Jumat, 05 September 2008

Susahnya Hidup di Jantung Kalimantan

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO / Kompas Images
Sebuah pondok di dalam hutan yang berdekatan dengan bekas stasiun penelitian hutan tropis di Lalut Birai, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso

Ketidakadilan enggan pergi dari kehidupan manusia di jantung Kalimantan. Perhatian belum juga mampir ke kawasan yang berbatasan dengan Sarawak dan Sabah di Malaysia.

Gat Khaleb Ayung masih mengeluarkan Rp 25.000 untuk membeli seliter bensin, solar, atau minyak tanah di Kecamatan Krayan Hulu, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).

”Satu kilogram gula pasir harganya Rp 20.000,” kata Ayung, lelaki keturunan (Dayak) Lundayeh, saat dijumpai di Malinau, ibu kota Kabupaten Malinau, Kamis minggu pertama Agustus lalu.

Harga lebih tinggi hingga empat kali lipat, menurut Ellyas Yesaya dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo, sebab barang didatangkan dari Malaysia. Harga barang di negeri jiran itu memang lebih mahal dan biaya angkut dengan truk atau mobil bisa ratusan ribu rupiah.

Perkampungan di Krayan cuma belasan kilometer dari patok perbatasan Indonesia-Malaysia. Belasan kilometer lagi dijumpai pedesaan di Sarawak. Orang Krayan menjual beras Adan yang dihargai tinggi sebab digemari di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Hasil penjualan beras dibelikan barang untuk kebutuhan harian atau dijual di Krayan, misalnya pakaian, gula, bahan bakar, peralatan memasak, lemari es, televisi, dan radio. Semua kebutuhan itu terbatas didatangkan dari Indonesia. Krayan dikepung perbukitan berhutan tropis lebat. Tiada jalan ke sana. Sungai-sungai tidak berhubungan. Krayan cuma bisa dijangkau pesawat.

”Kondisi itu sudah lama, tetapi tidak teratasi sebab pemerintah kurang peduli,” kata Ellyas, lelaki keturunan Lundayeh itu menegaskan.

Bisa dimaklumi bila perekonomian antarmasyarakat di kedua daerah di perbatasan Indonesia-Malaysia terjalin erat. Apalagi, sesama warga perbatasan menganggap masih bersaudara sebab berasal dari suku yang sama, yakni Lundayeh, Saban, atau Leng Ilo’.

Perjalanan

Ipuy Asang, Kepala Desa Long Pujungan, dan Ngau Alung, Kepala Desa Long Ketaman, Kecamatan Pujungan, perlu berhari-hari menyusuri sungai untuk menghadiri Lokakarya Internasional Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata di Jantung Kalimantan, 5-7 Agustus lalu di Malinau. Mereka masing-masing menghabiskan Rp 770.000 sekali bepergian. Itu pun harus memutar melewati bahkan singgah di kabupaten dan kota lain.

Tiap orang membayar Rp 460.000 untuk ongkos perahu panjang bermesin yang populer disebut long boat dari Long Pujungan ke Tanjung Selor. Menuju ibu kota Kabupaten Bulungan itu minimal delapan jam menyusuri Sungai Pujungan dan Sungai Kayan, bahkan melewati sejumlah riam atau jeram.

”Saya terpaksa menginap di Tanjung Selor,” kata Asang, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Meski sudah bersiap pagi, mereka baru berangkat dari Long Pujungan menjelang tengah hari. Pemilik perahu panjang enggan berangkat bila penumpang sedikit sehingga tiba di tujuan sudah malam.

Masalahnya, perahu cepat atau speed boat terakhir dari Tanjung Selor ke Kota Tarakan berangkat pukul 14.00 Wita. Untuk itu, Asang dan Alung harus bangun pagi lalu berangkat ke Tarakan agar sempat mengejar perahu cepat terakhir menuju Malinau yang berangkat pukul 15.00 Wita.

Mereka masing-masing membayar Rp 150.000 untuk ongkos dari Tanjung Selor ke Tarakan dengan perjalanan tiga jam menyusuri Delta Bulungan dan pesisir Selat Makassar. Ongkos dari Tarakan ke Malinau Rp 160.000 tiap orang dengan perjalanan paling cepat tiga jam menyusuri Sungai Sesayap.

”Terpaksa pergi lewat sungai sebab penerbangan terhenti,” kata Alung, lelaki keturunan (Dayak) Kenyah itu. Penerbangan antarkecamatan di Malinau minimal seminggu sekali dan kerap terhenti akibat cuaca buruk. Cuma pesawat berkapasitas maksimal lima orang yang bisa mendarat di Pujungan dengan landas pacu 600 meter dari beton.

Penerbangan antarkecamatan dilayani Mission Aviation Fellowship yang berkantor di Bandar Udara Juwata, Tarakan. Maskapai yang dijalankan kalangan misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penghidupan

Lohat Sigar, Ketua Adat Desa Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang, Malinau, harus berperahu setengah hari menuju hutan di hulu Sungai Mentarang yang katanya masih banyak terdapat rusa dan babi. Kedua jenis binatang itu amat sulit didapat di hutan dekat desa yang dikelola perusahaan dan menjadi ladang warga.

”Ikan-ikan makin sedikit mungkin karena sungai tambah keruh,” kata Riang Tubu, warga Mentarang Baru, menambahkan. Dia tidak tahu mengapa sungai kian coklat dan berlumpur. Itu pun air sungai masih dipakai untuk mencuci, mandi, bahkan untuk memasak dan air minum, meski direbus, tanpa dijernihkan dengan tawas.

Kehidupan warga keturunan (Dayak) Lundayeh yang dipindah lewat program resettlement dari Long Berang di hulu Sungai Mentarang itu bergantung pada pertanian. Mereka menanam padi, jagung, umbi, kacang, dan sayur-sayuran. Mereka juga membuat bakul, keranjang, tikar, saung atau caping dari anyaman rotan bila ada pesanan.

Masalahnya, menurut Yunus bin Udan, warga Desa Mentarang Baru, pendapatan dari bertani amat minim. Saat panen jagung, misalnya, tiap warga cuma bisa mengangkut 100 kilogram (kg) ke Malinau untuk dijual sebab terbatasnya mobil atau truk angkut. Biaya angkut dengan mobil pergi pulang Rp 100.000. Jagung dijual Rp 3.000 tiap kilogram sehingga keuntungan Rp 200.000.

”Sulit memenuhi semua kebutuhan dengan keuntungan cuma itu,” kata Markus, warga Desa Mentarang Baru, menegaskan.

Di sisi lain, penduduk merasa kesulitan berobat bila sakit. Di desa ada puskesmas pembantu dengan obat-obatan dan tenaga medis terbatas. Warga yang sakit parah harus dibawa ke puskesmas kecamatan yang lebih lengkap di Desa Pulau Sapi, ibu kota Mentarang. Bila masih tidak teratasi, pasien harus dibawa ke rumah sakit di Malinau yang lamanya satu jam naik mobil.

Anak-anak Mentarang Baru selepas SD melanjutkan ke SLTP di Pulau Sapi. Mereka berjalan kaki rata-rata 4 kilometer tiap hari untuk bersekolah.

Dengan pelbagai keterbatasan fasilitas, bisa dimaklumi penduduk pedalaman amat bergantung pada alam sekadar untuk hidup. Hutan dan sungai dianggap sebagai sumber penghidupan sehingga amat dilindungi.

Warga Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Malinau, telah lama menetapkan 5.300 hektar hutan sebagai Tane’ Olen. ”Artinya, hutan yang kusayang atau kujaga,” kata Witson, warga Desa Setulang.

Hutan dijaga agar sumber penghidupan tetap ada, misalnya binatang buruan, tumbuhan obat, buah-buahan, serta kayu dan rotan untuk bangunan. Selain itu, warga desa keturunan Kenyah yang dipindahkan pemerintah dari Long Saan di Pujungan tahun 1968 itu juga membangun lumbung.

Tiap keluarga memiliki satu lumbung yang diisi padi siap digiling, jagung, umbi, atau bahan makanan yang bisa bertahan lama. ”Kami harus bertahan dengan apa yang ada sebab untuk ke mana-mana jauh dan sulit angkutannya,” kata Dewu, warga Setulang.

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: