Senin, 01 Desember 2008

Maaf, Bencana Masih Mengancam

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/00360321/maaf.bencana.masih.mengancam

Yang namanya bencana lingkungan, banjir, longsor, dan banjir bandang, di Tanah Air Indonesia, bagai sisi mata uang dengan hujan. Adakah bulan tanpa bencana sepanjang tahun 2008? Maaf, jawabannya tidak!

Data Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2008 menguatkan kenyataan itu. Beratus kejadian menewaskan ratusan jiwa dan menenggelamkan beribu-ribu hektar sawah. Dan, ratusan ribu warga pun terpaksa mengungsi.

Itu baru data hingga awal November 2008, sebelum rangkaian longsor dan banjir menyapu sawah dan rumah di beberapa kawasan di Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Gorontalo. Entah sampai kapan dan kawasan mana lagi yang segera menyusul.

Itulah rupa dampak kerusakan lingkungan, yang sebagian besar merupakan buah perilaku eksploitatif skala besar bertahun lalu. Namun, bukannya berhenti, perilaku serupa masih saja direplikasi dan bagai tak menemukan ramuan mujarab membendungnya.

Lihat saja hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera, disusul Papua, yang masih saja diganggu. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hutan-hutan lindung pun terus dijarah hingga menyisakan ruang-ruang terbuka.

Perilaku eksploitatif, dengan beragam alasan pembenarnya, seperti menemukan penguatan ketika pemerintah mencetuskan kebijakan baru pada Februari 2008: izin pembukaan hutan alam dan kawasan lindung untuk pertambangan terbuka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008.

Peraturan pemerintah itu mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Hanya berselang dua bulan setelah Indonesia dinilai sukses menjadi tuan rumah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, PP itu disahkan.

Segera saja, pro-kontra mengalir deras. Yang setuju, beralasan PP itu dibuat hanya bagi 13 perusahaan yang tahun 2004 sudah memperoleh izin sehingga ada aroma arbitrase di sana bila tak diatur. Yang menolak, mendasarkan pada kondisi kehancuran lingkungan yang amat parah.

Faktanya, isi PP No 2/2008 tak hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang untuk menambang secara terbuka. Namun, mengatur pula kompensasi bagi rencana lain, seperti jalan tol, telekomunikasi, industri migas, dan infrastruktur energi terbarukan.

Berdasarkan PP itu, alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung dikenai tarif Rp 3 juta per hektar per tahun untuk tambang terbuka horizontal dan Rp 2,25 juta per hektar per tahun untuk tambang vertikal. Pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaknai PP itu sebagai jaminan kepastian berusaha.

Aroma politis pun kental seiring keluarnya PP No 2/2008. Tidak ada penolakan terbuka dari institusi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Alasannya, menteri hanya pembantu presiden, yang menandatangani PP itu.

Diakui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam masih diliputi tarik-menarik kepentingan dengan energi, sumber daya mineral, dan perekonomian.

Gandrung tanam pohon

Tahun 2008 bisa dibilang tahun gandrung menanam pohon. Pesan ”tanam satu sangat berarti” menjadi demam yang digembar- gemborkan pemerintah. Hampir setiap kegiatan diisi penanaman pohon.

Penanaman puluhan juta pohon pun dikumandangkan, termasuk oleh istri para pejabat negara. Klaimnya, lebih dari 60 juta pohon telah ditanam di seantero negeri hingga pertengahan tahun 2008. Di mana? Itulah persoalannya. Tak ada mekanisme pengawasan dan pelaporan kepada publik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mungkin merasa berhasil, gerakan menanam pohon diperluas lagi dan dimulai di Cibinong, Jawa Barat, baru-baru ini.

Namun, di beberapa daerah justru muncul kearifan lokal, seperti masyarakat adat Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang mampu mengelola hutan dengan berkelanjutan. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), pertengahan tahun 2008 memberi sertifikat. Belum lagi tokoh perseorangan yang berjuang di tengah cibiran masyarakat, menanam satu demi satu bakau hingga menjadi sabuk hijau yang memberi kehidupan.

Seperti dikatakan pemerhati ekologi, penanaman pohon memang positif, bila jenisnya tepat dan dipelihara sungguh-sungguh. Namun, yang tak kalah penting adalah gerakan mempertahankan pohon: di hutan alam, hutan lindung, taman nasional, kawasan perbukitan yang berisiko bila dibuka, dan di mana saja.

Faktanya, pembalakan hutan dan pembukaan lahan terus bermunculan. Luasan lahan kritis di berbagai daerah pun diberitakan terus bertambah.

Terakhir, dalam laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) Tahun 2007 yang diluncurkan KNLH 27 November 2008 disebutkan, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar di 31 provinsi. Tiga provinsi di Kalimantan tercatat memiliki lahan kritis tertinggi, masing-masing Kalimantan Timur (6,9 juta hektar), Kalimantan Tengah (6,1 juta ha), dan Kalimantan Barat (5,4 juta ha).

Melihat pengalaman Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Departemen Kehutanan yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, layak muncul pertanyaan mengenai efektivitas penanaman pohon. Rentetan bencana yang terus membesar membungkam laporan keberhasilan proyek tersebut.

Keberpihakan politik

Mengikuti kebijakan pemerintah, persoalan lingkungan lagi-lagi belum menjadi arus utama pembangunan. Posisinya selalu kalah bila berhadapan dengan kepentingan ekonomi. Alih fungsi lahan, hutan, dan perlakuan terhadap sumber daya alam menguatkan hal itu. Tak terbantahkan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengakui posisi tersebut. Saat ini, orientasi jangka pendek masih mengemuka dibanding menjaga ekosistem yang perannya baru dapat dirasakan dalam hitungan puluhan tahun.

Di hadapan politik? Sejauh ini setali tiga uang. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) sudah dibahas sejak tahun 2001 lalu. Kini, kabarnya, bolak-balik pada antardepartemen.

Kabar terakhir, RUU PSDA sudah siap diketok DPR. Bahkan, pidato sambutan atas pengesahannya sudah disiapkan pihak KNLH. Yang terjadi, pengesahan pun dibatalkan.

Sebenarnya, bagaimana posisi lingkungan hidup dan SDA di hadapan politisi kita? Itulah pertanyaan yang sempat diungkapkan peneliti kehutanan IPB, yang lama mencermati kebijakan dan kelembagaan kehutanan, Hariadi Kartodihardjo. Ia tak menemukan jawaban pasti.

Pada saat bersamaan, Indonesia terus bersolek menarik perhatian dunia sebagai negara kepulauan yang peduli lingkungan. Nama Indonesia harum di mata dunia seiring kesuksesan menyelenggarakan Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, akhir tahun 2007. Kewibawaannya diperhitungkan.

Sepanjang tahun 2008, Indonesia tak pernah absen pada setiap pembicaraan perubahan iklim. Peta Jalan Bali atau road map pertemuan di Bali menjadi acuan pertemuan-pertemuan perubahan iklim.

Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki figur jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan maupun yang diserap dari hutan tropisnya. Meskipun begitu, harapan besar terus membubung untuk memperoleh perhatian global dengan kucuran dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Indonesia sadar betul politik perubahan iklim sehingga menggalang kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk menghadapi negara maju. Di dalam negeri, keberpihakan politik terhadap isu lingkungan nasional jauh dari memuaskan.

Demikian pula, keberpihakan hukum. ”Saya belum puas,” kata Rachmat Witoelar saat diminta komentarnya atas penegakan hukum lingkungan setahun terakhir. Meskipun pembekalan hukum lingkungan telah memasuki lingkungan hakim dan jaksa, vonis lingkungan masih jauh dari memuaskan.

Hingga hari ini, KNLH setidaknya menggugat tiga perusahaan karena aktivitasnya. Jumlah yang relatif jauh dari jumlah ideal. Namun, tetap patut diapresiasi.

Selama keberpihakan politik, hukum, dan sosial masih, seperti setahun terakhir, bencana lingkungan akan terus terdengar setiap bulan. Bahkan, mungkin dalam skala yang lebih besar. (GESIT ARIYANTO)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Industri CPO Mulai Lirik Produksi Kompos

Kelapa Sawit
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Setelah menggunakan cangkang dan sabut kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk memanaskan boiler dan menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap, industri minyak kelapa sawit mentah atau CPO mulai melirik potensi kompos. Kalangan industri CPO menilai produksi kompos merupakan salah satu langkah efisiensi karena harga pupuk kimia yang terus meningkat seiring kenaikan harga energi.

Selain dari limbah produksi CPO, seperti tandan buah kosong, sisa pelepah kelapa sawit juga bakal diolah menjadi kompos.

Direktur Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Asian Agri Pengarapen Gurusinga, Kamis (28/8) di Jakarta, mengatakan, perseroan sedang menyiapkan proyek percontohan produksi kompos yang melibatkan masyarakat di sekitar perkebunan.

”Kami berikan masyarakat mesin pencacah dan pembuat kompos secara gratis. Kami berpikir, harga pupuk kimia akan terus naik sehingga mulai sekarang sudah mesti ada produk alternatifnya, yaitu kompos,” katanya.

Proyek percontohan dijalankan di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Perseroan bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk melatih masyarakat memproduksi kompos.

Industri CPO lain yang juga bakal terjun ke bisnis kompos adalah PT Anugerah Langkat Makmur. Produsen CPO di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini bakal menggusur kebun kelapa sawit seluas 5 hektar untuk dijadikan unit produksi kompos dari limbah CPO.

Direktur PT Anugerah Langkat Makmur Musa Rajekshah mengatakan, mereka memproduksi kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman.

India turunkan BM CPO

Selain bisa meningkatkan efisiensi biaya produksi, penjualan kompos juga bakal menjadi sumber pendapatan baru.

”Kami perkirakan potensinya bisa mencapai Rp 3 miliar per tahun. Kami juga akan mendapatkan bayaran dari lembaga internasional sebanyak 7 poundsterling dari setiap jumlah karbon yang diserap dengan pengolahan limbah menjadi kompos,” ujar Rajekshah.

Produsen CPO lainnya yang juga telah mulai memproduksi kompos adalah PT Sampoerna Agro Tbk yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

PT Sampoerna Agro saat ini telah mengolah limbah produksi CPO menjadi kompos untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Sisa tandan buah kosong dan limbah produksi CPO diendapkan di lahan kosong di sekitar pabrik kelapa sawit PT Sampoerna Agro di Belida, Ogan Komering Ilir.

Direktur Sampoerna Agro Wilayah Sumatera Yasin Chandra mengatakan, produksi kompos akan disesuaikan dengan kapasitas produksi CPO.

Sementara itu dalam Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN di Singapura, India bersedia menurunkan tarif bea masuk (BM) CPO dan produk turunannya.

”Dengan Perjanjian Perdagangan Bebas ini disepakati tarif BM tertinggi untuk CPO dari ASEAN ke India 37,5 persen dan 45 persen untuk RPO walaupun dilakukan bertahap hingga tahun 2018,” ujar Menteri Perdagangan Mari Pangestu. (ham/DAY)

[ Kembali ]

Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan

Ekspedisi
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Bekas galangan kapal peninggalan zaman Jepang di kawasan Dasun, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8), yang produksinya dikirim ke Batavia. Saat ini galangan kapal sepanjang sekitar 50 meter ini hampir tak berbekas.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ahmad Arif

Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah.

Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.

Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer.

Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan.

Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kota-kota tumbuh memanjang mengikuti jalan.

Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia.

Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa.

Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda.

Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu.

Tuan dan kuli

Dari tanah Multatuli—nama samaran Douwes Dekker—perjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an.

Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan.

Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta.

Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya.

TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983).

Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC.

Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah.

Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana.

Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan.

Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir.

Titik akhir

Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain.

Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan.

Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.

[ Kembali ]

Susahnya Hidup di Jantung Kalimantan

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO / Kompas Images
Sebuah pondok di dalam hutan yang berdekatan dengan bekas stasiun penelitian hutan tropis di Lalut Birai, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Ketidakadilan enggan pergi dari kehidupan manusia di jantung Kalimantan. Perhatian belum juga mampir ke kawasan yang berbatasan dengan Sarawak dan Sabah di Malaysia.

Gat Khaleb Ayung masih mengeluarkan Rp 25.000 untuk membeli seliter bensin, solar, atau minyak tanah di Kecamatan Krayan Hulu, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).

”Satu kilogram gula pasir harganya Rp 20.000,” kata Ayung, lelaki keturunan (Dayak) Lundayeh, saat dijumpai di Malinau, ibu kota Kabupaten Malinau, Kamis minggu pertama Agustus lalu.

Harga lebih tinggi hingga empat kali lipat, menurut Ellyas Yesaya dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo, sebab barang didatangkan dari Malaysia. Harga barang di negeri jiran itu memang lebih mahal dan biaya angkut dengan truk atau mobil bisa ratusan ribu rupiah.

Perkampungan di Krayan cuma belasan kilometer dari patok perbatasan Indonesia-Malaysia. Belasan kilometer lagi dijumpai pedesaan di Sarawak. Orang Krayan menjual beras Adan yang dihargai tinggi sebab digemari di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Hasil penjualan beras dibelikan barang untuk kebutuhan harian atau dijual di Krayan, misalnya pakaian, gula, bahan bakar, peralatan memasak, lemari es, televisi, dan radio. Semua kebutuhan itu terbatas didatangkan dari Indonesia. Krayan dikepung perbukitan berhutan tropis lebat. Tiada jalan ke sana. Sungai-sungai tidak berhubungan. Krayan cuma bisa dijangkau pesawat.

”Kondisi itu sudah lama, tetapi tidak teratasi sebab pemerintah kurang peduli,” kata Ellyas, lelaki keturunan Lundayeh itu menegaskan.

Bisa dimaklumi bila perekonomian antarmasyarakat di kedua daerah di perbatasan Indonesia-Malaysia terjalin erat. Apalagi, sesama warga perbatasan menganggap masih bersaudara sebab berasal dari suku yang sama, yakni Lundayeh, Saban, atau Leng Ilo’.

Perjalanan

Ipuy Asang, Kepala Desa Long Pujungan, dan Ngau Alung, Kepala Desa Long Ketaman, Kecamatan Pujungan, perlu berhari-hari menyusuri sungai untuk menghadiri Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Malinau. Mereka masing-masing menghabiskan Rp 770.000 sekali bepergian. Itu pun harus memutar melewati bahkan singgah di kabupaten dan kota lain.

Tiap orang membayar Rp 460.000 untuk ongkos perahu panjang bermesin yang populer disebut long boat dari Long Pujungan ke Tanjung Selor. Menuju ibu kota Kabupaten Bulungan itu minimal delapan jam menyusuri Sungai Pujungan dan Sungai Kayan, bahkan melewati sejumlah riam atau jeram.

”Saya terpaksa menginap di Tanjung Selor,” kata Asang, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Meski sudah bersiap pagi, mereka baru berangkat dari Long Pujungan menjelang tengah hari. Pemilik perahu panjang enggan berangkat bila penumpang sedikit sehingga tiba di tujuan sudah malam.

Masalahnya, perahu cepat atau speed boat terakhir dari Tanjung Selor ke Kota Tarakan berangkat pukul 14.00 Wita. Untuk itu, Asang dan Alung harus bangun pagi lalu berangkat ke Tarakan agar sempat mengejar perahu cepat terakhir menuju Malinau yang berangkat pukul 15.00 Wita.

Mereka masing-masing membayar Rp 150.000 untuk ongkos dari Tanjung Selor ke Tarakan dengan perjalanan tiga jam menyusuri Delta Bulungan dan pesisir Selat Makassar. Ongkos dari Tarakan ke Malinau Rp 160.000 tiap orang dengan perjalanan paling cepat tiga jam menyusuri Sungai Sesayap.

”Terpaksa pergi lewat sungai sebab penerbangan terhenti,” kata Alung, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Penerbangan antarkecamatan di Malinau minimal seminggu sekali dan kerap terhenti akibat cuaca buruk. Cuma pesawat berkapasitas maksimal lima orang yang bisa mendarat di Pujungan dengan landas pacu 600 meter dari beton.

Penerbangan antarkecamatan dilayani Mission Aviation Fellowship yang berkantor di Bandar Udara Juwata, Tarakan. Maskapai yang dijalankan kalangan misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penghidupan

Lohat Sigar, Ketua Adat Desa Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang, Malinau, harus berperahu setengah hari menuju hutan di hulu Sungai Mentarang yang katanya masih banyak terdapat rusa dan babi. Kedua jenis binatang itu amat sulit didapat di hutan dekat desa yang dikelola perusahaan dan menjadi ladang warga.

”Ikan-ikan makin sedikit mungkin karena sungai tambah keruh,” kata Riang Tubu, warga Mentarang Baru, menambahkan. Dia tidak tahu mengapa sungai kian coklat dan berlumpur. Itu pun air sungai masih dipakai untuk mencuci, mandi, bahkan untuk memasak dan air minum, meski direbus, tanpa dijernihkan dengan tawas.

Kehidupan warga keturunan (Dayak) Lundayeh yang dipindah lewat program resettlement dari Long Berang di hulu Sungai Mentarang itu bergantung pada pertanian. Mereka menanam padi, jagung, umbi, kacang, dan sayur-sayuran. Mereka juga membuat bakul, keranjang, tikar, saung atau caping dari anyaman rotan bila ada pesanan.

Masalahnya, menurut Yunus bin Udan, warga Desa Mentarang Baru, pendapatan dari bertani amat minim. Saat panen jagung, misalnya, tiap warga cuma bisa mengangkut 100 kilogram (kg) ke Malinau untuk dijual sebab terbatasnya mobil atau truk angkut. Biaya angkut dengan mobil pergi pulang Rp 100.000. Jagung dijual Rp 3.000 tiap kilogram sehingga keuntungan Rp 200.000.

”Sulit memenuhi semua kebutuhan dengan keuntungan cuma itu,” kata Markus, warga Desa Mentarang Baru, menegaskan.

Di sisi lain, penduduk merasa kesulitan berobat bila sakit. Di desa ada puskesmas pembantu dengan obat-obatan dan tenaga medis terbatas. Warga yang sakit parah harus dibawa ke puskesmas kecamatan yang lebih lengkap di Desa Pulau Sapi, ibu kota Mentarang. Bila masih tidak teratasi, pasien harus dibawa ke rumah sakit di Malinau yang lamanya satu jam naik mobil.

Anak-anak Mentarang Baru selepas SD melanjutkan ke SLTP di Pulau Sapi. Mereka berjalan kaki rata-rata 4 kilometer tiap hari untuk bersekolah.

Dengan pelbagai keterbatasan fasilitas, bisa dimaklumi penduduk pedalaman amat bergantung pada alam sekadar untuk hidup. Hutan dan sungai dianggap sebagai sumber penghidupan sehingga amat dilindungi.

Warga Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Malinau, telah lama menetapkan 5.300 hektar hutan sebagai Tane’ Olen. ”Artinya, hutan yang kusayang atau kujaga,” kata Witson, warga Desa Setulang.

Hutan dijaga agar sumber penghidupan tetap ada, misalnya binatang buruan, tumbuhan obat, buah-buahan, serta kayu dan rotan untuk bangunan. Selain itu, warga desa keturunan Kenyah yang dipindahkan pemerintah dari Long Saan di Pujungan tahun 1968 itu juga membangun lumbung.

Tiap keluarga memiliki satu lumbung yang diisi padi siap digiling, jagung, umbi, atau bahan makanan yang bisa bertahan lama. ”Kami harus bertahan dengan apa yang ada sebab untuk ke mana-mana jauh dan sulit angkutannya,” kata Dewu, warga Setulang.

[ Kembali ]

Jumat, 29 Agustus 2008

Jutaan Ha untuk Kelapa Sawit

Konsesi Terbesar di 20 Kabupaten
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Empat juta hektar hutan Papua telah dicadangkan untuk kebun kelapa sawit. Seiring tingginya harga komoditas kelapa sawit di pasar dunia dan jenuhnya lahan di pulau-pulau lain, pembukaan lahan di Papua sedang menunggu waktu.

”Izin sudah keluar, tinggal membuka lahan,” kata Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama (Foker) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua, Septer Manufandu, ketika dihubungi di Papua dari Jakarta, Kamis (28/8). Dalam pertemuan Foker LSM Papua dengan pemerintah daerah ditemukan fakta: izin sudah telanjur diberikan dan sejumlah lahan mulai dibuka.

Papua sebagai tujuan investasi kelapa sawit di masa depan juga diungkapkan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga Barani. Hal senada diakui Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Hingga kini tidak ada data luas lahan yang sudah dibuka. Data Deptan menunjuk 32.071 hektar (ha). Data Gapki menyebut, luasan yang sudah ditanami 20.000 hingga 30.000 ha. ”Luasan itu masih kecil,” kata Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto.

Dari data Perkumpulan Sawit Watch, pembukaan hutan di antaranya terjadi di Kabupaten Wandama, Bintuni, Sorong, dan Manokwari.

Beberapa bulan lalu, Gubernur Papua Barnabas Suebu mencanangkan pembukaan kebun kelapa sawit di Keerom 26.300 ha di bawah Rajawali Grup. ”Warga dalam posisi sulit untuk menolak, sekalipun ada contoh dampak negatif di beberapa lokasi,” kata Septer.

Data terakhir menunjukkan, 23 perusahaan memiliki konsesi di lebih dari 20 kabupaten. Tahun 2003, pada data Dinas Kehutanan Papua, 22 perusahaan tercatat menguasai 2,4 juta ha. Perusahaan itu, antara lain, Sinar Mas, Rajawali, Medco, dan Asian Agri.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat CY Hans Arwam, kemarin di Manokwari, mengakui ada pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di beberapa kabupaten di wilayahnya. Perusahaan itu antara lain Kebun Prafi yang dikelola PT Perkebunan Nusantara II di Distrik Warmare, Prafi, dan Masni.

Tingginya minat membuka lahan di Papua dikhawatirkan mengakibatkan banyak konflik. ”Cara memiliki dan membuka lahan selama ini menyisihkan masyarakat adat,” kata Septer.

Di Keerom, sejumlah tokoh adat mengaku tidak dilibatkan dalam rencana pembukaan lahan milik leluhur mereka. Padahal, hutan tempat mereka menjalankan nilai-nilai adat. (GSA/ICH)

[ Kembali ]

Strategi Pangan Armada Portugis

Kompas/Agung Setyahadi / Kompas Images
Bangsa Portugis pernah menduduki Kerajaan Ternate di Maluku Utara. Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama kali berhasil menembus Kepulauan Rempah-rempah. Mereka berhasil menundukkan Malaka sebagai gerbang menuju kepulauan itu pada tahun 1511. Kemudian mereka berlayar ke timur hingga mencapai Maluku. Armada Portugis memiliki strategi pangan sehingga mereka bisa bertahan di permukiman yang didirikan di berbagai tempat yang jauh dari negeri asalnya.

Kisah penjelajahan mereka berawal dari minat mereka terhadap komoditas rempah-rempah. Secara umum orang Eropa sudah lama mengenal rempah-rempah, tetapi informasi asal-usul rempah-rempah tidak pernah diketahui. Orang Portugis termasuk yang penasaran dengan asal-usul itu. Mereka sudah lama memiliki keinginan untuk mencari asal-usul rempah-rempah.

Pada saat yang sama sekitar abad ke-15 motif-motif untuk menguasai wilayah terbentuk ketika Portugis melakukan kolonisasi di beberapa tempat di Laut Atlantik. Dari penguasaan itu mereka menyadari bahwa keuntungan besar bisa didapat bila mereka bisa menguasai suatu wilayah.

Setelah itu, ekspedisi pertama untuk mencari rempah-rempah dilakukan tahun 1488 oleh Bartolomeus Dias. Pada tahun itu ia berhasil menjangkau Tanjung Harapan, Afrika. Setelah itu dilanjutkan oleh Vasco da Gama yang membuka jalan menuju India tahun 1498. Hingga kemudian armada yang dipimpin Alfonso de Albuquerque berhasil mendarat di Malaka.

Dalam sebuah publikasi yang ditulis oleh Eduardo Bueno (2001) disebutkan, dalam setiap pelayaran, pasukan dibekali dengan sejumlah makanan. Di kapal, awak kapal akan menyediakan 15 kg daging bergaram, bawang, vinegar, dan minyak zaitun untuk keperluan setiap anggota pasukan selama sebulan.

Kapten kapal mendapat tambahan daging ayam dan domba untuk meningkatkan nilai gizi ransum. Bila bertepatan dengan masa puasa atau masa berpantang, mereka mendapat tambahan makanan, yaitu beras serta ikan atau keju untuk menggantikan daging sapi. Dalam tradisi Katolik, masa puasa dan berpantang dilakukan 40 hari sebelum hari raya Paskah.

Anggur dan air disediakan setiap pagi. Satu orang mendapat 1,4 liter anggur. Air juga diberikan dalam jumlah yang sama. Air digunakan untuk minum dan memasak. Air disimpan dalam tangki kayu.

Pasokan yang komplet itu diberikan hanya untuk sebulan pelayaran. Setelah itu kualitas ransum menurun. Selanjutnya mereka mengonsumsi ransum yang disebut ”sailing cookie” yang terdiri atas roti kering bergaram. Meski ada upaya pengawetan, makanan ini rusak dan berbau busuk karena kecoak. Sudah bisa dipastikan mereka akan mengalami defisiensi asupan makanan bergizi. Masalah ini ditambah dengan kualitas air yang disimpan di tangki kayu yang menyebabkan air mudah tercemar sehingga menyebarkan penyakit diare dan infeksi. Akibatnya, banyak anggota pasukan yang meninggal dalam perjalanan.

Semisal armada Vasco da Gama yang ketika berangkat beranggotakan 160 orang, tetapi sebanyak 100 orang di antaranya meninggal dunia karena seriawan. (Penyakit ini mulai terpecahkan tahun 1601 oleh armada Inggris ketika Kapten James Lancester yang memimpin konvoi terdiri atas empat kapal menuju India. Ia bereksperimen memberi jeruk untuk pasukan di salah satu kapal. Mereka yang mengonsumsi jeruk sehat walafiat, tetapi pasukan di tiga kapal lainnya yang tidak mengonsumsi jeruk hampir separonya meninggal dunia)

Sejak awal armada Portugis menyadari masalah pangan ini. Akan tetapi, mereka belum bisa menemukan cara agar pasukannya bisa mendapat pasokan makanan yang baik. Bertahun-tahun armada yang dikirim selalu pulang dengan tidak komplet.

Meski belum mendapat cara untuk mengawetkan makanan di kapal, mereka membuat strategi pasokan pangan agar bisa bertahan hidup di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun berpengalaman melayari lautan luas yang jauh dari negerinya, mereka membuat cara agar pasukan Portugis tidak kehabisan pangan. Setidaknya mereka bisa mendapatkan pasokan pangan itu di sejumlah pos perhentian.

Di dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) karya Paramita R Abdurcahman disebutkan adanya keputusan Raja Portugis tertanggal 15 Maret 1518 yang memberikan insentif khusus bagi casado (anggota pasukan Portugis yang menikah dan meninggalkan pengabdiannya dalam pelayaran) untuk tinggal dan bercocok tanam di tanah baru yang ditempatinya.

Sejak awal mereka juga didorong untuk menikah dengan wanita pribumi. Mereka juga didorong untuk menanam komoditas yang bisa diperdagangkan dan juga makanan pokok yang dibutuhkan oleh pasukan. Harapannya, mereka bisa membantu pasukan Portugis yang melakukan pelayaran di berbagai tempat.

Mereka umumnya tidak tinggal jauh dengan benteng atau komunitas Portugis lainnya. Mereka memasok pangan untuk mereka. Dengan cara demikian, bila pasukan Portugis diisolasi oleh musuh, mereka masih memiliki pasokan makanan.

Untuk itu, Portugis sangat mempertimbangkan lokasi-lokasi yang layak untuk tempat tinggal ataupun tempat untuk perhentian. Semisal beberapa tempat di Flores dipilih karena di tempat itu dilaporkan banyak bahan makanan, seperti padi, kacang-kacangan, kambing, dan madu.

Meski demikian, pemilihan ini tak mudah dan kadang pula salah pilih. Salah satu tempat di Flores, yaitu Larantuka, dinilai oleh Portugis mampu menyediakan pangan, tetapi Belanda yang kemudian datang menilai tanah di tempat itu tidak subur.

Untuk memperkaya jenis-jenis pangan di daerah jajahannya, pada masa berikutnya, orang-orang Portugis juga membawa berbagai jenis bibit dan tanaman yang didapat dari sebuah negeri yang berhasil ditaklukkan, baik di Asia maupun di Amerika, untuk ditanam di negeri lainnya yang belum memiliki komoditas itu.

Kedatangan orang Portugis yang dipimpin Antonio Galvao juga membawa sejumlah tanaman, seperti anggur, tomat, avokad, dan ketela, untuk ditanam di Maluku (1536-1539). Sumber pangan ini disebutkan meningkatkan kualitas diet orang Maluku yang sebelumnya dinilai buruk.

Strategi pangan itu setidaknya berhasil menyelamatkan pasukan Portugis di Ambon yang dipimpin oleh Jurdao de Freitas (sekitar tahun 1545). Mereka sempat tidak bisa mendapat pasokan pangan dari luar ketika terjadi perselisihan dengan penduduk setempat. Mereka bisa bertahan hidup karena di sekitar benteng masih ada sumber pangan.

Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang. Di Indonesia setidaknya ada peninggalan seperti cara berkebun (menanam bunga di pekarangan), makanan (serikaya, bika, ketela, pastel), cara pengawetan makanan (acar), dan alat-alat rumah tangga seperti garpu.

Sementara itu, kedatangan orang-orang Portugis ke berbagai tempat juga membuat mereka mengenal berbagai sumber pangan yang selama ini tidak dikenal di Portugis. Salah satu yang kemudian terkenal adalah durian. Pasukan Portugis juga mencatat berbagai sumber pangan, cara memasak, dan juga mendiskripsikan rasanya. Berbagai sumber pangan ini, terutama rempah-rempah, memengaruhi kuliner bangsa Portugis yang ada hingga sekarang.

Pengumpulan berbagai komoditas yang ditemukan di berbagai tempat juga dilakukan oleh anggota pasukan yang berada di berbagai tempat.

Kala itu Kerajaan Portugis memang meminta agar berbagai jenis tanaman dan hewan dikumpulkan dan dikirim ke negerinya ketika pasukan kembali ke Lisabon.

(ANDREAS MARYOTO)

[ Kembali ]

Menjual Potensi Pulau Kalimantan

KOMPAS/M SYAIFULLAH / Kompas Images
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi salah satu tempat terbaik untuk ekowisata di Kalimantan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Hutan tropis beserta keanekaragaman hayati di tengah daratan Pulau Kalimantan atau Borneo diyakini masih lestari sebab hanya sedikit yang terjamah. Namun, kehidupan manusia di Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo di perbatasan Indonesia-Malaysia belum lepas dari kesusahan.

Perhatian dan kemajuan pembangunan enggan mendatangi rakyat yang bermukim tersebar dan terpencil di pelosok hutan, pegunungan, dan aliran sungai. Bisa dipahami kehidupan mereka kerap disebut miskin dan tertinggal.

Namun, masyarakat di sana sebenarnya berhak menikmati kemajuan seperti yang kita rasakan. Tidak pantas wilayah pedalaman yang sejatinya merupakan ”halaman depan” negara malah berantakan.

Bagaimana caranya mengatasi kondisi tadi? Apakah pariwisata solusinya? Dua pertanyaan itu coba dijawab lewat Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Komitmen

Jantung Kalimantan ialah komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada Februari 2007. Ketiga negara sepakat melestarikan 22 juta hektar hutan tropis di dataran tinggi di tengah pulau atau bolehlah disebut pedalaman yang sekaligus perbatasan antardaerah bahkan antarnegara.

Dataran tinggi itu, misalnya, Pegunungan Iban di wilayah antara Kaltim (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia). Pegunungan Schwanner antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pegunungan Muller antara Kaltim dan Kalbar, serta Pegunungan Meratus antara Kaltim, Kalteng, dan Kalimantan Selatan.

Semua pegunungan itu tempat mata air sungai-sungai besar Kalimantan, seperti Sungai Mahakam di Kaltim, Kapuas di Kalbar, serta Barito di Kalteng dan Kalsel. Di tepi sungai-sungai itu bermukim ratusan ribu orang yang merupakan keturunan masyarakat adat yang secara generik disebut suku Dayak.

Indonesia berkomitmen menjaga 12,6 juta hektar Jantung Kalimantan, yaitu 6,1 juta hektar di Kaltim, 4,1 juta hektar di Kalbar, dan 2,4 juta hektar di Kalteng.

Menurut The Ecology of Kalimantan, 1996, Borneo yang luasnya 746.405 kilometer persegi merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau paling besar adalah Greenland (2.175.600 kilometer persegi), Denmark; disusul Papua Niugini, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 kilometer persegi).

Borneo ditaksir mengandung 15.000 spesies tumbuhan yang 6.000 di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik), menurut Biodiscoveries Borneo’s Botanical Secret terbitan World Wild Fund for Nature (WWF) 2006. Selain itu, menurut Borneo’s Lost World terbitan WWF (2005), diduga ada 620 spesies burung dan 221 mamalia. Dalam 10 tahun terakhir ini ditemukan 361 spesies baru atau tiga spesies setiap bulan.

Semua itu belum termasuk kekayaan lain seperti air terjun dan perkampungan berikut kebudayaan, bahkan peninggalan orang Dayak. Untuk itu, Jantung Kalimantan tampaknya amat potensial ”dijual” sebagai obyek wisata.

Tren alam

Dalam lokakarya mengemuka model pariwisata cenderung tertarik ke alam. Ekowisata menempatkan alam dan budaya sebagai nilai jual sekaligus mendukung pelestarian alam. Ekowisata diyakini mampu menjawab minat wisata alam, bahkan menunjukkan bahwa kepentingan konservasi bisa selaras dengan ekonomi.

”Peningkatan kesejahteraan rakyat amat mungkin dilakukan lewat ekowisata,” kata Direktur Eksekutif WWF Indonesia Mubariq Ahmad.

Sejumlah proyek percontohan ekowisata yang bertumpu pada rakyat sedang dikembangkan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kalbar dan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kaltim.

Turis bisa datang ke obyek wisata dengan panduan warga. Turis juga bisa menikmati keseharian hidup rakyat dengan tinggal sementara di perkampungan mereka. Tentunya turis membayar semua jasa tadi, misalnya transportasi dan pengantaran ke obyek wisata, pengangkutan barang, penginapan di rumah warga, hingga makanan.

Ketua Kelompok Kerja Nasional Jantung Kalimantan Departemen Kehutanan Samedi sepakat tren sedang bergeser dari pariwisata massal mendatangi obyek wisata ke yang eksklusif, yakni menikmati petualangan alam dan adat rakyat.

”Ekowisata bahkan bisa membalikkan pandangan dunia yang negatif tentang Borneo,” kata Albert Theo, praktisi pariwisata Malaysia.

Theo yang hampir 20 tahun menggeluti pariwisata Borneo miris sebab dunia menilai Kalimantan cuma sebagai tempat tersisanya orangutan yang kian kehilangan habitat (hutan) akibat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan, atau musnah akibat kebakaran.

”Dunia belum melihat Borneo sebagai tujuan wisata yang eksotik dan berkelas dunia,” kata Theo bersemangat.

Di sisi lain, perkembangan pariwisata sebenarnya menggembirakan. Di tataran global, sektor ini menyumbang 3,6 persen PDRB dunia yang setara 1,85 triliun dollar AS dan menyerap 231,2 juta pekerja. Di tataran nasional, menurut Indonesian Tourism Statistic 2007, ada 4,8 juta turis asing ke Indonesia pada tahun 2006 sehingga negara bisa meraup devisa 4,45 miliar dollar AS.

Bupati Malinau Marthin Billa mendukung ekowisata sebagai penggerak ekonomi daerahnya yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. ”Ekowisata ialah industri ramah lingkungan,” katanya.

Namun, Samedi mengingatkan, pengembangan pariwisata rentan merusak alam bila suatu obyek wisata didatangi secara massal. Pengembangannya bahkan bisa terbentur persoalan pembangunan fasilitas untuk kenyamanan turis di obyek wisata, tetapi mengorbankan kelestarian alam.

Pariwisata, lanjut Samedi, memang berpotensi membantu rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, itu bergantung pada seberapa besar rakyat mendapat manfaat atau kasarnya uang. Bila uang yang didapat diputar untuk peningkatan usaha cuma sedikit, kesejahteraan tampaknya masih sulit tercapai.

Untuk itu, pengembangan pariwisata harus digalakkan lewat kerja sama antarnegara. Tiap negara perlu mengatasi keterbatasan transportasi dan akomodasi. Promosi sebaiknya terpadu sehingga turis mau mendatangi obyek-obyek wisata di ketiga negara. ”Jangan memikirkan diri sendiri,” kata Irham Ilyas, praktisi pariwisata Indonesia.

[ Kembali ]

Muncul dan Matinya Kota-kota

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh: SUDARYONO

Ketika Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808, di sepanjang pantai utara Pulau Jawa telah muncul dan tumbuh kota-kota.

Kota-kota yang dibangun tahun 1400 dan sebelumnya misalnya adalah Bintara, Jepara, Kudus, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Baremi, Gending, Pajarakan, Binor, Ketah, Patukangan, dan Balambangan. Adapun yang dibangun antara tahun 1400 dan 1700 seperti Anyer, Banten, Sunda Kelapa-Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Gebang, Brebes, Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Pati, Juwana, Rembang, Lamongan, Pasuruan, Besuki, dan Panarukan (Rutz, 1987).

Beberapa kota tersebut sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang, sementara yang lainnya telah meredup atau bahkan mati. Terdapat empat faktor yang menyebabkan kota-kota tumbuh dan mati (ditinggalkan), yakni (1) kebijakan politik administrasi kepemerintahan; (2) jaringan transportasi; (3) pengembangan sumber daya ekonomi; dan (4) faktor alam.

Faktor kebijakan politik administrasi kepemerintahan sangat berpengaruh pada tumbuh dan matinya suatu kota ketika kota tersebut dinaikkan atau diturunkan statusnya. Sebagai contoh kota Bogor (Buitenzorg) mulai meredup ketika semula menjadi resident’s seat pada 1815 dan diturunkan menjadi assistant resident’s seat pada 1826. Kota Citeureup yang semula menjadi pusat pemerintahan kabupaten lalu meredup ketika pemerintahan dipindahkan ke Cikapundung pada tahun 1810 dan diganti nama menjadi Bandung. Kota Pasuruan yang pernah menjadi ibu kota karesidenan tahun 1812 (masa pendudukan Inggris) juga meredup ketika ibu kota karesidenan dipindahkan ke Malang tahun 1931 (Rutz, 1987).

Selain itu, kebijakan politik administrasi kepemerintahan dalam bentuk penggabungan wilayah karesidenan juga telah meredupkan kota-kota yang tergabung. Contohnya adalah Probolinggo yang digabung dengan Pasuruan pada tahun 1901, Purwakarta (Karawang) digabung dengan Batavia (1901), Tegal digabung dengan Pekalongan (1901), Pati digabung dengan Semarang (1902), serta Rembang digabung dengan Jepara dan Pati pada tahun 1931 (Rutz, 1987) .

Faktor jaringan transportasi juga sangat berpengaruh terhadap hidup atau matinya suatu kota. Kota Berbek sebagai ibu kota kabupaten dan assistant resident’s seat menjadi surut dan mati ketika pemerintahan dipindahkan ke Nganjuk, menyusul dibukanya stasiun kereta api Nganjuk (Rutz, 1987). Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa dengan dibangunnya jalan baru (ring road) yang membelah Alas Roban di kawasan Gringsing-Batang, penginapan, rumah makan serta warung-warung yang berada di pinggir jalan lama banyak yang tutup atau mati. Sebaliknya, pada jalur baru yang dibangun, di kanan-kirinya telah banyak tumbuh permukiman baru, warung, penginapan, dan pangkalan-pangkalan truk.

Peran kota Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa bagian timur menjadi redup dan mati setelah pada tahun 1808 Daendels yang semula berniat menjadikan Surabaya sebagai ibu kota Indonesia membangun Surabaya secara besar- besaran. Surabaya menjadi kota galangan kapal terbesar di Indonesia. Seiring menguatnya Surabaya menjadi kota pelabuhan penting di wilayah Indonesia, mereduplah pamor Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Pulau Jawa.

Faktor alam yang sempat menjadi bukti sejarah redup dan matinya suatu kota ditunjukkan oleh Tuban. Kota ini pernah menjadi kota pelabuhan besar dan penting di pantai utara Pulau Jawa. Kota Tuban perlahan-lahan mulai meredup ketika pendangkalan pelabuhan terjadi akibat penumpukan lumpur yang memenuhi pelabuhan Sedayu (Rutz, 1987).

Regenerasi yang gagal

Terjadinya perubahan kegiatan ekonomi dan tata ruang kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos dari skala lokal menuju ke skala regional dan nasional tampaknya tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para pelaku ekonomi lokal, khususnya pelaku ekonomi kelas menengah dan kecil. Banyaknya toko tua serta gudang-gudang tua yang tertulis ”dijual” menunjukkan bahwa pemiliknya tidak lagi mampu bertahan di tengah pusaran perubahan ekonomi dan tata ruang di sepanjang Jalan Raya Pos.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan ekonomi dan tata ruang pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos merupakan perubahan yang invasif dan bukannya perubahan yang regeneratif. Ke depan, fenomena ini tentu akan membawa kota-kota pada situasi di mana kegiatan ekonomi dan tata ruang kota tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Pelebaran jalan yang saat ini tengah dilakukan secara besar- besaran (menjadi empat lajur) telah memangkas hunian-hunian, warung-warung, dan toko-toko skala lokal yang berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pelebaran jalan di beberapa penggal kota telah membuat bangunan- bangunan yang dipangkasnya menjadi memiliki sempadan jalan nol atau bahkan minus.

Pelebaran jalan yang juga diikuti dengan peninggian badan jalan pada akhirnya telah menenggelamkan akses warung-warung, penginapan, dan toko-toko kecil di sepanjang jalan. Tenggelamnya akses ini tentu telah mematikan kegiatan ekonomi yang sebelumnya pernah ada.

Masa depan kota-kota

Dengan semakin membaiknya kualitas dan kondisi Jalan Raya Pos oleh intervensi pemerintah pusat, kegiatan-kegiatan ekonomi yang semula berskala kota dan berlokasi di dalam kota mulai banyak yang ditarik keluar kota dan memadati lahan pertanian subur di sepanjang Jalan Raya Pos. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada kapasitas lingkungan jalan dalam menampung arus lalu lintas kendaraan dan barang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, hampir semua kota yang dilewati oleh Jalan Raya Pos telah membuat jalan lingkar (ring road).

Pembuatan jalan lingkar utara dan lingkar selatan menunjukkan tidak adanya kontrol pembangunan yang ketat dari para pengelola kota. Gudang-gudang besar, kantor, sekolah, dan industri telah mulai bermunculan di sepanjang jalan lingkar tersebut. Situasi seperti ini tentunya ke depan akan menjadi pemicu perkembangan kota keluar ke arah utara dan ke selatan kota.

Secara ekologis tentu perkembangan seperti itu akan membahayakan kota-kota tersebut. Ketebalan kawasan pertanian di sebelah utara Jalan Raya Pos sangat terbatas karena berbatasan langsung dengan laut Jawa. Perkembangan ke arah utara akan sangat membahayakan bagi kelestarian air tanah dan ekologi kawasan pantai Laut Jawa.

Sementara pengembangan kota ke arah selatan juga akan sangat berbahaya. Selain terjadi reduksi lahan-lahan pertanian, juga terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan, yang umumnya mengikuti terjadinya perubahan fisik tata ruang. Dari pengalaman selama ini, kita hanya sibuk menyiapkan konsep-konsep tata ruang fisik, tetapi tidak pernah menyiapkan tata sosial, tata budaya, dan tata ekonomi yang akan dibangun sebagai konsekuensi perubahan lahan dari pertanian ke perkotaan.

Melihat perkembangan penduduk yang pesat sejak tahun 1930, di masa depan, kota-kota yang memangku Jalan Raya Pos tampaknya akan tetap menjadi pilihan urbanisasi yang sangat penting di Pulau Jawa.

Ketika kontrol pembangunan semakin melemah, dapat dipastikan kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos di masa depan akan semakin mengalami permasalahan berkaitan dengan kapasitas lingkungan dan infrastruktur. Jalan Raya Pos telah menjadi pelajaran yang sangat mahal dan penuh pertaruhan ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan jalur selatan Pulau Jawa yang sudah dimulai dengan penuh semangat tinggi itu perlu direnungkan kembali.

Tentu kita tidak ingin membuat Pulau Jawa menjadi pulau kota.

Sudaryono Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

[ Kembali ]

Ketika Kota Menjadi Seragam

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Pengendara sepeda motor melintas di antara bangunan tinggi kediaman masyarakat keturunan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8).

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Kota-kota di Jalan Raya Pos menuju warna yang seragam, dengan Jakarta menjadi pusat orientasinya: bangunan mal kotak kaca untuk kota-kota besar dan ruko-ruko untuk kota-kota kecil. Di balik keseragaman itu ada lokalitas yang mati, baik secara fisik maupun ekonomi.

Pusat perbelanjaan modern tumbuh di kota besar seperti jamur pada musim hujan. Hampir tak ada ruang yang tak boleh dibangun untuk mal. Dampaknya adalah matinya pasar tradisional. Contoh menjamurnya mal ini nyata terlihat di empat kota terbesar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Di kota-kota kecil, selain munculnya ruko-ruko yang mengekspansi area persawahan, fenomena baru adalah munculnya jaringan bisnis waralaba nasional, seperti Alfamart dan Indomaret, dengan barang dagangan yang seragam dari Anyer hingga Panarukan.

Catatan Litbang Kompas, di tepi Jalan Raya Pos sepanjang Semarang hingga Panarukan, sedikitnya terdapat 31 toko Alfamart dan Indomaret. Jaringan pertokoan yang sama juga merangsek ke dalam pusat kota-kota kecil ini hingga jauh dari Jalan Raya Pos dan telah menggeser (baca: mematikan) toko-toko tradisional.

Toko-toko dari era lama itu gagal melakukan regenerasi, meninggalkan wajah bangunan tua yang tenggelam oleh Jalan Raya Pos yang terus ditinggikan. Fenomena ini terutama terlihat di pertokoan sepanjang Cirebon hingga Semarang. Di Rembang dan Lasem, fenomena yang sama juga jelas terlihat.

Pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebut, fenomena ini sebagai kegagalan regenerasi kota. Ke depan, fenomena ini akan membawa kota-kota pada situasi, yakni kegiatan ekonomi dan tata ruang tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Citra kota

Kota-kota di Jawa sebenarnya tumbuh dari kekhasannya masing-masing. Kekhasan yang terimplementasikan hingga ke level kampung dan memengaruhi toponiminya, misalnya Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil) di sungai-sungainya. Contoh skala kampung, misalnya, Kampung Rambutan (di Jakarta) untuk menyebut banyaknya buah rambutan di kampung itu.

GL Gonggrijp yang menulis sejarah ekonomi Hindia-Belanda (Schets Eener Economische Geschiedenis van Nederlandsch-Indie) menyebutkan, tujuh kekuatan ekonomi Hindia Belanda, yakni kekhasan keadaan alam, karakter (bakat dan keterampilan penduduk) dan ide bangsa lain yang berhubungan dengan suku-suku pribumi, kepadatan penduduk, pembagian kerja, pembentukan modal, dan peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.

Kekhasan citra kota sepertinya sangat diperhitungkan Belanda. Tatkala Belanda mulai mendirikan kota praja (gementee) di nusantara pada tahun 1905, lambang-lambang yang diambil adalah ciri khas kota-kota tersebut.

Sebagai contoh lambang Kota Soerabaja menampilkan pertarungan Ikan Soera dan Boeaja, yakni cerita rakyat yang melegenda tentang asal-usul Surabaya. Demikian pula lambang kota Cheribon alias Cirebon yang menampilkan tiga ekor udang yang menggambarkan Cirebon sebagai kota udang yang dihasilkan dari pesisir lautnya.

Lambang Kotapradja Pasoeroean pun menampilkan kekhasan, yakni tiga lembar daun tembakau yang melambangkan perkebunan tembakau di daerah Besuki yang dulu menjadi pusat pengembangan tanah swasta (particulere landrijen) yang menghasilkan devisa besar bagi Kerajaan Belanda.

Spesifikasi vs penyeragaman

Tidak hanya masalah pencitraan, kekhasan antardaerah telah mendorong spesifikasi antarkota. Pada masa lalu kota-kota di pantai utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya.

Misalnya, Banten dikenal dengan komoditas lada, Cirebon pengirim tebu dan gula, Demak pelabuhan ekspor beras Mataram —menurut sejumlah catatan, Demak dulu adalah pantai, diapit oleh Pulau Jepara yang dulu terpisah dari Pulau Jawa—Lasem dan Rembang pengirim kayu jati dan produsen kapal, Tuban menjadi pelabuhan ekspor Majapahit dengan komoditas utama beras, serta Panarukan menjadi pelabuhan ekspor tembakau.

Namun, globalisasi yang ditafsirkan sebagai penyeragaman wajah kota telah menghilangkan kekuatan lokal di tiap kota. Seiring dengan itu, kota-kota pelabuhan yang dibesarkan oleh kawasan sekitarnya (hinterland) mulai memudar.

Diversifikasi kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos akhirnya memusat di tiga kota besar, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Contohnya, untuk mengirim tembakau, warga Jember dan Besuki tak lagi datang ke Pelabuhan Panarukan, tapi memilih membawanya menggunakan truk ke Surabaya.

Kota-kota besar itu menyedot daerah sekitarnya dan tak membagi remah ekonomi ke kawasan sekitarnya, selain sampah dan limbah. Akhirnya, kota penyangga tumbuh menyedot kawasan lain yang lebih kecil untuk bisa tumbuh. Demikian seterusnya.

Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, bentuk pertumbuhan kota-kota penyangga seperti sekarang merupakan kegagalan pertumbuhan kota yang terus mendorong urbanisasi yang tidak terbendung.

”Bekasi awalnya menjadi kawasan penyangga Jakarta. Namun, ketika daya dukung ekologi kota Bekasi melemah, Bekasi akan membutuhkan kota penyangga lainnya, yaitu sampai ke Cirebon. Lalu, Bogor membutuhkan kota penyangga Sukabumi, dan Tangerang membutuhkan kota penyangga sampai Rangkasbitung,” ujar Emil.

Menurut Direktur Eksekutif Senior Urban and Regional Development Institute Budhy Tjahjati S Soegijoko, menyusutnya pertanian karena terus terdesak pembangunan kota yang tak terkontrol menjadi potret kegagalan pengembangan diferensiasi menuju spesialisasi kota yang memiliki keterikatan kuat dengan hinterland atau kawasan pedesaan sekitar yang mendukungnya.

Pada akhirnya, kota-kota besar tumbuh hingga berlebih beban karena kaum urban yang terus berdatangan dari desa-desa yang dimatikan. Ketika kota-kota menjadi seragam, sesungguhnya mereka menuju titik kematiannya sendiri.

(aik/ong/naw/nel/nit)

[ Kembali ]

Menuju Kota Gagal

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Puluhan lelaki asal Desa Gunung Sari, Kecamatan Gebog, Rembang, Jawa Tengah, menunggu bus jurusan Semarang, Senin (4/8). Mereka meninggalkan desa yang mengalami kekeringan untuk mencari uang sebagai tukang pelitur mebel di berbagai kota di Jawa.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh: Ahmad Arif

Kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos tumbuh menjadi kota gagal: angka pengangguran yang tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam yang menurun, dan kinerja sarana serta prasarana perkotaan yang memburuk.

Sejarah perencanaan kota modern di Indonesia dimulai ketika sejumlah kota dibangun Belanda mengikuti pola kota-kota Eropa awal abad ke-19. Sebagian besar kota itu berada di sepanjang Jalan Raya Pos, misalnya, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Plan der Nagorij Bandung atau tata ruang itu selesai 15 tahun sejak Daendels memerintahkan pemindahan Kota Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Awal abad ke-20, ahli kesehatan HF Tillema mengusulkan pemindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung. Kota ini berbenah diri sejak 1915. Bangunan-bangunan monumental dibangun, misalnya Gedung Sate (1920), Technische Hoogeschool sekarang Institut Teknologi Bandung (1920), dan Artilerie Inrichtingen (1922) atau PT Pindad.

Kawasan Braga, karena indahnya, dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat van Indie atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Berikutnya, pada tahun 1930, Thomas Karsten membangun Bandung dengan konsep ”kota taman” (Garden City).

Namun, tengoklah Bandung kini. Jalan-jalannya macet, terutama saat hari libur. Sampah menjadi masalah yang tak teratasi. Taman-taman yang membuat Bandung terkenal sebagai Kota Taman hampir tak ada jejaknya lagi. Taman Ganesha, Maluku, dan Cilaki dipenuhi warung-warung. Taman Sari, yang dulu lapang, kini dipenuhi rumah.

Tata kota tumpang tindih, kawasan Bandung utara yang didesain untuk permukiman tumbuh tak terkendali, disesaki perkantoran dan pertokoan. Pertumbuhan kota terus merangsek ke utara, menyebabkan area resapan air berkurang.

Pertumbuhan lebih tak terkontrol terlihat di Bandung selatan. Perumahan baru mengonversi lahan pertanian, tanpa disertai infrastruktur dasar seperti drainase memadai. Akibatnya, kawasan Bandung selatan sering kebanjiran.

Di Semarang, tata kota yang juga didesain oleh Thomas Kartsen hampir-hampir tak terlihat jejaknya lagi. Kota yang semasa kolonial Belanda menjadi salah satu pelabuhan besar dan permukiman ramai ini, menurut guru besar arsitektur Universitas Diponegoro (Undip), Totok Rusmanto, kini hancur-hancuran.

Kehebatan kota ini hanya tersisa dari bangunan-bangunan tua di Kota Lama Semarang yang sekarat oleh rob. ”Pembangunan di Semarang tak terkendali. Kualitas lingkungan terus mundur,” kata Totok.

Adapun di Kota Surabaya, sekitar 75 persen air tanah sudah digantikan oleh air laut dan mencemari air sumur. Seperti Jakarta, kota ini disulitkan oleh kemacetan lalu lintas yang makin parah, semakin seringnya banjir, dan pertambahan penduduk yang tak bisa dilayani oleh permukiman yang layak. Kota tumbuh tak terkendali.

Seperti kota-kota besarnya, kota-kota kecil sepanjang Jalan Raya Pos juga tumbuh tak terkendali. Sudaryono mencatat (Perubahan Kota Pasca-pembangunan Jalan Raya Pos, diskusi panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota ini diwarnai konflik dan kebingungan tata ruang. Hal itu bisa diamati dari tumpang tindihnya kegiatan skala kota dan regional (seperti pergudangan dan industri) dengan kegiatan skala lingkungan (seperti sekolah dan pasar).

Kota-kota ini juga ditandai dengan optimisme dan spekulasi berlebihan. Kapling-kapling skala besar yang dicetak dengan menguruk lahan pertanian subur banyak yang telantar. Kalaupun terbangun, itu menjadi bangunan- bangunan kosong tidak terpakai. Fenomena ini banyak terlihat, misalnya, di Tegal timur dan Cirebon selatan.

Kedodoran

Ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, mengatakan, kegagalan kota-kota kita adalah karena lambatnya penguasa kota merespons pertumbuhan kotanya.

Denny mencontohkan Kota Bandung, yang semula didesain oleh Thomas Karsten hanya untuk menampung 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Kini, kota itu harus menampung jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 155 jiwa per hektar.

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang baru dibuat direncanakan melayani 2,9 juta jiwa hingga tahun 2013. Rencana pusat kota baru itu berada di Bandung timur, tetapi saat ini kondisinya masih berupa lahan pertanian. ”Dalam prosesnya, RTRW kota baru ini juga terus diubah-ubah mengikuti kepentingan pemodal,” ujar Denny.

Di Surabaya, ahli tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Putu Rudy Satiawan, juga mengeluhkan pertumbuhan kotanya yang tak terkontrol. ”Rencana tata ruang yang telah disusun ditabrak,” katanya.

Rudy menunjuk pada banyaknya penyimpangan peruntukan lahan. Misalnya di sekitar Pantai Tambakoso, yang menurut RTRW Surabaya 2005 adalah kawasan pelabuhan, kini berkembang menjadi industri. Luasan penyimpangannya sekitar 257 hektar. ”Total luasan deviasi tata ruang Surabaya beberapa tahun terakhir lebih dari 1.000 hektar,” kata Rudy.

Ledakan penduduk

Ketika para penguasa kota masih sibuk berencana, pertambahan penduduk di Jawa (utara) terus meningkat. Data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2005 menunjukkan, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 128.025.689 jiwa dan 57.160.016 (44,64 persen) berada di kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos.

Padahal, menurut Sudaryono, kecenderungan pertambahan penduduk di kota sekitar Jalan Raya Pos masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. ”Kota- kota ini tetap akan menjadi pilihan urbanisasi di Pulau Jawa,” kata Sudaryono.

Ledakan penduduk ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejarawan dan antropolog sejak lama, tetapi diabaikan oleh Pemerintah Indonesia. Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963) menuliskan ancaman kematian pertanian di Jawa akibat pertambahan penduduk.

Peter Boomgaard dan AJ Gooszen (Changing Economy in Indonesia, Population Trends 1795-1942, Amsterdam) memperkirakan penduduk Jawa pada tahun 1800 berjumlah 7,5 juta jiwa dan menjadi 14 juta jiwa selama 50 tahun kemudian. Pada tahun 1900 penduduknya menjadi 30,4 juta.

Pendapat mengenai ledakan penduduk ini memang ditentang sejumlah ilmuwan lain, salah satunya adalah Widjojo Nitisastro (Population Trends in Indonesia, Cornell University Press, 1970). Menurut Widjojo, anggapan ledakan penduduk di Jawa cenderung membesarkan manfaat dari pemerintahan kolonial atas kesejahteraan penduduk di Jawa.

Apa pun, saat ini ledakan penduduk di Jawa (utara) menjadi masalah besar bagi kota-kota untuk menampungnya. Tak hanya dari kelahiran, ledakan penduduk juga berasal dari urbanisasi dan migrasi dari pulau lain. Dibandingkan dengan luasannya, Jawa termasuk pulau terpadat di dunia.

Jo Santoso menyebutkan, (Kota Tanpa Warga, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), dengan mengandalkan mekanisme pembangunan kota seperti sekarang, kota-kota kita tidak akan mampu mengatasi permasalahan urbanisasi mendatang, terutama bila dilihat dari aspek kemampuan penyediaan sarana dan prasarana.

Pada akhirnya, kota akan ditinggalkan warganya, menjadi ”kota tanpa warga”. (Haryo Damardono)

[ Kembali ]

Lonceng Kematian dari Desa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh: Ahmad Arif

Kota-kota berkilau dengan janji akan kehidupan yang lebih baik, tetapi sering kali diingkari. Tetap saja pendatang baru membanjiri kota-kota dari desa, tanpa banyak bekal kecuali harapan.

Kaliori, kecamatan kecil di Rembang, Jawa Tengah, Agustus 2008. Puluhan laki-laki berhambur naik ke bus jurusan Semarang. Mereka memikul kaleng minyak bekas berisi peralatan pelitur. ”Setiap memasuki ketigo (musim kemarau), semua laki-laki di desa kami merantau ke kota menjadi tukang pelitur perabot kayu,” kata Ismail (25).

Wadah kaleng dengan warna seragam coklat tua menjadi penanda mereka dari desa yang sama, nasib yang sama. Tumpukan ampelas, cat pelitur, tatah, wadah cat, dan cairan spiritus tertata rapi di dalam kaleng yang terikat erat pada kayu pikulannya. Berbekal alat-alat itu, laki-laki yang berjumlah 100 orang lebih itu berharap bisa mendulang rupiah di kota tujuan demi menambal rezeki yang morat- marit akibat sawah kering.

Ismail menuturkan, seperti sebagian besar warga di Desa Gunung Sari, ia hanya buruh tani. Total bekerja selama tiga setengah bulan, ia mendapat bagian sekitar 20 persen panenan, yang biasanya sebagian dijual guna menutup utang.

”Kalau bisa sebelum Lebaran, pulang ke rumah. Targetnya membawa uang minimal Rp 400.000-Rp 500.000. Kalau tidak, terpaksa ditunda dulu pulangnya,” kata Tisno (36), rekan satu kelompok Ismail.

Di kota-kota tujuan, para tukang pelitur keliling menginap di Pondok Boro dengan biaya Rp 1.500 per orang per malam. Tidak pernah bisa dipastikan kapan mereka mendapat order.

Desa yang ditinggalkan

Desa Gunung Sari hanyalah satu potret dari pemiskinan petani desa akibat buruknya infrastruktur pertanian dan minimnya kepemilikan lahan petani.

Di daerah lumbung padi seperti Cirebon, Indramayu, dan Majalengka, ribuan petani juga dimiskinkan akibat sawah mereka kekeringan karena aliran irigasi tak memadai. Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon, dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Sedangkan di Tegal dan Brebes, intrusi air laut menyebabkan ribuan hektar lahan tak bisa ditanami.

Kemandekan ekonomi juga terlihat di desa-desa pertanian di Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Desa ini terpaksa ditinggalkan tenaga segar karena para lelaki merantau ke kota menjadi buruh bangunan. Sedangkan para perempuannya harus berjalan kaki berjam-jam dari desanya untuk mengais padi sisa panen.

Seperti pertanian, kemandekan ekonomi juga terjadi di desa- desa nelayan. Sepanjang Anyer- Panarukan, kampung nelayan yang bisa keluar dari jerat kemiskinan hanyalah di Bendar, Kecamatan Juwana, Pati. Selain itu, semua nelayan dari daerah lain mengeluh dengan menurunnya tangkapan ikan, sementara biaya melaut makin tinggi akibat kenaikan harga minyak

Mereka yang tinggal di desa seolah adalah warga yang kalah dan tak punya nyali untuk pergi. Di Eretan Kulon, Indramayu, kampung hanya dihuni nelayan- nelayan yang dililit utang.

Penghasilan dari laut tak bisa lagi diharapkan. Banyak nelayan di desa ini menjadi buruh bangunan atau menganggur di rumah dengan mengandalkan setoran istri yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Sekretaris KUD Nelayan Mina Bahari Eretan Kulon Royani (37) mengatakan, pada tahun 2003, jumlah TKW dari Desa Eretan Kulon hanya sekitar 50 orang, sekarang 950 orang. Ketika desa tak bisa lagi menopang hidup warganya, terjadilah urbanisasi ke kota yang terus membebani daya dukung ekologi kota.

Industri ekstraksi

Ketika desa-desa menuju kemandekan, sejumlah industri mulai masuk, seperti terjadi di Banten, Bogor, Tuban, dan Gresik. Di Banten, industrialisasi yang dimulai sejak era 1980-an ditandai dengan pertumbuhan aneka pabrik ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan warga.

Kebanyakan warga yang tinggal di sekitar pabrik masih menganggur karena tidak mampu masuk ke sektor industri karena rendahnya pendidikan formal. Padahal, warga yang awalnya petani ini telah telanjur menjual lahan pertanian miliknya.

Di Tuban dan Gresik, kehadiran industri, yang awalnya berbasiskan industri semen, juga tak mampu mengangkat ekonomi warga. Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kota-kota industri ini memang meningkat, tetapi ekonomi di desa-desa yang lahannya dipakai untuk industri tak beranjak dari kemiskinan.

Berdasarkan analisis Litbang Kompas mengenai kondisi kesejahteraan warga sepanjang Jalan Raya Pos, tingginya kegiatan perekonomian ternyata tak menjamin kesejahteraan warganya. Kondisi ini bisa dijumpai di Kabupaten Bogor. Nilai kegiatan ekonominya sebesar Rp 44,7 triliun tahun 2006 dengan industri pengolahan nonmigas menjadi motor penggerak utama (64 persen).

Namun, kesejahteraan penduduk yang direpresentasikan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) ternyata masih di bawah rata-rata daerah sepanjang Jalan Raya Pos. Rata-rata IPM daerah di sepanjang jalur Jalan Raya Pos sebesar 70,8, sedangkan IPM di Kabupaten Bogor 69,7. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Tangerang.

Matinya ekonomi warga desa ini merupakan pengingkaran terhadap peran desa dalam sejarah terbentuknya kota-kota modern di Indonesia. Menurut pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono (Perubahan Kota Pascapembangunan Jalan Raya Pos, Diskusi Panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota di Jawa pernah dibesarkan oleh sektor perkebunan di pedesaan.

Bermula dari liberalisasi perkebunan oleh sektor swasta melalui Undang-Undang Agraria 1870, swasta masuk ke desa dengan mengembangkan perkebunan. Dampaknya, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos yang semula hanya merupakan kota administrasi pemerintahan menjadi kota pengumpul dan distribusi produk-produk perkebunan.

Fungsi-fungsi baru kota tumbuh pesat pada periode ini, seperti pergudangan, bank, perusahaan perdagangan, industri, serta perluasan aktivitas dan fungsi pemerintahan. Belakangan muncullah perumahan-perumahan baru dan real estat, yang kemudian diikuti munculnya kantor-kantor real estat di kota-kota utama, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989) menyebutkan, pada awal abad ke-19 banyak penduduk desa bertahan tanpa tanah karena tumbuhnya proto-industrialisasi atau industri skala rumah tangga.

Jika pada masa kolonial Belanda tetap mempertahankan penduduk desa tetap di desa (baca: tetap miskin di desa), sebagai penggarap lahan untuk menyuplai ekspor mereka, fenomena lebih parah terjadi saat ini. Ekspansi industri ke desa bersifat ekstraktif. Mereka hanya menginginkan lahan, tetapi meninggalkan warganya. Kantong-kantong industri identik dengan warga setempat yang diperas keluar dari desa mereka.(nel/naw/nit/aci/nta)

[ Kembali ]

Masa Depan Ekologi Jawa (Utara)

KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Hamparan sawah yang mengering di Desa Wunut, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (24/8). Kawasan ini rencananya akan dibangun tol baru menggantikan tol ruas Porong-Gempol yang terendam lumpur Lapindo.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Ahmad Arif

Disesaki oleh hampir separuh penduduk Pulau Jawa, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) saat ini ibarat kapal bocor yang hendak tenggelam. Bahkan, sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti sesungguhnya, seperti terjadi di pantai utara Jakarta dan Semarang yang sekarat oleh banjir rob.

Hampir semua kota di utara Jawa kini mengalami masalah dengan ketersediaan air, baik untuk irigasi maupun air minum. Banjir juga menjadi langganan, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Pati, Semarang, hingga Situbondo.

Padahal, Jawa masa lalu adalah permata hijau di sabuk khatulistiwa yang di tanahnya mengalir sungai-sungai nan permai. Setidaknya itu yang tergambar dalam catatan Thomas Stamford Raffles (The History of Java, Oxford University Press/Kuala Lumpur, 1978) pada saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816.

Raffles menyebutkan, sepanjang pantai utara Jawa terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan semak belukar. Pantainya sangat indah dengan udara yang sehat. Di sebelah selatannya terdapat hutan lebat, pegunungan yang banyak ditumbuhi sawah- sawah siap panen, dan kehijauan abadi. Pada musim terpanas, udara masih tetap segar, sementara pada musim kering anak-anak sungai masih tetap berisi air tawar. Dari sungai inilah para petani mengairi sawah yang bertingkat-tingkat.

Lebatnya hutan bakau di pantai utara Jawa, seperti yang digambarkan Raffles, kini hampir tak terlacak lagi jejaknya. Kepala Bidang Sarana Penelitian pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pramudji mengatakan, alih fungsi bakau di Jawa, terutama untuk tambak, terus terjadi. ”Di Jawa, bakau sudah hampir habis,” kata Pramudji.

Hampir tak ada lagi ruang tersisa di pantai utara untuk konservasi. Di sebelah selatan Jalan Raya Pos, hutan lebat itu juga menghilang dengan cepat. Pembukaan lahan baru untuk pembangunan jalan tol trans-Jawa dikhawatirkan juga mempercepat laju kerusakan hutan.

Dipastikan sedikitnya 60 hektar lahan hutan produksi dan kawasan perlindungan Alas Roban di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan dikepras untuk jalan baru itu. Pembukaan hutan yang bisa dipastikan akan meluas mengingat pembukaan lahan untuk hutan pasti diikuti pertumbuhan ekonomi baru sekitar jalan.

Analisis Litbang Kompas berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan sawah di 42 kabupaten/kota yang dilalui Jalan Raya Pos selama periode 2000-2003 mencapai 33.384 hektar. Penyusutan sawah terbesar terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu 7.105 hektar.

Sedangkan penyusutan hutan untuk periode dan wilayah yang sama mencapai 10.052 hektar. Penyusutan hutan terbesar juga terjadi di Kabupaten Bandung, mencapai 3.577 hektar.

Kerugian ekonomi

Cepatnya laju penyusutan luas sawah, selain karena alih fungsi lahan, juga disebabkan oleh kekeringan. Rusaknya daerah tangkapan hujan menyebabkan jumlah lahan kritis meluas.

Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Pada musim kemarau tahun sebelumnya rata-rata debit masih 20 meter kubik per detik.

Ayi (45), petani dari Ligung Lor, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, mengatakan, 2 hektar lahan yang ditanami hanya menghasilkan 4 ton padi. Sebagian petani bahkan mengalami gagal panen.

Sedangkan kerusakan ekologi pantai dan mengecilnya air sungai telah mengakibatkan intrusi air laut makin jauh menjorok ke daratan hingga merusak lahan pertanian. Ribuan hektar lahan pertanian mulai dari Cirebon hingga Brebes tak bisa ditanami karena intrusi air laut.

”Banyak lahan dibiarkan mengering dan tidak ditanami petani di sepanjang pantura ini karena airnya asin,” kata buruh tani bawang merah, Darito (40), di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah.

Darito menunjukkan, lahan di desanya itu yang berjarak sekitar 12 kilometer dari garis pantai masih saja terkena dampak intrusi. Buruh tani lainnya, Basran (60), yang ditemui di Desa Tengki, Brebes, mengatakan, lahan baru bisa ditanami lagi setelah musim hujan. Itu pun masih harus menunggu beberapa bulan setelah hujan pertama. Total selama setahun, Darito hanya bisa memanfaatkan lahan selama empat bulan.

Kepala Seksi Pemulihan Kualitas Lingkungan pada Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Brebes Sobawi mengatakan, biaya mengatasi kerusakan lingkungan tidak terjangkau pemerintah. ”Sabuk pengaman bakau di pesisir yang menghambat intrusi air laut sudah nyaris hilang. Upaya memulihkannya tidak murah,” kata Sobawi.

Peradaban yang hilang

Kemunduran ekonomi akibat kerusakan ekologi di kawasan pesisir ini seperti mengulang hancurnya peradaban yang pernah jaya di kawasan pantai utara Jawa. Menurut catatan Raffles, sepanjang pantai utara Jawa awal abad ke-19, hampir di setiap distrik mempunyai sungai utama.

Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal. Kota-kota pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pantai utara ini,, misalnya Banten, Batavia, Cirebon, Demak Lasem, Rembang, Tuban, Gresik, hingga Panarukan.

Kebesaran pelabuhan dagang sepanjang pantai utara Jawa itu dicatat oleh banyak perantau. Misalnya Cirebon yang ditulis pengelana Portugis, Tome Pires (Summa Oriental, 1515), ”Cherimon (Cirebon) adalah pelabuhan besar yang banyak dikunjungi kapal. Di sana ada tiga sungai yang bisa dilayari kapal-kapal.”

Mengenai Gresik, Tome Pires menceritakannya sebagai pelabuhan besar yang didatangi kapal-kapal dari Gujarat, Kalkuta, Benggela, Siam, China, selain kapal-kapal dari Maluku.

Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran telah membunuh sungai-sungai di Jawa utara. Menciut dan mendangkalnya sungai-sungai itu pada akhirnya telah membunuh pelabuhan-pelabuhan besar. Dengan hilangnya pelabuhan, hilang pula sebuah peradaban.

Jejak kejayaan pantai utara Jawa itu hanya menyisakan gudang- gudang tua di sekitar pelabuhan, seperti di Cirebon dan Panarukan. Di Lasem, jejak kejayaannya terlihat dari bekas galangan kapal Belanda dan Jepang yang berada di tengah ladang warga. Bahkan, sebagian besar tak meninggalkan jejak sedikit pun. Sungai-sungai besar yang dilayari kapal mengecil, bahkan lebih mirip selokan seperti terlihat di Banten dan Cirebon.

Jika sejarah adalah kunci untuk melihat masa depan, masa depan ekologi Jawa seperti apa yang tergambarkan selain kemunduran? Dengan daya dukung lingkungan yang terus merosot dan pertambahan penduduk yang tak terkendali, tinggal menunggu waktu Jawa menjadi pulau yang karam....

(Nawa Tunggal/ Neli Triana/Siwi Yunita)

[ Kembali ]

Kamis, 21 Agustus 2008

Pemerintah Kurang Perhatikan Peladang

BUDAYA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 21 Agustus 2008.

JAKARTA, KOMPAS - Dalam pengelolaan kawasan hutan, pemerintah kurang memerhatikan nasib kaum petani peladang. Peluang lebih banyak diberikan kepada para investor. Padahal, para investor, seperti pemilik hak pengelolaan hutan atau HPH dan perusahaan pertambangan, cenderung merusak lingkungan, sementara para peladang selalu mengelola lahan secara ekologis.

Demikian antara lain pendapat yang mencuat dalam acara talkshow bertajuk ”Kebudayaan Pertanian Peladangan Kini dan Prospeknya di Masa Depan” di Mal Grand Indonesia, Rabu (20/8).

”Kurangnya perhatian terhadap masyarakat peladang tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1965 yang membatasi peladang untuk hanya memiliki tanah seluas 2 hektar untuk setiap keluarga, disamakan dengan kebutuhan petani sawah,” kata Prof Dr S Boedhisantoso, guru besar antropologi Universitas Indonesia (UI).

Padahal, petani peladang membutuhkan setidaknya empat petak lahan untuk melakukan rotasi pemuliaan tanahnya.

Sulit dipertahankan

Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Sesmen Ristek) Prof Dr Benjamin Lakitan, narasumber lain dalam talkshow yang dipandu presenter televisi Desi Anwar, menyatakan, kebudayaan pertanian perladangan yang membutuhkan lahan yang relatif luas sulit dipertahankan di masa depan. Hal ini disebabkan karena semakin terbatasnya jumlah lahan yang tersedia, sementara populasi petaninya terus meningkat.

Iwan Tjitradjaja, pakar antropologi lingkungan UI, mengatakan, ancaman utama pada keberadaan kaum petani peladang adalah kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada mereka. ”Pemerintah lebih banyak memberi peluang kepada para investor yang cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan ketimbang kepada para petani peladang,” tutur Iwan.

Acara talkshow digelar dalam rangka pameran etnografi ”Cerita dari Ladang” yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Depbudpar bersama Forum Kajian Antropologi Indonesia, yang akan berlangsung hingga Minggu, 24 Agustus. (MUK)

[ Kembali ]


Kamis, 14 Agustus 2008

Perikanan Tangkap Harus Dibatasi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Jakarta, Kompas - Izin perikanan tangkap di Indonesia sudah saatnya dibatasi karena terjadi penurunan produksi tangkapan atau overfishing. Pemerintah diminta untuk tidak lagi menerbitkan izin penangkapan ikan baru pada kawasan perairan yang mengalami penurunan stok sumber daya.

Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim di Jakarta, Jumat (16/5), mengemukakan, perizinan perikanan tangkap tidak mengacu pada daya dukung perikanan. Penurunan produktivitas tangkapan itu akan sangat berpengaruh pada merosotnya kapal yang beroperasi.

Kondisi armada penangkapan ikan itu diperparah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) industri yang memberatkan pelaku industri. Jumlah kapal tangkap dengan kapasitas di atas 60 gross ton (GT) saat ini menurun dari 350 kapal menjadi sekitar 230 kapal.

Anggota Dewan Pakar MPN, Purwito Martosubroto, mengatakan, penurunan produktivitas tangkapan dipicu dengan munculnya izin-izin perikanan tangkap baru.

”Pemerintah harus menghentikan penerbitan izin tangkap baru agar penurunan produksi dapat ditekan,” ujarnya.

Purwito memberi contoh, produktivitas perikanan tangkap di Perairan Arafura mencapai 1,3 juta ton per tahun dengan kapasitas kapal di perairan maksimum 930 unit. Akan tetapi, izin kapal hingga 2004 mencapai 1.400 unit dengan produktivitas hanya 800.000 ton.

”Persaingan usaha perikanan menjadi tidak sehat. Usaha perikanan tangkap yang tidak memiliki modal kuat terancam gulung tikar,” ujarnya.

Subsidi harga

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Ali Supardan mengemukakan, pihaknya sedang mengusulkan ke pemerintah untuk memberikan subsidi harga BBM kepada nelayan jika harga BBM dinaikkan. Subsidi khusus tersebut diberikan agar harga BBM untuk nelayan tidak naik.

”Dalam analisa ekonomi, kalau harga BBM naik dan harga ikan cenderung tetap, kondisi perikanan tangkap tidak lagi menguntungkan. Karena itu, diperlukan subsidi BBM bagi nelayan,” kata Ali.

Ali mengatakan, total kebutuhan BBM bagi usaha perikanan tangkap mencapai 1.955.376 kiloliter per tahun. Jumlah kapal tangkap saat ini 590.800 armada, sejumlah 99,2 persen di antaranya berupa kapal di bawah 30 GT.

Cenderung stagnan

Menurut Ali, kondisi perikanan tangkap cenderung stagnan sejak kenaikan harga BBM tahun 2005. Sebanyak 600 unit kapal dengan kapasitas di atas 30 GT kini sudah tidak beroperasi karena keuntungan hasil tangkapan terus menurun.

Guna menopang keberlanjutan usaha perikanan, salah satu upaya yang sedang giat diusahakan adalah mengembangkan mata pencarian alternatif berupa perikanan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Jumlah tenaga kerja perikanan, meliputi petambak, nelayan, pengusaha pengolahan, dan pedagang, saat ini mencapai tiga juta orang. (lkt)

[Kembali]