Jumat, 29 Agustus 2008

Menuju Kota Gagal

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Puluhan lelaki asal Desa Gunung Sari, Kecamatan Gebog, Rembang, Jawa Tengah, menunggu bus jurusan Semarang, Senin (4/8). Mereka meninggalkan desa yang mengalami kekeringan untuk mencari uang sebagai tukang pelitur mebel di berbagai kota di Jawa.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh: Ahmad Arif

Kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos tumbuh menjadi kota gagal: angka pengangguran yang tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam yang menurun, dan kinerja sarana serta prasarana perkotaan yang memburuk.

Sejarah perencanaan kota modern di Indonesia dimulai ketika sejumlah kota dibangun Belanda mengikuti pola kota-kota Eropa awal abad ke-19. Sebagian besar kota itu berada di sepanjang Jalan Raya Pos, misalnya, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Plan der Nagorij Bandung atau tata ruang itu selesai 15 tahun sejak Daendels memerintahkan pemindahan Kota Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Awal abad ke-20, ahli kesehatan HF Tillema mengusulkan pemindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung. Kota ini berbenah diri sejak 1915. Bangunan-bangunan monumental dibangun, misalnya Gedung Sate (1920), Technische Hoogeschool sekarang Institut Teknologi Bandung (1920), dan Artilerie Inrichtingen (1922) atau PT Pindad.

Kawasan Braga, karena indahnya, dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat van Indie atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Berikutnya, pada tahun 1930, Thomas Karsten membangun Bandung dengan konsep ”kota taman” (Garden City).

Namun, tengoklah Bandung kini. Jalan-jalannya macet, terutama saat hari libur. Sampah menjadi masalah yang tak teratasi. Taman-taman yang membuat Bandung terkenal sebagai Kota Taman hampir tak ada jejaknya lagi. Taman Ganesha, Maluku, dan Cilaki dipenuhi warung-warung. Taman Sari, yang dulu lapang, kini dipenuhi rumah.

Tata kota tumpang tindih, kawasan Bandung utara yang didesain untuk permukiman tumbuh tak terkendali, disesaki perkantoran dan pertokoan. Pertumbuhan kota terus merangsek ke utara, menyebabkan area resapan air berkurang.

Pertumbuhan lebih tak terkontrol terlihat di Bandung selatan. Perumahan baru mengonversi lahan pertanian, tanpa disertai infrastruktur dasar seperti drainase memadai. Akibatnya, kawasan Bandung selatan sering kebanjiran.

Di Semarang, tata kota yang juga didesain oleh Thomas Kartsen hampir-hampir tak terlihat jejaknya lagi. Kota yang semasa kolonial Belanda menjadi salah satu pelabuhan besar dan permukiman ramai ini, menurut guru besar arsitektur Universitas Diponegoro (Undip), Totok Rusmanto, kini hancur-hancuran.

Kehebatan kota ini hanya tersisa dari bangunan-bangunan tua di Kota Lama Semarang yang sekarat oleh rob. ”Pembangunan di Semarang tak terkendali. Kualitas lingkungan terus mundur,” kata Totok.

Adapun di Kota Surabaya, sekitar 75 persen air tanah sudah digantikan oleh air laut dan mencemari air sumur. Seperti Jakarta, kota ini disulitkan oleh kemacetan lalu lintas yang makin parah, semakin seringnya banjir, dan pertambahan penduduk yang tak bisa dilayani oleh permukiman yang layak. Kota tumbuh tak terkendali.

Seperti kota-kota besarnya, kota-kota kecil sepanjang Jalan Raya Pos juga tumbuh tak terkendali. Sudaryono mencatat (Perubahan Kota Pasca-pembangunan Jalan Raya Pos, diskusi panel Kompas/Jakarta, 2008), kota-kota ini diwarnai konflik dan kebingungan tata ruang. Hal itu bisa diamati dari tumpang tindihnya kegiatan skala kota dan regional (seperti pergudangan dan industri) dengan kegiatan skala lingkungan (seperti sekolah dan pasar).

Kota-kota ini juga ditandai dengan optimisme dan spekulasi berlebihan. Kapling-kapling skala besar yang dicetak dengan menguruk lahan pertanian subur banyak yang telantar. Kalaupun terbangun, itu menjadi bangunan- bangunan kosong tidak terpakai. Fenomena ini banyak terlihat, misalnya, di Tegal timur dan Cirebon selatan.

Kedodoran

Ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, mengatakan, kegagalan kota-kota kita adalah karena lambatnya penguasa kota merespons pertumbuhan kotanya.

Denny mencontohkan Kota Bandung, yang semula didesain oleh Thomas Karsten hanya untuk menampung 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Kini, kota itu harus menampung jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 155 jiwa per hektar.

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang baru dibuat direncanakan melayani 2,9 juta jiwa hingga tahun 2013. Rencana pusat kota baru itu berada di Bandung timur, tetapi saat ini kondisinya masih berupa lahan pertanian. ”Dalam prosesnya, RTRW kota baru ini juga terus diubah-ubah mengikuti kepentingan pemodal,” ujar Denny.

Di Surabaya, ahli tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Putu Rudy Satiawan, juga mengeluhkan pertumbuhan kotanya yang tak terkontrol. ”Rencana tata ruang yang telah disusun ditabrak,” katanya.

Rudy menunjuk pada banyaknya penyimpangan peruntukan lahan. Misalnya di sekitar Pantai Tambakoso, yang menurut RTRW Surabaya 2005 adalah kawasan pelabuhan, kini berkembang menjadi industri. Luasan penyimpangannya sekitar 257 hektar. ”Total luasan deviasi tata ruang Surabaya beberapa tahun terakhir lebih dari 1.000 hektar,” kata Rudy.

Ledakan penduduk

Ketika para penguasa kota masih sibuk berencana, pertambahan penduduk di Jawa (utara) terus meningkat. Data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2005 menunjukkan, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 128.025.689 jiwa dan 57.160.016 (44,64 persen) berada di kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos.

Padahal, menurut Sudaryono, kecenderungan pertambahan penduduk di kota sekitar Jalan Raya Pos masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. ”Kota- kota ini tetap akan menjadi pilihan urbanisasi di Pulau Jawa,” kata Sudaryono.

Ledakan penduduk ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejarawan dan antropolog sejak lama, tetapi diabaikan oleh Pemerintah Indonesia. Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963) menuliskan ancaman kematian pertanian di Jawa akibat pertambahan penduduk.

Peter Boomgaard dan AJ Gooszen (Changing Economy in Indonesia, Population Trends 1795-1942, Amsterdam) memperkirakan penduduk Jawa pada tahun 1800 berjumlah 7,5 juta jiwa dan menjadi 14 juta jiwa selama 50 tahun kemudian. Pada tahun 1900 penduduknya menjadi 30,4 juta.

Pendapat mengenai ledakan penduduk ini memang ditentang sejumlah ilmuwan lain, salah satunya adalah Widjojo Nitisastro (Population Trends in Indonesia, Cornell University Press, 1970). Menurut Widjojo, anggapan ledakan penduduk di Jawa cenderung membesarkan manfaat dari pemerintahan kolonial atas kesejahteraan penduduk di Jawa.

Apa pun, saat ini ledakan penduduk di Jawa (utara) menjadi masalah besar bagi kota-kota untuk menampungnya. Tak hanya dari kelahiran, ledakan penduduk juga berasal dari urbanisasi dan migrasi dari pulau lain. Dibandingkan dengan luasannya, Jawa termasuk pulau terpadat di dunia.

Jo Santoso menyebutkan, (Kota Tanpa Warga, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), dengan mengandalkan mekanisme pembangunan kota seperti sekarang, kota-kota kita tidak akan mampu mengatasi permasalahan urbanisasi mendatang, terutama bila dilihat dari aspek kemampuan penyediaan sarana dan prasarana.

Pada akhirnya, kota akan ditinggalkan warganya, menjadi ”kota tanpa warga”. (Haryo Damardono)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: