Kamis, 07 Agustus 2008

Aturan Pertambangan Masih Bermasalah

Dikutip dari Rubrik Eksklusif, Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 09 Agt 2007


SEKALIPUN termasuk dalam prioritas pembahasan tahun ini, draf rancangan undang-undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang merupakan revisi atas UU Nomor 11 Tahun 1967 mengenai Ketentuan Pokok Pertambangan dinilai masih bermasalah.
Substansi yang termuat dalam RUU tersebut bukan sekadar berpotensi melahirkan penolakan dari kelompok masyarakat yang belum dilibatkan dalam proses penyusunannya, tetapi juga bisa berakibat buruk bagi pengembangan investasi sektor pertambangan.
Direktur Utama PT Intenational Nickel Tbk (Inco) Arief Siregar menganggap izin pertambangan yang diberikan pemerintah masih sepihak atau hanya sisi pemerintah yang diuntungkan. Karena itu diharapkan izin pertambangan dibuat berimbang agar investasi pertambangan meningkat dari tahun ke tahun.
Lantas apa yang dikehendaki pengusaha? Bagaimana dengan belum adanya regulasi tentang pertambangan? Serta seperti apa solusinya? Berikut petikan wawancaranya dengan Januarti Sinarra Tjajadi dari Jurnal Nasional di sebuah rumah makan di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Minggu (5/8)

Benarkah revisi UU Nomor 11 Tahun 1967 mengalami kemandekan?
Saya tidak mengomentari kenapa UU tersebut mandek. Yang menjadi pertanyaan terhadap RUU Pertambangan dan Batubara tersebut adalah status izin yang akan diberikan oleh pemerintah kepada investor. Menurut saya, izin tersebut tidak cukup kuat. Pertambangan adalah bisnis dengan investasinya besar, jika hanya izin tentu investor tidak mau karena sewaktu-waktu bisa dicabut. Izin itu berlaku hanya satu sisi, yaitu dari pemerintah saja.

Maksudnya tidak berimbang?
Indonesian Mining Association (IMA) mengharapkan izin itu lebih berimbang di kedua belah pihak, baik pemerintah maupun investor. Harus ada peluang dimana keduanya bicara sama tinggi. Dulu kami pernah mengusulkan supaya ada badan yang mengurusi sumber daya mineral. Peran badan itu menengahi dan bekerjasama antara pemerintah dan investor.
Badan ini yang kemudian membuat kerjasama dengan investor, bukan pemerintah langsung. Dengan begitu, investor dan pemerintah berada pada posisi sama tinggi sehingga bisa berdiskusi jika ada kontrak yang bermasalah. Jika Indonesia ingin mengajak investor masuk, tentunya harus ada jaminan berinvestasi yang jelas.

Kontrak karya masih diinginkan investor sedangkan pemerintah berencana menghapuskan? Bagaimana baiknya?
Saya tidak melihat pengaruh besar walaupun kontrak karya dihilangkan selama revisi UU tidak ditekankan pada perizinan. Jika masukan kami bisa diakomodasi, ini bukan kontrak karya, tetapi kontrak badan dengan investor. Saran kami adalah perjanjian atau agreement. Solusi itu sudah kami ajukan dan sampai sekarang masih digodok.

Ada usulan dari LSM sebaiknya mineral yang ada sekarang jangan ditambang untuk generasi selanjutnya?
Mineral adalah kekayaan, tapi tidak berarti apa-apa jika tidak ditambang. Proses pertambangan ini memberikan nilai terhadap value yang berjuta tahun tertanam di tanah. Kami datang menukar apa yang tidak berharga menjadi berharga. Itu bisa menjadi masukan pendapatan ke pemerintah dan sebaiknya digunakan untuk memperbaiki generasi ini.
Lagipula, mineral yang berharga hari ini, 20 tahun kedepan belum tentu berharga. Mineral yang saat ini tidak berharga, 20 tahun kedepan belum tentu tidak berharga. Contohnya, jika menambang asbes dilakukan 30 tahun lalu, harganya di pasar bagus. Namun jika sekarang menjual asbes, saya rasa tidak ada yang mau membeli.

Apa dampak belum adanya regulasi yang jelas seputar pertambangan?
Mulai tahun 1998 sampai sekarang sudah tidak ada lagi investasi tambang masuk ke Indonesia. Ini masalah yang sudah jelas di hadapan kita. Kepastian hukum sangat penting karena sektor pertambangan berinvestasi tinggi.
Januarti Sinarra Tjajadi


[Kembali]

Tidak ada komentar: