Senin, 01 Desember 2008

Maaf, Bencana Masih Mengancam

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/00360321/maaf.bencana.masih.mengancam

Yang namanya bencana lingkungan, banjir, longsor, dan banjir bandang, di Tanah Air Indonesia, bagai sisi mata uang dengan hujan. Adakah bulan tanpa bencana sepanjang tahun 2008? Maaf, jawabannya tidak!

Data Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2008 menguatkan kenyataan itu. Beratus kejadian menewaskan ratusan jiwa dan menenggelamkan beribu-ribu hektar sawah. Dan, ratusan ribu warga pun terpaksa mengungsi.

Itu baru data hingga awal November 2008, sebelum rangkaian longsor dan banjir menyapu sawah dan rumah di beberapa kawasan di Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Gorontalo. Entah sampai kapan dan kawasan mana lagi yang segera menyusul.

Itulah rupa dampak kerusakan lingkungan, yang sebagian besar merupakan buah perilaku eksploitatif skala besar bertahun lalu. Namun, bukannya berhenti, perilaku serupa masih saja direplikasi dan bagai tak menemukan ramuan mujarab membendungnya.

Lihat saja hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera, disusul Papua, yang masih saja diganggu. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hutan-hutan lindung pun terus dijarah hingga menyisakan ruang-ruang terbuka.

Perilaku eksploitatif, dengan beragam alasan pembenarnya, seperti menemukan penguatan ketika pemerintah mencetuskan kebijakan baru pada Februari 2008: izin pembukaan hutan alam dan kawasan lindung untuk pertambangan terbuka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008.

Peraturan pemerintah itu mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Hanya berselang dua bulan setelah Indonesia dinilai sukses menjadi tuan rumah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, PP itu disahkan.

Segera saja, pro-kontra mengalir deras. Yang setuju, beralasan PP itu dibuat hanya bagi 13 perusahaan yang tahun 2004 sudah memperoleh izin sehingga ada aroma arbitrase di sana bila tak diatur. Yang menolak, mendasarkan pada kondisi kehancuran lingkungan yang amat parah.

Faktanya, isi PP No 2/2008 tak hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang untuk menambang secara terbuka. Namun, mengatur pula kompensasi bagi rencana lain, seperti jalan tol, telekomunikasi, industri migas, dan infrastruktur energi terbarukan.

Berdasarkan PP itu, alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung dikenai tarif Rp 3 juta per hektar per tahun untuk tambang terbuka horizontal dan Rp 2,25 juta per hektar per tahun untuk tambang vertikal. Pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaknai PP itu sebagai jaminan kepastian berusaha.

Aroma politis pun kental seiring keluarnya PP No 2/2008. Tidak ada penolakan terbuka dari institusi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Alasannya, menteri hanya pembantu presiden, yang menandatangani PP itu.

Diakui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam masih diliputi tarik-menarik kepentingan dengan energi, sumber daya mineral, dan perekonomian.

Gandrung tanam pohon

Tahun 2008 bisa dibilang tahun gandrung menanam pohon. Pesan ”tanam satu sangat berarti” menjadi demam yang digembar- gemborkan pemerintah. Hampir setiap kegiatan diisi penanaman pohon.

Penanaman puluhan juta pohon pun dikumandangkan, termasuk oleh istri para pejabat negara. Klaimnya, lebih dari 60 juta pohon telah ditanam di seantero negeri hingga pertengahan tahun 2008. Di mana? Itulah persoalannya. Tak ada mekanisme pengawasan dan pelaporan kepada publik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mungkin merasa berhasil, gerakan menanam pohon diperluas lagi dan dimulai di Cibinong, Jawa Barat, baru-baru ini.

Namun, di beberapa daerah justru muncul kearifan lokal, seperti masyarakat adat Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang mampu mengelola hutan dengan berkelanjutan. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), pertengahan tahun 2008 memberi sertifikat. Belum lagi tokoh perseorangan yang berjuang di tengah cibiran masyarakat, menanam satu demi satu bakau hingga menjadi sabuk hijau yang memberi kehidupan.

Seperti dikatakan pemerhati ekologi, penanaman pohon memang positif, bila jenisnya tepat dan dipelihara sungguh-sungguh. Namun, yang tak kalah penting adalah gerakan mempertahankan pohon: di hutan alam, hutan lindung, taman nasional, kawasan perbukitan yang berisiko bila dibuka, dan di mana saja.

Faktanya, pembalakan hutan dan pembukaan lahan terus bermunculan. Luasan lahan kritis di berbagai daerah pun diberitakan terus bertambah.

Terakhir, dalam laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) Tahun 2007 yang diluncurkan KNLH 27 November 2008 disebutkan, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar di 31 provinsi. Tiga provinsi di Kalimantan tercatat memiliki lahan kritis tertinggi, masing-masing Kalimantan Timur (6,9 juta hektar), Kalimantan Tengah (6,1 juta ha), dan Kalimantan Barat (5,4 juta ha).

Melihat pengalaman Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Departemen Kehutanan yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, layak muncul pertanyaan mengenai efektivitas penanaman pohon. Rentetan bencana yang terus membesar membungkam laporan keberhasilan proyek tersebut.

Keberpihakan politik

Mengikuti kebijakan pemerintah, persoalan lingkungan lagi-lagi belum menjadi arus utama pembangunan. Posisinya selalu kalah bila berhadapan dengan kepentingan ekonomi. Alih fungsi lahan, hutan, dan perlakuan terhadap sumber daya alam menguatkan hal itu. Tak terbantahkan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengakui posisi tersebut. Saat ini, orientasi jangka pendek masih mengemuka dibanding menjaga ekosistem yang perannya baru dapat dirasakan dalam hitungan puluhan tahun.

Di hadapan politik? Sejauh ini setali tiga uang. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) sudah dibahas sejak tahun 2001 lalu. Kini, kabarnya, bolak-balik pada antardepartemen.

Kabar terakhir, RUU PSDA sudah siap diketok DPR. Bahkan, pidato sambutan atas pengesahannya sudah disiapkan pihak KNLH. Yang terjadi, pengesahan pun dibatalkan.

Sebenarnya, bagaimana posisi lingkungan hidup dan SDA di hadapan politisi kita? Itulah pertanyaan yang sempat diungkapkan peneliti kehutanan IPB, yang lama mencermati kebijakan dan kelembagaan kehutanan, Hariadi Kartodihardjo. Ia tak menemukan jawaban pasti.

Pada saat bersamaan, Indonesia terus bersolek menarik perhatian dunia sebagai negara kepulauan yang peduli lingkungan. Nama Indonesia harum di mata dunia seiring kesuksesan menyelenggarakan Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, akhir tahun 2007. Kewibawaannya diperhitungkan.

Sepanjang tahun 2008, Indonesia tak pernah absen pada setiap pembicaraan perubahan iklim. Peta Jalan Bali atau road map pertemuan di Bali menjadi acuan pertemuan-pertemuan perubahan iklim.

Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki figur jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan maupun yang diserap dari hutan tropisnya. Meskipun begitu, harapan besar terus membubung untuk memperoleh perhatian global dengan kucuran dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Indonesia sadar betul politik perubahan iklim sehingga menggalang kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk menghadapi negara maju. Di dalam negeri, keberpihakan politik terhadap isu lingkungan nasional jauh dari memuaskan.

Demikian pula, keberpihakan hukum. ”Saya belum puas,” kata Rachmat Witoelar saat diminta komentarnya atas penegakan hukum lingkungan setahun terakhir. Meskipun pembekalan hukum lingkungan telah memasuki lingkungan hakim dan jaksa, vonis lingkungan masih jauh dari memuaskan.

Hingga hari ini, KNLH setidaknya menggugat tiga perusahaan karena aktivitasnya. Jumlah yang relatif jauh dari jumlah ideal. Namun, tetap patut diapresiasi.

Selama keberpihakan politik, hukum, dan sosial masih, seperti setahun terakhir, bencana lingkungan akan terus terdengar setiap bulan. Bahkan, mungkin dalam skala yang lebih besar. (GESIT ARIYANTO)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Industri CPO Mulai Lirik Produksi Kompos

Kelapa Sawit
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Setelah menggunakan cangkang dan sabut kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk memanaskan boiler dan menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap, industri minyak kelapa sawit mentah atau CPO mulai melirik potensi kompos. Kalangan industri CPO menilai produksi kompos merupakan salah satu langkah efisiensi karena harga pupuk kimia yang terus meningkat seiring kenaikan harga energi.

Selain dari limbah produksi CPO, seperti tandan buah kosong, sisa pelepah kelapa sawit juga bakal diolah menjadi kompos.

Direktur Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Asian Agri Pengarapen Gurusinga, Kamis (28/8) di Jakarta, mengatakan, perseroan sedang menyiapkan proyek percontohan produksi kompos yang melibatkan masyarakat di sekitar perkebunan.

”Kami berikan masyarakat mesin pencacah dan pembuat kompos secara gratis. Kami berpikir, harga pupuk kimia akan terus naik sehingga mulai sekarang sudah mesti ada produk alternatifnya, yaitu kompos,” katanya.

Proyek percontohan dijalankan di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Perseroan bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk melatih masyarakat memproduksi kompos.

Industri CPO lain yang juga bakal terjun ke bisnis kompos adalah PT Anugerah Langkat Makmur. Produsen CPO di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini bakal menggusur kebun kelapa sawit seluas 5 hektar untuk dijadikan unit produksi kompos dari limbah CPO.

Direktur PT Anugerah Langkat Makmur Musa Rajekshah mengatakan, mereka memproduksi kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman.

India turunkan BM CPO

Selain bisa meningkatkan efisiensi biaya produksi, penjualan kompos juga bakal menjadi sumber pendapatan baru.

”Kami perkirakan potensinya bisa mencapai Rp 3 miliar per tahun. Kami juga akan mendapatkan bayaran dari lembaga internasional sebanyak 7 poundsterling dari setiap jumlah karbon yang diserap dengan pengolahan limbah menjadi kompos,” ujar Rajekshah.

Produsen CPO lainnya yang juga telah mulai memproduksi kompos adalah PT Sampoerna Agro Tbk yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

PT Sampoerna Agro saat ini telah mengolah limbah produksi CPO menjadi kompos untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Sisa tandan buah kosong dan limbah produksi CPO diendapkan di lahan kosong di sekitar pabrik kelapa sawit PT Sampoerna Agro di Belida, Ogan Komering Ilir.

Direktur Sampoerna Agro Wilayah Sumatera Yasin Chandra mengatakan, produksi kompos akan disesuaikan dengan kapasitas produksi CPO.

Sementara itu dalam Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN di Singapura, India bersedia menurunkan tarif bea masuk (BM) CPO dan produk turunannya.

”Dengan Perjanjian Perdagangan Bebas ini disepakati tarif BM tertinggi untuk CPO dari ASEAN ke India 37,5 persen dan 45 persen untuk RPO walaupun dilakukan bertahap hingga tahun 2018,” ujar Menteri Perdagangan Mari Pangestu. (ham/DAY)

[ Kembali ]

Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan

Ekspedisi
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Bekas galangan kapal peninggalan zaman Jepang di kawasan Dasun, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8), yang produksinya dikirim ke Batavia. Saat ini galangan kapal sepanjang sekitar 50 meter ini hampir tak berbekas.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ahmad Arif

Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah.

Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.

Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer.

Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan.

Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kota-kota tumbuh memanjang mengikuti jalan.

Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia.

Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa.

Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda.

Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu.

Tuan dan kuli

Dari tanah Multatuli—nama samaran Douwes Dekker—perjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an.

Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan.

Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta.

Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya.

TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983).

Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC.

Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah.

Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana.

Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan.

Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir.

Titik akhir

Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain.

Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan.

Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.

[ Kembali ]

Susahnya Hidup di Jantung Kalimantan

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO / Kompas Images
Sebuah pondok di dalam hutan yang berdekatan dengan bekas stasiun penelitian hutan tropis di Lalut Birai, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Ketidakadilan enggan pergi dari kehidupan manusia di jantung Kalimantan. Perhatian belum juga mampir ke kawasan yang berbatasan dengan Sarawak dan Sabah di Malaysia.

Gat Khaleb Ayung masih mengeluarkan Rp 25.000 untuk membeli seliter bensin, solar, atau minyak tanah di Kecamatan Krayan Hulu, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).

”Satu kilogram gula pasir harganya Rp 20.000,” kata Ayung, lelaki keturunan (Dayak) Lundayeh, saat dijumpai di Malinau, ibu kota Kabupaten Malinau, Kamis minggu pertama Agustus lalu.

Harga lebih tinggi hingga empat kali lipat, menurut Ellyas Yesaya dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo, sebab barang didatangkan dari Malaysia. Harga barang di negeri jiran itu memang lebih mahal dan biaya angkut dengan truk atau mobil bisa ratusan ribu rupiah.

Perkampungan di Krayan cuma belasan kilometer dari patok perbatasan Indonesia-Malaysia. Belasan kilometer lagi dijumpai pedesaan di Sarawak. Orang Krayan menjual beras Adan yang dihargai tinggi sebab digemari di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Hasil penjualan beras dibelikan barang untuk kebutuhan harian atau dijual di Krayan, misalnya pakaian, gula, bahan bakar, peralatan memasak, lemari es, televisi, dan radio. Semua kebutuhan itu terbatas didatangkan dari Indonesia. Krayan dikepung perbukitan berhutan tropis lebat. Tiada jalan ke sana. Sungai-sungai tidak berhubungan. Krayan cuma bisa dijangkau pesawat.

”Kondisi itu sudah lama, tetapi tidak teratasi sebab pemerintah kurang peduli,” kata Ellyas, lelaki keturunan Lundayeh itu menegaskan.

Bisa dimaklumi bila perekonomian antarmasyarakat di kedua daerah di perbatasan Indonesia-Malaysia terjalin erat. Apalagi, sesama warga perbatasan menganggap masih bersaudara sebab berasal dari suku yang sama, yakni Lundayeh, Saban, atau Leng Ilo’.

Perjalanan

Ipuy Asang, Kepala Desa Long Pujungan, dan Ngau Alung, Kepala Desa Long Ketaman, Kecamatan Pujungan, perlu berhari-hari menyusuri sungai untuk menghadiri Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Malinau. Mereka masing-masing menghabiskan Rp 770.000 sekali bepergian. Itu pun harus memutar melewati bahkan singgah di kabupaten dan kota lain.

Tiap orang membayar Rp 460.000 untuk ongkos perahu panjang bermesin yang populer disebut long boat dari Long Pujungan ke Tanjung Selor. Menuju ibu kota Kabupaten Bulungan itu minimal delapan jam menyusuri Sungai Pujungan dan Sungai Kayan, bahkan melewati sejumlah riam atau jeram.

”Saya terpaksa menginap di Tanjung Selor,” kata Asang, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Meski sudah bersiap pagi, mereka baru berangkat dari Long Pujungan menjelang tengah hari. Pemilik perahu panjang enggan berangkat bila penumpang sedikit sehingga tiba di tujuan sudah malam.

Masalahnya, perahu cepat atau speed boat terakhir dari Tanjung Selor ke Kota Tarakan berangkat pukul 14.00 Wita. Untuk itu, Asang dan Alung harus bangun pagi lalu berangkat ke Tarakan agar sempat mengejar perahu cepat terakhir menuju Malinau yang berangkat pukul 15.00 Wita.

Mereka masing-masing membayar Rp 150.000 untuk ongkos dari Tanjung Selor ke Tarakan dengan perjalanan tiga jam menyusuri Delta Bulungan dan pesisir Selat Makassar. Ongkos dari Tarakan ke Malinau Rp 160.000 tiap orang dengan perjalanan paling cepat tiga jam menyusuri Sungai Sesayap.

”Terpaksa pergi lewat sungai sebab penerbangan terhenti,” kata Alung, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Penerbangan antarkecamatan di Malinau minimal seminggu sekali dan kerap terhenti akibat cuaca buruk. Cuma pesawat berkapasitas maksimal lima orang yang bisa mendarat di Pujungan dengan landas pacu 600 meter dari beton.

Penerbangan antarkecamatan dilayani Mission Aviation Fellowship yang berkantor di Bandar Udara Juwata, Tarakan. Maskapai yang dijalankan kalangan misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penghidupan

Lohat Sigar, Ketua Adat Desa Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang, Malinau, harus berperahu setengah hari menuju hutan di hulu Sungai Mentarang yang katanya masih banyak terdapat rusa dan babi. Kedua jenis binatang itu amat sulit didapat di hutan dekat desa yang dikelola perusahaan dan menjadi ladang warga.

”Ikan-ikan makin sedikit mungkin karena sungai tambah keruh,” kata Riang Tubu, warga Mentarang Baru, menambahkan. Dia tidak tahu mengapa sungai kian coklat dan berlumpur. Itu pun air sungai masih dipakai untuk mencuci, mandi, bahkan untuk memasak dan air minum, meski direbus, tanpa dijernihkan dengan tawas.

Kehidupan warga keturunan (Dayak) Lundayeh yang dipindah lewat program resettlement dari Long Berang di hulu Sungai Mentarang itu bergantung pada pertanian. Mereka menanam padi, jagung, umbi, kacang, dan sayur-sayuran. Mereka juga membuat bakul, keranjang, tikar, saung atau caping dari anyaman rotan bila ada pesanan.

Masalahnya, menurut Yunus bin Udan, warga Desa Mentarang Baru, pendapatan dari bertani amat minim. Saat panen jagung, misalnya, tiap warga cuma bisa mengangkut 100 kilogram (kg) ke Malinau untuk dijual sebab terbatasnya mobil atau truk angkut. Biaya angkut dengan mobil pergi pulang Rp 100.000. Jagung dijual Rp 3.000 tiap kilogram sehingga keuntungan Rp 200.000.

”Sulit memenuhi semua kebutuhan dengan keuntungan cuma itu,” kata Markus, warga Desa Mentarang Baru, menegaskan.

Di sisi lain, penduduk merasa kesulitan berobat bila sakit. Di desa ada puskesmas pembantu dengan obat-obatan dan tenaga medis terbatas. Warga yang sakit parah harus dibawa ke puskesmas kecamatan yang lebih lengkap di Desa Pulau Sapi, ibu kota Mentarang. Bila masih tidak teratasi, pasien harus dibawa ke rumah sakit di Malinau yang lamanya satu jam naik mobil.

Anak-anak Mentarang Baru selepas SD melanjutkan ke SLTP di Pulau Sapi. Mereka berjalan kaki rata-rata 4 kilometer tiap hari untuk bersekolah.

Dengan pelbagai keterbatasan fasilitas, bisa dimaklumi penduduk pedalaman amat bergantung pada alam sekadar untuk hidup. Hutan dan sungai dianggap sebagai sumber penghidupan sehingga amat dilindungi.

Warga Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Malinau, telah lama menetapkan 5.300 hektar hutan sebagai Tane’ Olen. ”Artinya, hutan yang kusayang atau kujaga,” kata Witson, warga Desa Setulang.

Hutan dijaga agar sumber penghidupan tetap ada, misalnya binatang buruan, tumbuhan obat, buah-buahan, serta kayu dan rotan untuk bangunan. Selain itu, warga desa keturunan Kenyah yang dipindahkan pemerintah dari Long Saan di Pujungan tahun 1968 itu juga membangun lumbung.

Tiap keluarga memiliki satu lumbung yang diisi padi siap digiling, jagung, umbi, atau bahan makanan yang bisa bertahan lama. ”Kami harus bertahan dengan apa yang ada sebab untuk ke mana-mana jauh dan sulit angkutannya,” kata Dewu, warga Setulang.

[ Kembali ]

Jumat, 29 Agustus 2008

Jutaan Ha untuk Kelapa Sawit

Konsesi Terbesar di 20 Kabupaten
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Empat juta hektar hutan Papua telah dicadangkan untuk kebun kelapa sawit. Seiring tingginya harga komoditas kelapa sawit di pasar dunia dan jenuhnya lahan di pulau-pulau lain, pembukaan lahan di Papua sedang menunggu waktu.

”Izin sudah keluar, tinggal membuka lahan,” kata Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama (Foker) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua, Septer Manufandu, ketika dihubungi di Papua dari Jakarta, Kamis (28/8). Dalam pertemuan Foker LSM Papua dengan pemerintah daerah ditemukan fakta: izin sudah telanjur diberikan dan sejumlah lahan mulai dibuka.

Papua sebagai tujuan investasi kelapa sawit di masa depan juga diungkapkan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga Barani. Hal senada diakui Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Hingga kini tidak ada data luas lahan yang sudah dibuka. Data Deptan menunjuk 32.071 hektar (ha). Data Gapki menyebut, luasan yang sudah ditanami 20.000 hingga 30.000 ha. ”Luasan itu masih kecil,” kata Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto.

Dari data Perkumpulan Sawit Watch, pembukaan hutan di antaranya terjadi di Kabupaten Wandama, Bintuni, Sorong, dan Manokwari.

Beberapa bulan lalu, Gubernur Papua Barnabas Suebu mencanangkan pembukaan kebun kelapa sawit di Keerom 26.300 ha di bawah Rajawali Grup. ”Warga dalam posisi sulit untuk menolak, sekalipun ada contoh dampak negatif di beberapa lokasi,” kata Septer.

Data terakhir menunjukkan, 23 perusahaan memiliki konsesi di lebih dari 20 kabupaten. Tahun 2003, pada data Dinas Kehutanan Papua, 22 perusahaan tercatat menguasai 2,4 juta ha. Perusahaan itu, antara lain, Sinar Mas, Rajawali, Medco, dan Asian Agri.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat CY Hans Arwam, kemarin di Manokwari, mengakui ada pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di beberapa kabupaten di wilayahnya. Perusahaan itu antara lain Kebun Prafi yang dikelola PT Perkebunan Nusantara II di Distrik Warmare, Prafi, dan Masni.

Tingginya minat membuka lahan di Papua dikhawatirkan mengakibatkan banyak konflik. ”Cara memiliki dan membuka lahan selama ini menyisihkan masyarakat adat,” kata Septer.

Di Keerom, sejumlah tokoh adat mengaku tidak dilibatkan dalam rencana pembukaan lahan milik leluhur mereka. Padahal, hutan tempat mereka menjalankan nilai-nilai adat. (GSA/ICH)

[ Kembali ]

Strategi Pangan Armada Portugis

Kompas/Agung Setyahadi / Kompas Images
Bangsa Portugis pernah menduduki Kerajaan Ternate di Maluku Utara. Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama kali berhasil menembus Kepulauan Rempah-rempah. Mereka berhasil menundukkan Malaka sebagai gerbang menuju kepulauan itu pada tahun 1511. Kemudian mereka berlayar ke timur hingga mencapai Maluku. Armada Portugis memiliki strategi pangan sehingga mereka bisa bertahan di permukiman yang didirikan di berbagai tempat yang jauh dari negeri asalnya.

Kisah penjelajahan mereka berawal dari minat mereka terhadap komoditas rempah-rempah. Secara umum orang Eropa sudah lama mengenal rempah-rempah, tetapi informasi asal-usul rempah-rempah tidak pernah diketahui. Orang Portugis termasuk yang penasaran dengan asal-usul itu. Mereka sudah lama memiliki keinginan untuk mencari asal-usul rempah-rempah.

Pada saat yang sama sekitar abad ke-15 motif-motif untuk menguasai wilayah terbentuk ketika Portugis melakukan kolonisasi di beberapa tempat di Laut Atlantik. Dari penguasaan itu mereka menyadari bahwa keuntungan besar bisa didapat bila mereka bisa menguasai suatu wilayah.

Setelah itu, ekspedisi pertama untuk mencari rempah-rempah dilakukan tahun 1488 oleh Bartolomeus Dias. Pada tahun itu ia berhasil menjangkau Tanjung Harapan, Afrika. Setelah itu dilanjutkan oleh Vasco da Gama yang membuka jalan menuju India tahun 1498. Hingga kemudian armada yang dipimpin Alfonso de Albuquerque berhasil mendarat di Malaka.

Dalam sebuah publikasi yang ditulis oleh Eduardo Bueno (2001) disebutkan, dalam setiap pelayaran, pasukan dibekali dengan sejumlah makanan. Di kapal, awak kapal akan menyediakan 15 kg daging bergaram, bawang, vinegar, dan minyak zaitun untuk keperluan setiap anggota pasukan selama sebulan.

Kapten kapal mendapat tambahan daging ayam dan domba untuk meningkatkan nilai gizi ransum. Bila bertepatan dengan masa puasa atau masa berpantang, mereka mendapat tambahan makanan, yaitu beras serta ikan atau keju untuk menggantikan daging sapi. Dalam tradisi Katolik, masa puasa dan berpantang dilakukan 40 hari sebelum hari raya Paskah.

Anggur dan air disediakan setiap pagi. Satu orang mendapat 1,4 liter anggur. Air juga diberikan dalam jumlah yang sama. Air digunakan untuk minum dan memasak. Air disimpan dalam tangki kayu.

Pasokan yang komplet itu diberikan hanya untuk sebulan pelayaran. Setelah itu kualitas ransum menurun. Selanjutnya mereka mengonsumsi ransum yang disebut ”sailing cookie” yang terdiri atas roti kering bergaram. Meski ada upaya pengawetan, makanan ini rusak dan berbau busuk karena kecoak. Sudah bisa dipastikan mereka akan mengalami defisiensi asupan makanan bergizi. Masalah ini ditambah dengan kualitas air yang disimpan di tangki kayu yang menyebabkan air mudah tercemar sehingga menyebarkan penyakit diare dan infeksi. Akibatnya, banyak anggota pasukan yang meninggal dalam perjalanan.

Semisal armada Vasco da Gama yang ketika berangkat beranggotakan 160 orang, tetapi sebanyak 100 orang di antaranya meninggal dunia karena seriawan. (Penyakit ini mulai terpecahkan tahun 1601 oleh armada Inggris ketika Kapten James Lancester yang memimpin konvoi terdiri atas empat kapal menuju India. Ia bereksperimen memberi jeruk untuk pasukan di salah satu kapal. Mereka yang mengonsumsi jeruk sehat walafiat, tetapi pasukan di tiga kapal lainnya yang tidak mengonsumsi jeruk hampir separonya meninggal dunia)

Sejak awal armada Portugis menyadari masalah pangan ini. Akan tetapi, mereka belum bisa menemukan cara agar pasukannya bisa mendapat pasokan makanan yang baik. Bertahun-tahun armada yang dikirim selalu pulang dengan tidak komplet.

Meski belum mendapat cara untuk mengawetkan makanan di kapal, mereka membuat strategi pasokan pangan agar bisa bertahan hidup di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun berpengalaman melayari lautan luas yang jauh dari negerinya, mereka membuat cara agar pasukan Portugis tidak kehabisan pangan. Setidaknya mereka bisa mendapatkan pasokan pangan itu di sejumlah pos perhentian.

Di dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) karya Paramita R Abdurcahman disebutkan adanya keputusan Raja Portugis tertanggal 15 Maret 1518 yang memberikan insentif khusus bagi casado (anggota pasukan Portugis yang menikah dan meninggalkan pengabdiannya dalam pelayaran) untuk tinggal dan bercocok tanam di tanah baru yang ditempatinya.

Sejak awal mereka juga didorong untuk menikah dengan wanita pribumi. Mereka juga didorong untuk menanam komoditas yang bisa diperdagangkan dan juga makanan pokok yang dibutuhkan oleh pasukan. Harapannya, mereka bisa membantu pasukan Portugis yang melakukan pelayaran di berbagai tempat.

Mereka umumnya tidak tinggal jauh dengan benteng atau komunitas Portugis lainnya. Mereka memasok pangan untuk mereka. Dengan cara demikian, bila pasukan Portugis diisolasi oleh musuh, mereka masih memiliki pasokan makanan.

Untuk itu, Portugis sangat mempertimbangkan lokasi-lokasi yang layak untuk tempat tinggal ataupun tempat untuk perhentian. Semisal beberapa tempat di Flores dipilih karena di tempat itu dilaporkan banyak bahan makanan, seperti padi, kacang-kacangan, kambing, dan madu.

Meski demikian, pemilihan ini tak mudah dan kadang pula salah pilih. Salah satu tempat di Flores, yaitu Larantuka, dinilai oleh Portugis mampu menyediakan pangan, tetapi Belanda yang kemudian datang menilai tanah di tempat itu tidak subur.

Untuk memperkaya jenis-jenis pangan di daerah jajahannya, pada masa berikutnya, orang-orang Portugis juga membawa berbagai jenis bibit dan tanaman yang didapat dari sebuah negeri yang berhasil ditaklukkan, baik di Asia maupun di Amerika, untuk ditanam di negeri lainnya yang belum memiliki komoditas itu.

Kedatangan orang Portugis yang dipimpin Antonio Galvao juga membawa sejumlah tanaman, seperti anggur, tomat, avokad, dan ketela, untuk ditanam di Maluku (1536-1539). Sumber pangan ini disebutkan meningkatkan kualitas diet orang Maluku yang sebelumnya dinilai buruk.

Strategi pangan itu setidaknya berhasil menyelamatkan pasukan Portugis di Ambon yang dipimpin oleh Jurdao de Freitas (sekitar tahun 1545). Mereka sempat tidak bisa mendapat pasokan pangan dari luar ketika terjadi perselisihan dengan penduduk setempat. Mereka bisa bertahan hidup karena di sekitar benteng masih ada sumber pangan.

Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang. Di Indonesia setidaknya ada peninggalan seperti cara berkebun (menanam bunga di pekarangan), makanan (serikaya, bika, ketela, pastel), cara pengawetan makanan (acar), dan alat-alat rumah tangga seperti garpu.

Sementara itu, kedatangan orang-orang Portugis ke berbagai tempat juga membuat mereka mengenal berbagai sumber pangan yang selama ini tidak dikenal di Portugis. Salah satu yang kemudian terkenal adalah durian. Pasukan Portugis juga mencatat berbagai sumber pangan, cara memasak, dan juga mendiskripsikan rasanya. Berbagai sumber pangan ini, terutama rempah-rempah, memengaruhi kuliner bangsa Portugis yang ada hingga sekarang.

Pengumpulan berbagai komoditas yang ditemukan di berbagai tempat juga dilakukan oleh anggota pasukan yang berada di berbagai tempat.

Kala itu Kerajaan Portugis memang meminta agar berbagai jenis tanaman dan hewan dikumpulkan dan dikirim ke negerinya ketika pasukan kembali ke Lisabon.

(ANDREAS MARYOTO)

[ Kembali ]

Menjual Potensi Pulau Kalimantan

KOMPAS/M SYAIFULLAH / Kompas Images
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi salah satu tempat terbaik untuk ekowisata di Kalimantan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Hutan tropis beserta keanekaragaman hayati di tengah daratan Pulau Kalimantan atau Borneo diyakini masih lestari sebab hanya sedikit yang terjamah. Namun, kehidupan manusia di Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo di perbatasan Indonesia-Malaysia belum lepas dari kesusahan.

Perhatian dan kemajuan pembangunan enggan mendatangi rakyat yang bermukim tersebar dan terpencil di pelosok hutan, pegunungan, dan aliran sungai. Bisa dipahami kehidupan mereka kerap disebut miskin dan tertinggal.

Namun, masyarakat di sana sebenarnya berhak menikmati kemajuan seperti yang kita rasakan. Tidak pantas wilayah pedalaman yang sejatinya merupakan ”halaman depan” negara malah berantakan.

Bagaimana caranya mengatasi kondisi tadi? Apakah pariwisata solusinya? Dua pertanyaan itu coba dijawab lewat Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Komitmen

Jantung Kalimantan ialah komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada Februari 2007. Ketiga negara sepakat melestarikan 22 juta hektar hutan tropis di dataran tinggi di tengah pulau atau bolehlah disebut pedalaman yang sekaligus perbatasan antardaerah bahkan antarnegara.

Dataran tinggi itu, misalnya, Pegunungan Iban di wilayah antara Kaltim (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia). Pegunungan Schwanner antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pegunungan Muller antara Kaltim dan Kalbar, serta Pegunungan Meratus antara Kaltim, Kalteng, dan Kalimantan Selatan.

Semua pegunungan itu tempat mata air sungai-sungai besar Kalimantan, seperti Sungai Mahakam di Kaltim, Kapuas di Kalbar, serta Barito di Kalteng dan Kalsel. Di tepi sungai-sungai itu bermukim ratusan ribu orang yang merupakan keturunan masyarakat adat yang secara generik disebut suku Dayak.

Indonesia berkomitmen menjaga 12,6 juta hektar Jantung Kalimantan, yaitu 6,1 juta hektar di Kaltim, 4,1 juta hektar di Kalbar, dan 2,4 juta hektar di Kalteng.

Menurut The Ecology of Kalimantan, 1996, Borneo yang luasnya 746.405 kilometer persegi merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau paling besar adalah Greenland (2.175.600 kilometer persegi), Denmark; disusul Papua Niugini, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 kilometer persegi).

Borneo ditaksir mengandung 15.000 spesies tumbuhan yang 6.000 di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik), menurut Biodiscoveries Borneo’s Botanical Secret terbitan World Wild Fund for Nature (WWF) 2006. Selain itu, menurut Borneo’s Lost World terbitan WWF (2005), diduga ada 620 spesies burung dan 221 mamalia. Dalam 10 tahun terakhir ini ditemukan 361 spesies baru atau tiga spesies setiap bulan.

Semua itu belum termasuk kekayaan lain seperti air terjun dan perkampungan berikut kebudayaan, bahkan peninggalan orang Dayak. Untuk itu, Jantung Kalimantan tampaknya amat potensial ”dijual” sebagai obyek wisata.

Tren alam

Dalam lokakarya mengemuka model pariwisata cenderung tertarik ke alam. Ekowisata menempatkan alam dan budaya sebagai nilai jual sekaligus mendukung pelestarian alam. Ekowisata diyakini mampu menjawab minat wisata alam, bahkan menunjukkan bahwa kepentingan konservasi bisa selaras dengan ekonomi.

”Peningkatan kesejahteraan rakyat amat mungkin dilakukan lewat ekowisata,” kata Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad.

Sejumlah proyek percontohan ekowisata yang bertumpu pada rakyat sedang dikembangkan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalbar dan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kaltim.

Turis bisa datang ke obyek wisata dengan panduan warga. Turis juga bisa menikmati keseharian hidup rakyat dengan tinggal sementara di perkampungan mereka. Tentunya turis membayar semua jasa tadi, misalnya transportasi dan pengantaran ke obyek wisata, pengangkutan barang, penginapan di rumah warga, hingga makanan.

Ketua Kelompok Kerja Nasional Jantung Kalimantan Departemen Kehutanan Samedi sepakat tren sedang bergeser dari pariwisata massal mendatangi obyek wisata ke yang eksklusif, yakni menikmati petualangan alam dan adat rakyat.

”Ekowisata bahkan bisa membalikkan pandangan dunia yang negatif tentang Borneo,” kata Albert Theo, praktisi pariwisata Malaysia.

Theo yang hampir 20 tahun menggeluti pariwisata Borneo miris sebab dunia menilai Kalimantan cuma sebagai tempat tersisanya orangutan yang kian kehilangan habitat (hutan) akibat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan, atau musnah akibat kebakaran.

”Dunia belum melihat Borneo sebagai tujuan wisata yang eksotik dan berkelas dunia,” kata Theo bersemangat.

Di sisi lain, perkembangan pariwisata sebenarnya menggembirakan. Di tataran global, sektor ini menyumbang 3,6 persen PDRB dunia yang setara 1,85 triliun dollar AS dan menyerap 231,2 juta pekerja. Di tataran nasional, menurut Indonesian Tourism Statistic 2007, ada 4,8 juta turis asing ke Indonesia pada tahun 2006 sehingga negara bisa meraup devisa 4,45 miliar dollar AS.

Bupati Malinau Marthin Billa mendukung ekowisata sebagai penggerak ekonomi daerahnya yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. ”Ekowisata ialah industri ramah lingkungan,” katanya.

Namun, Samedi mengingatkan, pengembangan pariwisata rentan merusak alam bila suatu obyek wisata didatangi secara massal. Pengembangannya bahkan bisa terbentur persoalan pembangunan fasilitas untuk kenyamanan turis di obyek wisata, tetapi mengorbankan kelestarian alam.

Pariwisata, lanjut Samedi, memang berpotensi membantu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, itu bergantung pada seberapa besar rakyat mendapat manfaat atau kasarnya uang. Bila uang yang didapat diputar untuk peningkatan usaha cuma sedikit, kesejahteraan tampaknya masih sulit tercapai.

Untuk itu, pengembangan pariwisata harus digalakkan lewat kerja sama antarnegara. Tiap negara perlu mengatasi keterbatasan transportasi dan akomodasi. Promosi sebaiknya terpadu sehingga turis mau mendatangi obyek-obyek wisata di ketiga negara. ”Jangan memikirkan diri sendiri,” kata Irham Ilyas, praktisi pariwisata Indonesia.

[ Kembali ]