Jumat, 05 September 2008

Industri CPO Mulai Lirik Produksi Kompos

Kelapa Sawit
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Setelah menggunakan cangkang dan sabut kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk memanaskan boiler dan menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap, industri minyak kelapa sawit mentah atau CPO mulai melirik potensi kompos. Kalangan industri CPO menilai produksi kompos merupakan salah satu langkah efisiensi karena harga pupuk kimia yang terus meningkat seiring kenaikan harga energi.

Selain dari limbah produksi CPO, seperti tandan buah kosong, sisa pelepah kelapa sawit juga bakal diolah menjadi kompos.

Direktur Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Asian Agri Pengarapen Gurusinga, Kamis (28/8) di Jakarta, mengatakan, perseroan sedang menyiapkan proyek percontohan produksi kompos yang melibatkan masyarakat di sekitar perkebunan.

”Kami berikan masyarakat mesin pencacah dan pembuat kompos secara gratis. Kami berpikir, harga pupuk kimia akan terus naik sehingga mulai sekarang sudah mesti ada produk alternatifnya, yaitu kompos,” katanya.

Proyek percontohan dijalankan di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Perseroan bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk melatih masyarakat memproduksi kompos.

Industri CPO lain yang juga bakal terjun ke bisnis kompos adalah PT Anugerah Langkat Makmur. Produsen CPO di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini bakal menggusur kebun kelapa sawit seluas 5 hektar untuk dijadikan unit produksi kompos dari limbah CPO.

Direktur PT Anugerah Langkat Makmur Musa Rajekshah mengatakan, mereka memproduksi kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman.

India turunkan BM CPO

Selain bisa meningkatkan efisiensi biaya produksi, penjualan kompos juga bakal menjadi sumber pendapatan baru.

”Kami perkirakan potensinya bisa mencapai Rp 3 miliar per tahun. Kami juga akan mendapatkan bayaran dari lembaga internasional sebanyak 7 poundsterling dari setiap jumlah karbon yang diserap dengan pengolahan limbah menjadi kompos,” ujar Rajekshah.

Produsen CPO lainnya yang juga telah mulai memproduksi kompos adalah PT Sampoerna Agro Tbk yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

PT Sampoerna Agro saat ini telah mengolah limbah produksi CPO menjadi kompos untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Sisa tandan buah kosong dan limbah produksi CPO diendapkan di lahan kosong di sekitar pabrik kelapa sawit PT Sampoerna Agro di Belida, Ogan Komering Ilir.

Direktur Sampoerna Agro Wilayah Sumatera Yasin Chandra mengatakan, produksi kompos akan disesuaikan dengan kapasitas produksi CPO.

Sementara itu dalam Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN di Singapura, India bersedia menurunkan tarif bea masuk (BM) CPO dan produk turunannya.

”Dengan Perjanjian Perdagangan Bebas ini disepakati tarif BM tertinggi untuk CPO dari ASEAN ke India 37,5 persen dan 45 persen untuk RPO walaupun dilakukan bertahap hingga tahun 2018,” ujar Menteri Perdagangan Mari Pangestu. (ham/DAY)

[ Kembali ]

Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan

Ekspedisi
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Bekas galangan kapal peninggalan zaman Jepang di kawasan Dasun, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8), yang produksinya dikirim ke Batavia. Saat ini galangan kapal sepanjang sekitar 50 meter ini hampir tak berbekas.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ahmad Arif

Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah.

Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.

Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer.

Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan.

Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kota-kota tumbuh memanjang mengikuti jalan.

Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia.

Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa.

Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda.

Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu.

Tuan dan kuli

Dari tanah Multatuli—nama samaran Douwes Dekker—perjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an.

Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan.

Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta.

Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya.

TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983).

Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC.

Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah.

Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana.

Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan.

Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir.

Titik akhir

Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain.

Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan.

Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.

[ Kembali ]

Susahnya Hidup di Jantung Kalimantan

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO / Kompas Images
Sebuah pondok di dalam hutan yang berdekatan dengan bekas stasiun penelitian hutan tropis di Lalut Birai, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Ketidakadilan enggan pergi dari kehidupan manusia di jantung Kalimantan. Perhatian belum juga mampir ke kawasan yang berbatasan dengan Sarawak dan Sabah di Malaysia.

Gat Khaleb Ayung masih mengeluarkan Rp 25.000 untuk membeli seliter bensin, solar, atau minyak tanah di Kecamatan Krayan Hulu, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).

”Satu kilogram gula pasir harganya Rp 20.000,” kata Ayung, lelaki keturunan (Dayak) Lundayeh, saat dijumpai di Malinau, ibu kota Kabupaten Malinau, Kamis minggu pertama Agustus lalu.

Harga lebih tinggi hingga empat kali lipat, menurut Ellyas Yesaya dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo, sebab barang didatangkan dari Malaysia. Harga barang di negeri jiran itu memang lebih mahal dan biaya angkut dengan truk atau mobil bisa ratusan ribu rupiah.

Perkampungan di Krayan cuma belasan kilometer dari patok perbatasan Indonesia-Malaysia. Belasan kilometer lagi dijumpai pedesaan di Sarawak. Orang Krayan menjual beras Adan yang dihargai tinggi sebab digemari di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Hasil penjualan beras dibelikan barang untuk kebutuhan harian atau dijual di Krayan, misalnya pakaian, gula, bahan bakar, peralatan memasak, lemari es, televisi, dan radio. Semua kebutuhan itu terbatas didatangkan dari Indonesia. Krayan dikepung perbukitan berhutan tropis lebat. Tiada jalan ke sana. Sungai-sungai tidak berhubungan. Krayan cuma bisa dijangkau pesawat.

”Kondisi itu sudah lama, tetapi tidak teratasi sebab pemerintah kurang peduli,” kata Ellyas, lelaki keturunan Lundayeh itu menegaskan.

Bisa dimaklumi bila perekonomian antarmasyarakat di kedua daerah di perbatasan Indonesia-Malaysia terjalin erat. Apalagi, sesama warga perbatasan menganggap masih bersaudara sebab berasal dari suku yang sama, yakni Lundayeh, Saban, atau Leng Ilo’.

Perjalanan

Ipuy Asang, Kepala Desa Long Pujungan, dan Ngau Alung, Kepala Desa Long Ketaman, Kecamatan Pujungan, perlu berhari-hari menyusuri sungai untuk menghadiri Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Malinau. Mereka masing-masing menghabiskan Rp 770.000 sekali bepergian. Itu pun harus memutar melewati bahkan singgah di kabupaten dan kota lain.

Tiap orang membayar Rp 460.000 untuk ongkos perahu panjang bermesin yang populer disebut long boat dari Long Pujungan ke Tanjung Selor. Menuju ibu kota Kabupaten Bulungan itu minimal delapan jam menyusuri Sungai Pujungan dan Sungai Kayan, bahkan melewati sejumlah riam atau jeram.

”Saya terpaksa menginap di Tanjung Selor,” kata Asang, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Meski sudah bersiap pagi, mereka baru berangkat dari Long Pujungan menjelang tengah hari. Pemilik perahu panjang enggan berangkat bila penumpang sedikit sehingga tiba di tujuan sudah malam.

Masalahnya, perahu cepat atau speed boat terakhir dari Tanjung Selor ke Kota Tarakan berangkat pukul 14.00 Wita. Untuk itu, Asang dan Alung harus bangun pagi lalu berangkat ke Tarakan agar sempat mengejar perahu cepat terakhir menuju Malinau yang berangkat pukul 15.00 Wita.

Mereka masing-masing membayar Rp 150.000 untuk ongkos dari Tanjung Selor ke Tarakan dengan perjalanan tiga jam menyusuri Delta Bulungan dan pesisir Selat Makassar. Ongkos dari Tarakan ke Malinau Rp 160.000 tiap orang dengan perjalanan paling cepat tiga jam menyusuri Sungai Sesayap.

”Terpaksa pergi lewat sungai sebab penerbangan terhenti,” kata Alung, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Penerbangan antarkecamatan di Malinau minimal seminggu sekali dan kerap terhenti akibat cuaca buruk. Cuma pesawat berkapasitas maksimal lima orang yang bisa mendarat di Pujungan dengan landas pacu 600 meter dari beton.

Penerbangan antarkecamatan dilayani Mission Aviation Fellowship yang berkantor di Bandar Udara Juwata, Tarakan. Maskapai yang dijalankan kalangan misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penghidupan

Lohat Sigar, Ketua Adat Desa Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang, Malinau, harus berperahu setengah hari menuju hutan di hulu Sungai Mentarang yang katanya masih banyak terdapat rusa dan babi. Kedua jenis binatang itu amat sulit didapat di hutan dekat desa yang dikelola perusahaan dan menjadi ladang warga.

”Ikan-ikan makin sedikit mungkin karena sungai tambah keruh,” kata Riang Tubu, warga Mentarang Baru, menambahkan. Dia tidak tahu mengapa sungai kian coklat dan berlumpur. Itu pun air sungai masih dipakai untuk mencuci, mandi, bahkan untuk memasak dan air minum, meski direbus, tanpa dijernihkan dengan tawas.

Kehidupan warga keturunan (Dayak) Lundayeh yang dipindah lewat program resettlement dari Long Berang di hulu Sungai Mentarang itu bergantung pada pertanian. Mereka menanam padi, jagung, umbi, kacang, dan sayur-sayuran. Mereka juga membuat bakul, keranjang, tikar, saung atau caping dari anyaman rotan bila ada pesanan.

Masalahnya, menurut Yunus bin Udan, warga Desa Mentarang Baru, pendapatan dari bertani amat minim. Saat panen jagung, misalnya, tiap warga cuma bisa mengangkut 100 kilogram (kg) ke Malinau untuk dijual sebab terbatasnya mobil atau truk angkut. Biaya angkut dengan mobil pergi pulang Rp 100.000. Jagung dijual Rp 3.000 tiap kilogram sehingga keuntungan Rp 200.000.

”Sulit memenuhi semua kebutuhan dengan keuntungan cuma itu,” kata Markus, warga Desa Mentarang Baru, menegaskan.

Di sisi lain, penduduk merasa kesulitan berobat bila sakit. Di desa ada puskesmas pembantu dengan obat-obatan dan tenaga medis terbatas. Warga yang sakit parah harus dibawa ke puskesmas kecamatan yang lebih lengkap di Desa Pulau Sapi, ibu kota Mentarang. Bila masih tidak teratasi, pasien harus dibawa ke rumah sakit di Malinau yang lamanya satu jam naik mobil.

Anak-anak Mentarang Baru selepas SD melanjutkan ke SLTP di Pulau Sapi. Mereka berjalan kaki rata-rata 4 kilometer tiap hari untuk bersekolah.

Dengan pelbagai keterbatasan fasilitas, bisa dimaklumi penduduk pedalaman amat bergantung pada alam sekadar untuk hidup. Hutan dan sungai dianggap sebagai sumber penghidupan sehingga amat dilindungi.

Warga Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Malinau, telah lama menetapkan 5.300 hektar hutan sebagai Tane’ Olen. ”Artinya, hutan yang kusayang atau kujaga,” kata Witson, warga Desa Setulang.

Hutan dijaga agar sumber penghidupan tetap ada, misalnya binatang buruan, tumbuhan obat, buah-buahan, serta kayu dan rotan untuk bangunan. Selain itu, warga desa keturunan Kenyah yang dipindahkan pemerintah dari Long Saan di Pujungan tahun 1968 itu juga membangun lumbung.

Tiap keluarga memiliki satu lumbung yang diisi padi siap digiling, jagung, umbi, atau bahan makanan yang bisa bertahan lama. ”Kami harus bertahan dengan apa yang ada sebab untuk ke mana-mana jauh dan sulit angkutannya,” kata Dewu, warga Setulang.

[ Kembali ]