Senin, 01 Desember 2008

Maaf, Bencana Masih Mengancam

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/00360321/maaf.bencana.masih.mengancam

Yang namanya bencana lingkungan, banjir, longsor, dan banjir bandang, di Tanah Air Indonesia, bagai sisi mata uang dengan hujan. Adakah bulan tanpa bencana sepanjang tahun 2008? Maaf, jawabannya tidak!

Data Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2008 menguatkan kenyataan itu. Beratus kejadian menewaskan ratusan jiwa dan menenggelamkan beribu-ribu hektar sawah. Dan, ratusan ribu warga pun terpaksa mengungsi.

Itu baru data hingga awal November 2008, sebelum rangkaian longsor dan banjir menyapu sawah dan rumah di beberapa kawasan di Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Gorontalo. Entah sampai kapan dan kawasan mana lagi yang segera menyusul.

Itulah rupa dampak kerusakan lingkungan, yang sebagian besar merupakan buah perilaku eksploitatif skala besar bertahun lalu. Namun, bukannya berhenti, perilaku serupa masih saja direplikasi dan bagai tak menemukan ramuan mujarab membendungnya.

Lihat saja hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera, disusul Papua, yang masih saja diganggu. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hutan-hutan lindung pun terus dijarah hingga menyisakan ruang-ruang terbuka.

Perilaku eksploitatif, dengan beragam alasan pembenarnya, seperti menemukan penguatan ketika pemerintah mencetuskan kebijakan baru pada Februari 2008: izin pembukaan hutan alam dan kawasan lindung untuk pertambangan terbuka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008.

Peraturan pemerintah itu mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Hanya berselang dua bulan setelah Indonesia dinilai sukses menjadi tuan rumah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, PP itu disahkan.

Segera saja, pro-kontra mengalir deras. Yang setuju, beralasan PP itu dibuat hanya bagi 13 perusahaan yang tahun 2004 sudah memperoleh izin sehingga ada aroma arbitrase di sana bila tak diatur. Yang menolak, mendasarkan pada kondisi kehancuran lingkungan yang amat parah.

Faktanya, isi PP No 2/2008 tak hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang untuk menambang secara terbuka. Namun, mengatur pula kompensasi bagi rencana lain, seperti jalan tol, telekomunikasi, industri migas, dan infrastruktur energi terbarukan.

Berdasarkan PP itu, alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung dikenai tarif Rp 3 juta per hektar per tahun untuk tambang terbuka horizontal dan Rp 2,25 juta per hektar per tahun untuk tambang vertikal. Pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaknai PP itu sebagai jaminan kepastian berusaha.

Aroma politis pun kental seiring keluarnya PP No 2/2008. Tidak ada penolakan terbuka dari institusi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Alasannya, menteri hanya pembantu presiden, yang menandatangani PP itu.

Diakui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam masih diliputi tarik-menarik kepentingan dengan energi, sumber daya mineral, dan perekonomian.

Gandrung tanam pohon

Tahun 2008 bisa dibilang tahun gandrung menanam pohon. Pesan ”tanam satu sangat berarti” menjadi demam yang digembar- gemborkan pemerintah. Hampir setiap kegiatan diisi penanaman pohon.

Penanaman puluhan juta pohon pun dikumandangkan, termasuk oleh istri para pejabat negara. Klaimnya, lebih dari 60 juta pohon telah ditanam di seantero negeri hingga pertengahan tahun 2008. Di mana? Itulah persoalannya. Tak ada mekanisme pengawasan dan pelaporan kepada publik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mungkin merasa berhasil, gerakan menanam pohon diperluas lagi dan dimulai di Cibinong, Jawa Barat, baru-baru ini.

Namun, di beberapa daerah justru muncul kearifan lokal, seperti masyarakat adat Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang mampu mengelola hutan dengan berkelanjutan. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), pertengahan tahun 2008 memberi sertifikat. Belum lagi tokoh perseorangan yang berjuang di tengah cibiran masyarakat, menanam satu demi satu bakau hingga menjadi sabuk hijau yang memberi kehidupan.

Seperti dikatakan pemerhati ekologi, penanaman pohon memang positif, bila jenisnya tepat dan dipelihara sungguh-sungguh. Namun, yang tak kalah penting adalah gerakan mempertahankan pohon: di hutan alam, hutan lindung, taman nasional, kawasan perbukitan yang berisiko bila dibuka, dan di mana saja.

Faktanya, pembalakan hutan dan pembukaan lahan terus bermunculan. Luasan lahan kritis di berbagai daerah pun diberitakan terus bertambah.

Terakhir, dalam laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) Tahun 2007 yang diluncurkan KNLH 27 November 2008 disebutkan, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar di 31 provinsi. Tiga provinsi di Kalimantan tercatat memiliki lahan kritis tertinggi, masing-masing Kalimantan Timur (6,9 juta hektar), Kalimantan Tengah (6,1 juta ha), dan Kalimantan Barat (5,4 juta ha).

Melihat pengalaman Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Departemen Kehutanan yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, layak muncul pertanyaan mengenai efektivitas penanaman pohon. Rentetan bencana yang terus membesar membungkam laporan keberhasilan proyek tersebut.

Keberpihakan politik

Mengikuti kebijakan pemerintah, persoalan lingkungan lagi-lagi belum menjadi arus utama pembangunan. Posisinya selalu kalah bila berhadapan dengan kepentingan ekonomi. Alih fungsi lahan, hutan, dan perlakuan terhadap sumber daya alam menguatkan hal itu. Tak terbantahkan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengakui posisi tersebut. Saat ini, orientasi jangka pendek masih mengemuka dibanding menjaga ekosistem yang perannya baru dapat dirasakan dalam hitungan puluhan tahun.

Di hadapan politik? Sejauh ini setali tiga uang. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) sudah dibahas sejak tahun 2001 lalu. Kini, kabarnya, bolak-balik pada antardepartemen.

Kabar terakhir, RUU PSDA sudah siap diketok DPR. Bahkan, pidato sambutan atas pengesahannya sudah disiapkan pihak KNLH. Yang terjadi, pengesahan pun dibatalkan.

Sebenarnya, bagaimana posisi lingkungan hidup dan SDA di hadapan politisi kita? Itulah pertanyaan yang sempat diungkapkan peneliti kehutanan IPB, yang lama mencermati kebijakan dan kelembagaan kehutanan, Hariadi Kartodihardjo. Ia tak menemukan jawaban pasti.

Pada saat bersamaan, Indonesia terus bersolek menarik perhatian dunia sebagai negara kepulauan yang peduli lingkungan. Nama Indonesia harum di mata dunia seiring kesuksesan menyelenggarakan Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, akhir tahun 2007. Kewibawaannya diperhitungkan.

Sepanjang tahun 2008, Indonesia tak pernah absen pada setiap pembicaraan perubahan iklim. Peta Jalan Bali atau road map pertemuan di Bali menjadi acuan pertemuan-pertemuan perubahan iklim.

Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki figur jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan maupun yang diserap dari hutan tropisnya. Meskipun begitu, harapan besar terus membubung untuk memperoleh perhatian global dengan kucuran dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Indonesia sadar betul politik perubahan iklim sehingga menggalang kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk menghadapi negara maju. Di dalam negeri, keberpihakan politik terhadap isu lingkungan nasional jauh dari memuaskan.

Demikian pula, keberpihakan hukum. ”Saya belum puas,” kata Rachmat Witoelar saat diminta komentarnya atas penegakan hukum lingkungan setahun terakhir. Meskipun pembekalan hukum lingkungan telah memasuki lingkungan hakim dan jaksa, vonis lingkungan masih jauh dari memuaskan.

Hingga hari ini, KNLH setidaknya menggugat tiga perusahaan karena aktivitasnya. Jumlah yang relatif jauh dari jumlah ideal. Namun, tetap patut diapresiasi.

Selama keberpihakan politik, hukum, dan sosial masih, seperti setahun terakhir, bencana lingkungan akan terus terdengar setiap bulan. Bahkan, mungkin dalam skala yang lebih besar. (GESIT ARIYANTO)

[ Kembali ]