan atau HPH dan perusahaan pertambangan, cenderung merusak lingkungan, sementara para peladang selalu mengelola lahan secara ekologis.
Demikian antara lain pendapat yang mencuat dalam acara talkshow bertajuk ”Kebudayaan Pertanian Peladangan Kini dan Prospeknya di Masa Depan” di Mal Grand Indonesia, Rabu (20/8).
”Kurangnya perhatian terhadap masyarakat peladang tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1965 yang membatasi peladang untuk hanya memiliki tanah seluas 2 hektar untuk setiap keluarga, disamakan dengan kebutuhan petani sawah,” kata Prof Dr S Boedhisantoso, guru besar antropologi Universitas Indonesia (UI).
Padahal, petani peladang membutuhkan setidaknya empat petak lahan untuk melakukan rotasi pemuliaan tanahnya.
Sulit dipertahankan
Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Sesmen Ristek) Prof Dr Benjamin Lakitan, narasumber lain dalam talkshow yang dipandu presenter televisi Desi Anwar, menyatakan, kebudayaan pertanian perladangan yang membutuhkan lahan yang relatif luas sulit dipertahankan di masa depan. Hal ini disebabkan karena semakin terbatasnya jumlah lahan yang tersedia, sementara populasi petaninya terus meningkat.
Iwan Tjitradjaja, pakar antropologi lingkungan UI, mengatakan, ancaman utama pada keberadaan kaum petani peladang adalah kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada mereka. ”Pemerintah lebih banyak memberi peluang kepada para investor yang cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan ketimbang kepada para petani peladang,” tutur Iwan.
Acara talkshow digelar dalam rangka pameran etnografi ”Cerita dari Ladang” yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Depbudpar bersama Forum Kajian Antropologi Indonesia, yang akan berlangsung hingga Minggu, 24 Agustus. (MUK)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar