PALEMBANG — Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 para pelaku yang kerap disebut penadah, oleh warga disebut “tukang ulo”, lebih berhati-hati dan cenderung tertutup kepada orang yang baru dikenal. Umumnya yang mereka tampilkan hanya binatang-binatang yang tidak lindungi, seperti ular, biawak, dan ular berot. Namun, dalam praktiknya, mereka justru menunggu warga yang menawarkan trenggiling. “Sifatnya justru untung-untungan, tetapi justru inilah yang kita tunggu sebab harganya cukup lumayan dibanding jual beli jenis ular sawah, ular berot, ataupun biawak,” kata salah seorang penadah di kawasan Pasar 10 Ulu. Sementara itu, Ramli, warga yang mengaku pernah menjual trenggiling kepada penadah di kawasan Pasar Klinik, mengaku tidak hanya trenggiling yang dibeli, tetapi juga binatang langka lainnya termasuk buaya yang dibeli untuk dijual kembali kepada penadah utama yang diduga memiliki jaringan hingga ke Malaysia.Saat Sriwijaya Post menelusuri kawasan Pasar Klinik, Pasar 10 Ulu, pedagang justru membantah menerima jenis hewan langka. Sebut saja Aan yang mengaku tahu hukum dan tidak pernah membeli hewan langka. “Kalau itu kan dilarang diperjualbelikan. Saya tidak terima juga tidak membelinya” katanya. Namun, setelah didesak akhirnya pria ini bersedia mencarikan binatang yang dimaksud. "Tetapi untuk saat ini belum ada barangnya,” katanya.Sementara itu, pantauan di Pasar Burung 16 Ilir menunjukkan, sedikitnya terdapat lima satwa yang dilindungi diperjualbelikan secara bebas, di antaranya kukang (Nycticebus coucang), burung kakatua, harimau kecil, siamang, dan tupai tanah (Larisius insignis). Harga satwa ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.”Saya dapatkan harimau sumatera ini dari tetangga,” tandas Rosyid (nama disamarkan). Harga yang dipatok Rosyid untuk harimau sumatera berusia hampir lima bulan mencapai Rp 800.000. (tim Sriwijaya Post)
Senin, 04 Agustus 2008
Bisnis Trenggiling Menggiurkan, tapi...
Dikutip dari Harian SRIWIJAYA POST, Rabu, 30 April 2008.
PALEMBANG — Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 para pelaku yang kerap disebut penadah, oleh warga disebut “tukang ulo”, lebih berhati-hati dan cenderung tertutup kepada orang yang baru dikenal. Umumnya yang mereka tampilkan hanya binatang-binatang yang tidak lindungi, seperti ular, biawak, dan ular berot. Namun, dalam praktiknya, mereka justru menunggu warga yang menawarkan trenggiling. “Sifatnya justru untung-untungan, tetapi justru inilah yang kita tunggu sebab harganya cukup lumayan dibanding jual beli jenis ular sawah, ular berot, ataupun biawak,” kata salah seorang penadah di kawasan Pasar 10 Ulu. Sementara itu, Ramli, warga yang mengaku pernah menjual trenggiling kepada penadah di kawasan Pasar Klinik, mengaku tidak hanya trenggiling yang dibeli, tetapi juga binatang langka lainnya termasuk buaya yang dibeli untuk dijual kembali kepada penadah utama yang diduga memiliki jaringan hingga ke Malaysia.Saat Sriwijaya Post menelusuri kawasan Pasar Klinik, Pasar 10 Ulu, pedagang justru membantah menerima jenis hewan langka. Sebut saja Aan yang mengaku tahu hukum dan tidak pernah membeli hewan langka. “Kalau itu kan dilarang diperjualbelikan. Saya tidak terima juga tidak membelinya” katanya. Namun, setelah didesak akhirnya pria ini bersedia mencarikan binatang yang dimaksud. "Tetapi untuk saat ini belum ada barangnya,” katanya.Sementara itu, pantauan di Pasar Burung 16 Ilir menunjukkan, sedikitnya terdapat lima satwa yang dilindungi diperjualbelikan secara bebas, di antaranya kukang (Nycticebus coucang), burung kakatua, harimau kecil, siamang, dan tupai tanah (Larisius insignis). Harga satwa ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.”Saya dapatkan harimau sumatera ini dari tetangga,” tandas Rosyid (nama disamarkan). Harga yang dipatok Rosyid untuk harimau sumatera berusia hampir lima bulan mencapai Rp 800.000. (tim Sriwijaya Post)
PALEMBANG — Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 para pelaku yang kerap disebut penadah, oleh warga disebut “tukang ulo”, lebih berhati-hati dan cenderung tertutup kepada orang yang baru dikenal. Umumnya yang mereka tampilkan hanya binatang-binatang yang tidak lindungi, seperti ular, biawak, dan ular berot. Namun, dalam praktiknya, mereka justru menunggu warga yang menawarkan trenggiling. “Sifatnya justru untung-untungan, tetapi justru inilah yang kita tunggu sebab harganya cukup lumayan dibanding jual beli jenis ular sawah, ular berot, ataupun biawak,” kata salah seorang penadah di kawasan Pasar 10 Ulu. Sementara itu, Ramli, warga yang mengaku pernah menjual trenggiling kepada penadah di kawasan Pasar Klinik, mengaku tidak hanya trenggiling yang dibeli, tetapi juga binatang langka lainnya termasuk buaya yang dibeli untuk dijual kembali kepada penadah utama yang diduga memiliki jaringan hingga ke Malaysia.Saat Sriwijaya Post menelusuri kawasan Pasar Klinik, Pasar 10 Ulu, pedagang justru membantah menerima jenis hewan langka. Sebut saja Aan yang mengaku tahu hukum dan tidak pernah membeli hewan langka. “Kalau itu kan dilarang diperjualbelikan. Saya tidak terima juga tidak membelinya” katanya. Namun, setelah didesak akhirnya pria ini bersedia mencarikan binatang yang dimaksud. "Tetapi untuk saat ini belum ada barangnya,” katanya.Sementara itu, pantauan di Pasar Burung 16 Ilir menunjukkan, sedikitnya terdapat lima satwa yang dilindungi diperjualbelikan secara bebas, di antaranya kukang (Nycticebus coucang), burung kakatua, harimau kecil, siamang, dan tupai tanah (Larisius insignis). Harga satwa ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.”Saya dapatkan harimau sumatera ini dari tetangga,” tandas Rosyid (nama disamarkan). Harga yang dipatok Rosyid untuk harimau sumatera berusia hampir lima bulan mencapai Rp 800.000. (tim Sriwijaya Post)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar