Jumat, 29 Agustus 2008

Menjual Potensi Pulau Kalimantan

KOMPAS/M SYAIFULLAH / Kompas Images
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi salah satu tempat terbaik untuk ekowisata di Kalimantan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Hutan tropis beserta keanekaragaman hayati di tengah daratan Pulau Kalimantan atau Borneo diyakini masih lestari sebab hanya sedikit yang terjamah. Namun, kehidupan manusia di Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo di perbatasan Indonesia-Malaysia belum lepas dari kesusahan.

Perhatian dan kemajuan pembangunan enggan mendatangi rakyat yang bermukim tersebar dan terpencil di pelosok hutan, pegunungan, dan aliran sungai. Bisa dipahami kehidupan mereka kerap disebut miskin dan tertinggal.

Namun, masyarakat di sana sebenarnya berhak menikmati kemajuan seperti yang kita rasakan. Tidak pantas wilayah pedalaman yang sejatinya merupakan ”halaman depan” negara malah berantakan.

Bagaimana caranya mengatasi kondisi tadi? Apakah pariwisata solusinya? Dua pertanyaan itu coba dijawab lewat Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Komitmen

Jantung Kalimantan ialah komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada Februari 2007. Ketiga negara sepakat melestarikan 22 juta hektar hutan tropis di dataran tinggi di tengah pulau atau bolehlah disebut pedalaman yang sekaligus perbatasan antardaerah bahkan antarnegara.

Dataran tinggi itu, misalnya, Pegunungan Iban di wilayah antara Kaltim (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia). Pegunungan Schwanner antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pegunungan Muller antara Kaltim dan Kalbar, serta Pegunungan Meratus antara Kaltim, Kalteng, dan Kalimantan Selatan.

Semua pegunungan itu tempat mata air sungai-sungai besar Kalimantan, seperti Sungai Mahakam di Kaltim, Kapuas di Kalbar, serta Barito di Kalteng dan Kalsel. Di tepi sungai-sungai itu bermukim ratusan ribu orang yang merupakan keturunan masyarakat adat yang secara generik disebut suku Dayak.

Indonesia berkomitmen menjaga 12,6 juta hektar Jantung Kalimantan, yaitu 6,1 juta hektar di Kaltim, 4,1 juta hektar di Kalbar, dan 2,4 juta hektar di Kalteng.

Menurut The Ecology of Kalimantan, 1996, Borneo yang luasnya 746.405 kilometer persegi merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau paling besar adalah Greenland (2.175.600 kilometer persegi), Denmark; disusul Papua Niugini, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 kilometer persegi).

Borneo ditaksir mengandung 15.000 spesies tumbuhan yang 6.000 di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik), menurut Biodiscoveries Borneo’s Botanical Secret terbitan World Wild Fund for Nature (WWF) 2006. Selain itu, menurut Borneo’s Lost World terbitan WWF (2005), diduga ada 620 spesies burung dan 221 mamalia. Dalam 10 tahun terakhir ini ditemukan 361 spesies baru atau tiga spesies setiap bulan.

Semua itu belum termasuk kekayaan lain seperti air terjun dan perkampungan berikut kebudayaan, bahkan peninggalan orang Dayak. Untuk itu, Jantung Kalimantan tampaknya amat potensial ”dijual” sebagai obyek wisata.

Tren alam

Dalam lokakarya mengemuka model pariwisata cenderung tertarik ke alam. Ekowisata menempatkan alam dan budaya sebagai nilai jual sekaligus mendukung pelestarian alam. Ekowisata diyakini mampu menjawab minat wisata alam, bahkan menunjukkan bahwa kepentingan konservasi bisa selaras dengan ekonomi.

”Peningkatan kesejahteraan rakyat amat mungkin dilakukan lewat ekowisata,” kata Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad.

Sejumlah proyek percontohan ekowisata yang bertumpu pada rakyat sedang dikembangkan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalbar dan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kaltim.

Turis bisa datang ke obyek wisata dengan panduan warga. Turis juga bisa menikmati keseharian hidup rakyat dengan tinggal sementara di perkampungan mereka. Tentunya turis membayar semua jasa tadi, misalnya transportasi dan pengantaran ke obyek wisata, pengangkutan barang, penginapan di rumah warga, hingga makanan.

Ketua Kelompok Kerja Nasional Jantung Kalimantan Departemen Kehutanan Samedi sepakat tren sedang bergeser dari pariwisata massal mendatangi obyek wisata ke yang eksklusif, yakni menikmati petualangan alam dan adat rakyat.

”Ekowisata bahkan bisa membalikkan pandangan dunia yang negatif tentang Borneo,” kata Albert Theo, praktisi pariwisata Malaysia.

Theo yang hampir 20 tahun menggeluti pariwisata Borneo miris sebab dunia menilai Kalimantan cuma sebagai tempat tersisanya orangutan yang kian kehilangan habitat (hutan) akibat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan, atau musnah akibat kebakaran.

”Dunia belum melihat Borneo sebagai tujuan wisata yang eksotik dan berkelas dunia,” kata Theo bersemangat.

Di sisi lain, perkembangan pariwisata sebenarnya menggembirakan. Di tataran global, sektor ini menyumbang 3,6 persen PDRB dunia yang setara 1,85 triliun dollar AS dan menyerap 231,2 juta pekerja. Di tataran nasional, menurut Indonesian Tourism Statistic 2007, ada 4,8 juta turis asing ke Indonesia pada tahun 2006 sehingga negara bisa meraup devisa 4,45 miliar dollar AS.

Bupati Malinau Marthin Billa mendukung ekowisata sebagai penggerak ekonomi daerahnya yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. ”Ekowisata ialah industri ramah lingkungan,” katanya.

Namun, Samedi mengingatkan, pengembangan pariwisata rentan merusak alam bila suatu obyek wisata didatangi secara massal. Pengembangannya bahkan bisa terbentur persoalan pembangunan fasilitas untuk kenyamanan turis di obyek wisata, tetapi mengorbankan kelestarian alam.

Pariwisata, lanjut Samedi, memang berpotensi membantu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, itu bergantung pada seberapa besar rakyat mendapat manfaat atau kasarnya uang. Bila uang yang didapat diputar untuk peningkatan usaha cuma sedikit, kesejahteraan tampaknya masih sulit tercapai.

Untuk itu, pengembangan pariwisata harus digalakkan lewat kerja sama antarnegara. Tiap negara perlu mengatasi keterbatasan transportasi dan akomodasi. Promosi sebaiknya terpadu sehingga turis mau mendatangi obyek-obyek wisata di ketiga negara. ”Jangan memikirkan diri sendiri,” kata Irham Ilyas, praktisi pariwisata Indonesia.

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: