Oleh: Ahmad Arif
Kota-kota berkilau dengan janji akan kehidupan yang lebih baik, tetapi sering kali diingkari. Tetap saja pendatang baru membanjiri kota-kota dari desa, tanpa banyak bekal kecuali harapan.
Kaliori, kecamatan kecil di Rembang, Jawa Tengah, Agustus 2008. Puluhan laki-laki berhambur naik ke bus jurusan Semarang. Mereka memikul kaleng minyak bekas berisi peralatan pelitur. ”Setiap memasuki ketigo (musim kemarau), semua laki-laki di desa kami merantau ke kota menjadi tukang pelitur perabot kayu,” kata Ismail (25).
Wadah kaleng dengan warna seragam coklat tua menjadi penanda mereka dari desa yang sama, nasib yang sama. Tumpukan ampelas, cat pelitur, tatah, wadah cat, dan cairan spiritus tertata rapi di dalam kaleng yang terikat erat pada kayu pikulannya. Berbekal alat-alat itu, laki-laki yang berjumlah 100 orang lebih itu berharap bisa mendulang rupiah di kota tujuan demi menambal rezeki yang morat- marit akibat sawah kering.
Ismail menuturkan, seperti sebagian besar warga di Desa Gunung Sari, ia hanya buruh tani. Total bekerja selama tiga setengah bulan, ia mendapat bagian sekitar 20 persen panenan, yang biasanya sebagian dijual guna menutup utang.
”Kalau bisa sebelum Lebaran, pulang ke rumah. Targetnya membawa uang minimal Rp 400.000-Rp 500.000. Kalau tidak, terpaksa ditunda dulu pulangnya,” kata Tisno (36), rekan satu kelompok Ismail.
Di kota-kota tujuan, para tukang pelitur keliling menginap di Pondok Boro dengan biaya Rp 1.500 per orang per malam. Tidak pernah bisa dipastikan kapan mereka mendapat order.
Desa yang ditinggalkan
Desa Gunung Sari hanyalah satu potret dari pemiskinan petani desa akibat buruknya infrastruktur pertanian dan minimnya kepemilikan lahan petani.
Di daerah lumbung padi seperti Cirebon, Indramayu, dan Majalengka, ribuan petani juga dimiskinkan akibat sawah mereka kekeringan karena aliran irigasi tak memadai. Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon, dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Sedangkan di Tegal dan Brebes, intrusi air laut menyebabkan ribuan hektar lahan tak bisa ditanami.
Kemandekan ekonomi juga terlihat di desa-desa pertanian di Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Desa ini terpaksa ditinggalkan tenaga segar karena para lelaki merantau ke kota menjadi buruh bangunan. Sedangkan para perempuannya harus berjalan kaki berjam-jam dari desanya untuk mengais padi sisa panen.
Seperti pertanian, kemandekan ekonomi juga terjadi di desa- desa nelayan. Sepanjang Anyer- Panarukan, kampung nelayan yang bisa keluar dari jerat kemiskinan hanyalah di Bendar, Kecamatan Juwana, Pati. Selain itu, semua nelayan dari daerah lain mengeluh dengan menurunnya tangkapan ikan, sementara biaya melaut makin tinggi akibat kenaikan harga minyak
Mereka yang tinggal di desa seolah adalah warga yang kalah dan tak punya nyali untuk pergi. Di Eretan Kulon, Indramayu, kampung hanya dihuni nelayan- nelayan yang dililit utang.
Penghasilan dari laut tak bisa lagi diharapkan. Banyak nelayan di desa ini menjadi buruh bangunan atau menganggur di rumah dengan mengandalkan setoran istri yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.
Sekretaris KUD Nelayan Mina Bahari Eretan Kulon Royani (37) mengatakan, pada tahun 2003, jumlah TKW dari Desa Eretan Kulon hanya sekitar 50 orang, sekarang 950 orang. Ketika desa tak bisa lagi menopang hidup warganya, terjadilah urbanisasi ke kota yang terus membebani daya dukung ekologi kota.
Industri ekstraksi
Ketika desa-desa menuju kemandekan, sejumlah industri mulai masuk, seperti terjadi di Banten, Bogor, Tuban, dan Gresik. Di Banten, industrialisasi yang dimulai sejak era 1980-an ditandai dengan pertumbuhan aneka pabrik ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan warga.
Kebanyakan warga yang tinggal di sekitar pabrik masih menganggur karena tidak mampu masuk ke sektor industri karena rendahnya pendidikan formal. Padahal, warga yang awalnya petani ini telah telanjur menjual lahan pertanian miliknya.
Di Tuban dan Gresik, kehadiran industri, yang awalnya berbasiskan industri semen, juga tak mampu mengangkat ekonomi warga. Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kota-kota industri ini memang meningkat, tetapi ekonomi di desa-desa yang lahannya dipakai untuk industri tak beranjak dari kemiskinan.
Berdasarkan analisis Litbang Kompas mengenai kondisi kesejahteraan warga sepanjang Jalan Raya Pos, tingginya kegiatan perekonomian ternyata tak menjamin kesejahteraan warganya. Kondisi ini bisa dijumpai di Kabupaten Bogor. Nilai kegiatan ekonominya sebesar Rp 44,7 triliun tahun 2006 dengan industri pengolahan nonmigas menjadi motor penggerak utama (64 persen).
Namun, kesejahteraan penduduk yang direpresentasikan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) ternyata masih di bawah rata-rata daerah sepanjang Jalan Raya Pos. Rata-rata IPM daerah di sepanjang jalur Jalan Raya Pos sebesar 70,8, sedangkan IPM di Kabupaten Bogor 69,7. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Tangerang.
Matinya ekonomi warga desa ini merupakan pengingkaran terhadap peran desa dalam sejarah terbentuknya kota-kota modern di Indonesia. Menurut pengajar tata kota dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono (Perubahan Kota Pascapembangunan Jalan Raya Pos, Diskusi Panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota di Jawa pernah dibesarkan oleh sektor perkebunan di pedesaan.
Bermula dari liberalisasi perkebunan oleh sektor swasta melalui Undang-Undang Agraria 1870, swasta masuk ke desa dengan mengembangkan perkebunan. Dampaknya, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos yang semula hanya merupakan kota administrasi pemerintahan menjadi kota pengumpul dan distribusi produk-produk perkebunan.
Fungsi-fungsi baru kota tumbuh pesat pada periode ini, seperti pergudangan, bank, perusahaan perdagangan, industri, serta perluasan aktivitas dan fungsi pemerintahan. Belakangan muncullah perumahan-perumahan baru dan real estat, yang kemudian diikuti munculnya kantor-kantor real estat di kota-kota utama, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989) menyebutkan, pada awal abad ke-19 banyak penduduk desa bertahan tanpa tanah karena tumbuhnya proto-industrialisasi atau industri skala rumah tangga.
Jika pada masa kolonial Belanda tetap mempertahankan penduduk desa tetap di desa (baca: tetap miskin di desa), sebagai penggarap lahan untuk menyuplai ekspor mereka, fenomena lebih parah terjadi saat ini. Ekspansi industri ke desa bersifat ekstraktif. Mereka hanya menginginkan lahan, tetapi meninggalkan warganya. Kantong-kantong industri identik dengan warga setempat yang diperas keluar dari desa mereka.(nel/naw/nit/aci/nta)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar