Jumat, 29 Agustus 2008

Muncul dan Matinya Kota-kota

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh: SUDARYONO

Ketika Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808, di sepanjang pantai utara Pulau Jawa telah muncul dan tumbuh kota-kota.

Kota-kota yang dibangun tahun 1400 dan sebelumnya misalnya adalah Bintara, Jepara, Kudus, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Baremi, Gending, Pajarakan, Binor, Ketah, Patukangan, dan Balambangan. Adapun yang dibangun antara tahun 1400 dan 1700 seperti Anyer, Banten, Sunda Kelapa-Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Gebang, Brebes, Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Pati, Juwana, Rembang, Lamongan, Pasuruan, Besuki, dan Panarukan (Rutz, 1987).

Beberapa kota tersebut sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang, sementara yang lainnya telah meredup atau bahkan mati. Terdapat empat faktor yang menyebabkan kota-kota tumbuh dan mati (ditinggalkan), yakni (1) kebijakan politik administrasi kepemerintahan; (2) jaringan transportasi; (3) pengembangan sumber daya ekonomi; dan (4) faktor alam.

Faktor kebijakan politik administrasi kepemerintahan sangat berpengaruh pada tumbuh dan matinya suatu kota ketika kota tersebut dinaikkan atau diturunkan statusnya. Sebagai contoh kota Bogor (Buitenzorg) mulai meredup ketika semula menjadi resident’s seat pada 1815 dan diturunkan menjadi assistant resident’s seat pada 1826. Kota Citeureup yang semula menjadi pusat pemerintahan kabupaten lalu meredup ketika pemerintahan dipindahkan ke Cikapundung pada tahun 1810 dan diganti nama menjadi Bandung. Kota Pasuruan yang pernah menjadi ibu kota karesidenan tahun 1812 (masa pendudukan Inggris) juga meredup ketika ibu kota karesidenan dipindahkan ke Malang tahun 1931 (Rutz, 1987).

Selain itu, kebijakan politik administrasi kepemerintahan dalam bentuk penggabungan wilayah karesidenan juga telah meredupkan kota-kota yang tergabung. Contohnya adalah Probolinggo yang digabung dengan Pasuruan pada tahun 1901, Purwakarta (Karawang) digabung dengan Batavia (1901), Tegal digabung dengan Pekalongan (1901), Pati digabung dengan Semarang (1902), serta Rembang digabung dengan Jepara dan Pati pada tahun 1931 (Rutz, 1987) .

Faktor jaringan transportasi juga sangat berpengaruh terhadap hidup atau matinya suatu kota. Kota Berbek sebagai ibu kota kabupaten dan assistant resident’s seat menjadi surut dan mati ketika pemerintahan dipindahkan ke Nganjuk, menyusul dibukanya stasiun kereta api Nganjuk (Rutz, 1987). Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa dengan dibangunnya jalan baru (ring road) yang membelah Alas Roban di kawasan Gringsing-Batang, penginapan, rumah makan serta warung-warung yang berada di pinggir jalan lama banyak yang tutup atau mati. Sebaliknya, pada jalur baru yang dibangun, di kanan-kirinya telah banyak tumbuh permukiman baru, warung, penginapan, dan pangkalan-pangkalan truk.

Peran kota Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa bagian timur menjadi redup dan mati setelah pada tahun 1808 Daendels yang semula berniat menjadikan Surabaya sebagai ibu kota Indonesia membangun Surabaya secara besar- besaran. Surabaya menjadi kota galangan kapal terbesar di Indonesia. Seiring menguatnya Surabaya menjadi kota pelabuhan penting di wilayah Indonesia, mereduplah pamor Gresik sebagai kota pelabuhan penting di pantai utara Pulau Jawa.

Faktor alam yang sempat menjadi bukti sejarah redup dan matinya suatu kota ditunjukkan oleh Tuban. Kota ini pernah menjadi kota pelabuhan besar dan penting di pantai utara Pulau Jawa. Kota Tuban perlahan-lahan mulai meredup ketika pendangkalan pelabuhan terjadi akibat penumpukan lumpur yang memenuhi pelabuhan Sedayu (Rutz, 1987).

Regenerasi yang gagal

Terjadinya perubahan kegiatan ekonomi dan tata ruang kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos dari skala lokal menuju ke skala regional dan nasional tampaknya tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para pelaku ekonomi lokal, khususnya pelaku ekonomi kelas menengah dan kecil. Banyaknya toko tua serta gudang-gudang tua yang tertulis ”dijual” menunjukkan bahwa pemiliknya tidak lagi mampu bertahan di tengah pusaran perubahan ekonomi dan tata ruang di sepanjang Jalan Raya Pos.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan ekonomi dan tata ruang pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos merupakan perubahan yang invasif dan bukannya perubahan yang regeneratif. Ke depan, fenomena ini tentu akan membawa kota-kota pada situasi di mana kegiatan ekonomi dan tata ruang kota tidak lagi berada pada kendali dan kepemilikan warga lokal, melainkan oleh para pelaku ekonomi nasional dan transnasional.

Pelebaran jalan yang saat ini tengah dilakukan secara besar- besaran (menjadi empat lajur) telah memangkas hunian-hunian, warung-warung, dan toko-toko skala lokal yang berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pelebaran jalan di beberapa penggal kota telah membuat bangunan- bangunan yang dipangkasnya menjadi memiliki sempadan jalan nol atau bahkan minus.

Pelebaran jalan yang juga diikuti dengan peninggian badan jalan pada akhirnya telah menenggelamkan akses warung-warung, penginapan, dan toko-toko kecil di sepanjang jalan. Tenggelamnya akses ini tentu telah mematikan kegiatan ekonomi yang sebelumnya pernah ada.

Masa depan kota-kota

Dengan semakin membaiknya kualitas dan kondisi Jalan Raya Pos oleh intervensi pemerintah pusat, kegiatan-kegiatan ekonomi yang semula berskala kota dan berlokasi di dalam kota mulai banyak yang ditarik keluar kota dan memadati lahan pertanian subur di sepanjang Jalan Raya Pos. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada kapasitas lingkungan jalan dalam menampung arus lalu lintas kendaraan dan barang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, hampir semua kota yang dilewati oleh Jalan Raya Pos telah membuat jalan lingkar (ring road).

Pembuatan jalan lingkar utara dan lingkar selatan menunjukkan tidak adanya kontrol pembangunan yang ketat dari para pengelola kota. Gudang-gudang besar, kantor, sekolah, dan industri telah mulai bermunculan di sepanjang jalan lingkar tersebut. Situasi seperti ini tentunya ke depan akan menjadi pemicu perkembangan kota keluar ke arah utara dan ke selatan kota.

Secara ekologis tentu perkembangan seperti itu akan membahayakan kota-kota tersebut. Ketebalan kawasan pertanian di sebelah utara Jalan Raya Pos sangat terbatas karena berbatasan langsung dengan laut Jawa. Perkembangan ke arah utara akan sangat membahayakan bagi kelestarian air tanah dan ekologi kawasan pantai Laut Jawa.

Sementara pengembangan kota ke arah selatan juga akan sangat berbahaya. Selain terjadi reduksi lahan-lahan pertanian, juga terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan, yang umumnya mengikuti terjadinya perubahan fisik tata ruang. Dari pengalaman selama ini, kita hanya sibuk menyiapkan konsep-konsep tata ruang fisik, tetapi tidak pernah menyiapkan tata sosial, tata budaya, dan tata ekonomi yang akan dibangun sebagai konsekuensi perubahan lahan dari pertanian ke perkotaan.

Melihat perkembangan penduduk yang pesat sejak tahun 1930, di masa depan, kota-kota yang memangku Jalan Raya Pos tampaknya akan tetap menjadi pilihan urbanisasi yang sangat penting di Pulau Jawa.

Ketika kontrol pembangunan semakin melemah, dapat dipastikan kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos di masa depan akan semakin mengalami permasalahan berkaitan dengan kapasitas lingkungan dan infrastruktur. Jalan Raya Pos telah menjadi pelajaran yang sangat mahal dan penuh pertaruhan ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan jalur selatan Pulau Jawa yang sudah dimulai dengan penuh semangat tinggi itu perlu direnungkan kembali.

Tentu kita tidak ingin membuat Pulau Jawa menjadi pulau kota.

Sudaryono Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

[ Kembali ]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

baru tahu sedikit sejarah nih..